Choose the categories.!

Friday 14 March 2014

Makalah Antropologi Hukum: Kekuasaan Informal

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
          Manusia adalah jenis makhluk yang juga hidup dalam kelompok.[1] Berdasarkan hal tersebut maka manusia memerlukan pemimpin untuk memimpin kelompok tersebut. Pemimpin dalam suatu masyarakat dapat merupakan suatu kedudukan sosial, tetapi juga suatu proses sosial.[2] Masyarakat yang dipimpin tersebut memiliki ciri-ciri kepribadian bersama, yaitu apa yang dikenal dalam antropologi budaya sebagai jenis kepribadian dasar (basic personality structure) atau kepribadian rata-rata (modal personality).[3]
            Kepribadian bersama tersebut menimbulkan permasalahan hukum. Masalah-masalah hukum yang dimaksud dapat berupa hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai kebiasaan yang berulang-ulang, sebagaimana hukum adat atau hukum dalam arti bentuk kaidah (ugeran, ketentuan, patokan) peraturan. Bentuk kaidah peraturan tersebut merupakan perilaku yang berkaitan dengan jabatan.[4] Dalam jabatan terdapat kekuasaan yang dalam pembagiannya terbagi atas kekuasaan formal dan informal. Kekuasaan formal merupakan kekuasaan yang berasal dari pemerintah sebagai pemegang jabatan yang berwenang dimana kekuasaan ini mempunyai kedudukan yang jelas dan mengikat. Namun terdapat kekuasaan informal yakni kekuasaan yang bukan berasal dari pemerintah maupun lembaga resmi pemerintah. Untuk mengetahui kedudukan dan bentuk dari kekuasaan informal ini diperlukan sautu kajian dari perspektif ilmu antropologi hukum dimana hal-hal tersebut berkaitan erat dengan ilmu antropologi hukum yang lingkupnya adalah mempelajari perilaku manusia.

1.2     Identifikasi Masalah
1.    Bagaimana pelaksanaan kekuasaan informal dalam suatu masyarakat?
2.    Bagaimana peran kekuasaan informal dalam mempengaruhi tingkah laku suatu masyarakat?


1.3     Tujuan
1.    Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan kekuasaan informal dalam suatu masyarakat.
2.    Untuk memperoleh pemahaman peran kekuasaan informal dalam mempengaruhi tingkah laku suatu masyarakat.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

          Kekuasaan dalam arti sosiologi dan psikologi di masa sekarang berarti suatu potensi untuk mempengaruhi masyarakat[5]. Seorang pemimpin dianggap mempunyai kekuasaan jika para pengikutnya mentaati putusannya dan keinginannya yang berdasarkan adanya motivasi untuk menikmati sesuatu keuntungan dari apa yang diberikan.[6] Keinginan itu dapat berupa balas jasa kebendaan, yang bersifat psikologis, atau yang deology seperti menghindari adanya hukuman. Sebagaimana pencerminan kekuasaan itu dapat diketahui dari berbagai jenis pemberian seorang pemimpin, atau deol yang diberikannya, atau berdasarkan batas-batas kekuasaan dari penguasa yang lebih tinggi, atau oleh adat kebiasaan, deol dan pendapat umum tentang penggunaan kekuasaan itu.
          Jadi kepemimpinan berdasarkan citra demokrasi barat ukuran didasarkan sampai sejauh mana orang yang mempunyai pengaruh memungkinkan para pengikutnya dapat mencapai tujuan mereka, dalam pembahasan ini tidak dapat digunakan.[7]
          Kekuasaan informal bukan berasal dari surat keputasan dari pemerintah, dan juga bukan berasal dari lembaga resmi pemerintah. Dalam kekuasan informal, para pemimpin ini mempunyai deology atau kepandaian bercakap yang akhirnya dipercayai oleh masyrakat sekitarnya.
          Kekuasaan informal, penguasa informal cenderung dapat tercapai dan dimiliki berdasarkan kepribadian pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat yang bersangkutan[8]. Hak- hak, kewajiban- kewajiban, kekuasaan serta tata cara pelaksanaannya tidak ditentukan dengan ketat dalam perundangan atau adat kebiasaan.
          Pemimpin informal ialah orang yang tidak mendapatkan pangkat formal sebagai pemimpin, namun karena memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok.
Ciri-ciri pemimpin informal yaitu :
a.       Tidak memiliki penunjukan formal atau legitimitasi sebagai pemimpin.
b.      Masyarakat menunjuk dirinya, dan mengakuinya sebagai pemimpin.
c.       Status kepemimpinannya berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau mengakui dan menerima dirinya.
d.      Tidak dapat dimutasikan.
e.       Tidak pernah mencapai promosi.
f.       Tidak memiliki atasan.
  
          


BAB III
PEMBAHASAN

Contoh Kasus
Kiai Ali Wafa menetapkan awal puasa dan jatuhnya hari Idul Fitri berdasarkan kitab “Nazhatul Majalis” yang ditulis oleh Syech Abdurrahman Asysyafii dari Lebanon yang menyebutkan penetuan awal puasa itu dihitung 5 hari setelah hari pertama puasa tahun sebelumnya. Perbedaan tak hanya pada penentuan lebaran ini saja. Mereka juga mengawali puasa satu hari lebih awal dari Muhamadiyah atau dua hari sebelum penetapan pemerintah. Para penghuni pesantren dan penduduk sekitar pesantren mengawali puasa pada Kamis (19/8) lalu. Warga muslim lainnya yang sepaham dengan ajaran yang dianut Kiai Fayyad As’ad adalah para santri Pesantren Nurul Muhlisin.
(sumber: www.sorotnews.com diunduh pada hari Rabu, 16 Oktober 2013 pukul 10.15)

Analisis
          Para kyai yang mempunyai banyak pengikut, mereka mematuhi kyai karena kyai dianggap orang yang sangat berkharismatik dan mempunyai kekuasaan untuk dipatuhi. Jadi biasanya para santri mereka memilih keputusan atau mengikuti para kyai daripada pemerintah. Kita sering mengalami hari raya agama Islam tersebut jatuh pada hari yang tidak sama dalam Negara kita. Itu disebabkan terdapat banyak sumber dalam menentukan hari raya tersebut. Walaupun pemerintah sudah menetukan dan memutuskan hari raya  pada waktu tertentu, tapi masyarakat masih banyak tidak mematuhi keputusan pemerintah dan lebih mempercayai kyai mereka yang mempunyai  perhitungan yang  tidak sesuai dengan pemerintah. Ini menandakan para kyai mempunyai kekuasaan yang informal, beliau dapat memberikan keputusan sesuai keyakinannya dan para pengikutnya akan mengikuti dan menjalankan keputusan mereka.
          Pemimpin informal dapat saja mempunyai dampak deology maupun positif terhadap pengikutnya ataupun kelompoknya. Dampak positif seorang pemimpin informal adalah lebih mengutamakan deology dan realisasi tujuan rencana kerja daripada tujuan pribadinya, sedangkan dampak deology dari seorang pemimpin informal adalah mementingkan tujuan dirinya sendiri daripada deology-ideologi kelompoknya atau pengikutnya. Seringkali deology digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan setelah kekuasaan itu didapatnya, maka deology itu ditinggalkan atau diubah sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri.
          Pemimpin Informal adalah seseorang yang secara alamiah dianggap mampu memainkan perannya sebagai pemimpin ketika kelompok kerja telah bekerja dan saling berinteraksi.


  

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1.    kekuasaan informal merupakan kekuasaan yang didasarkan dari kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi pembatas dari kekuasaan informal itu sendiri adalah masyarakat.
2.    Kekuasaan informal memiliki peran yang cukup berarti dalam mempengaruhi pola tingkah laku dari masyarakat yang dipimpinnya seperti dalam contoh kasus di atas yang menunjukkan peran Kyai sebagai salah satu pemimpin kekuasaan informal.

  


DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1990
T.O Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, PT Gramedia, Jakarta, 1990
T.O Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1993

B.     LAIN-LAINNYA
http://www.sorotnews.com


[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 110
[2] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1990, hlm. 198-199
[3] T.O Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, PT Gramedia, Jakarta, 1990, hlm. 111
[4] T.O Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1993
[5] Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti , Bandung, 1992, hlm. 105
[6] Ibid, hal. 105.
[7] Ibid, hal. 105.
[8] Ibid, hal, 107. 

Keabsahan Perkawinan

PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna.

SYARAT SAHNYA PERKAWINAN
Syarat sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 6 – 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan). Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat perkawinan ekstern (formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungka perkawinan. Syarat syarat intern terdiri dari :
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6 ayat (1) UU perkawinan.
  2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).
  3. Bagi pria harus bisa mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 Tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh penngadilanatau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).
  4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU perkawinan).
  5.  Bagi seorang wanita yang akan melakuka perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 haribagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU perkawinan).


KEABSAHAN PERKAWINAN
1.      Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti ‘sipelebegu’ (pemuja roh) di kalangan orang Batak.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya di Lampung, walaupun sudah terlaksana perkawinan yang sah menurut agama, tetapi apabila mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini merupakan upacara perkawinan adat. Misalnya di Lampung, Tulang-bawang upacara perkawinan adat ini dilaksanakan dengan acara ‘mosok-majew’ (menyuap mempelai) dengan tindih sila. Upacara mosok ini dipimpin oleh tua adat wanita, biasanya isteri atau penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara dan pembawa syair perkawinan.

2.      Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut pandangan Perundangan perkawinan adalah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita” dengan kata lain bahwa perkawinan sama dengan perikatan seperti yang terdapat dalam aturan sebagai berikut:
Pasal 26 KUHPerdata
Dijelaskan bahwa “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata
Pasal 81 KUHPerdata
tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihakmembuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung” diperkuat dengan
Pasal 530 ayat 1 KUHPidana
Menyatakan bahwa “ seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa pelangsungan dihadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah Kalimat “yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil” tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang menggunakan Hukum Islam atau Hukum Adat.

Jelas bahwa di dalam KUHPerdata, perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dengan mengabaikan keagamaan dimana hal ini bertentangan dengan falsafah Negara Indonesia, sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan menyangkut masalah perkawinan yang merupakan sakramen dimana berhubungan erat dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/batin tetapi juga unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting. Jadi terlihatlah disini perbedaan pengertian perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dimana perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai “Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata, namun juga merupakan “Perikatan Keagamaan”. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun1974 bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan tersebut berbeda dengan BW yang diumumkan oleh Maklumat tanggal 30 April 1987 dan berlaku di Indonesia sampai Tahun 1974.

3.      Keabsahan Perkawinan yang Dilakukan di Luar Indonesia
      Dasar hukum dalam melakukan perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Indonesia atau warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang dilangsungkan di luar negeri adalah pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan yang harus dilaksanakan oleh seorang warga negara Indonesia secara kumulatif, bukan alternatif secara terpisah dan berdiri sendiri. Pendaftaran perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal ini sangat erat hubunganya dengan masalah pembuktian kepada pihak ketiga maupun kepada negara sehingga dapat tercapai kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak.
     Perkawinan  antara warga negara Indonesia dengan warga negara Indonesia maupun antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di luar negeri harus memenuhi syarat hukum positif di indonesia, memenuhi syarat materiil yaitu persetujuan kedua mempelai, ijin orang tua, batas usia kawin untuk pria  19 (sembilan belas) tahun untuk wanita 16 (enam belas) tahun, dan larangan kawin, untuk syarat formalnya harus mengikuti hukum di negara mana perkawinan itu dilangsungkan.
     Dan setelah kembali ke indonesia perkawinan tersebut harus dicatat di kantor catatan sipil di Jakarta sebagai domisili antar warga negara.
Untuk status anak hasil perkawinan beda kewarganegaraan mendapat status kewarganegaraan  ganda terbatas dan pada umur 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah harus memilih tetap menjadi warga negara Indonesia atau warga negara asing.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian kedua tentang perkawinan di luar Indonesia pasal 56:
(1)  Perkawinan di Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan ini.
(2)   Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawnan mereka harus didaftarkan di kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran pasal 57:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu  pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

        Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 58:
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 59 ayat (2) :
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 60:
(1)   Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2)   Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 61:
(1)   Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2)   Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.


Tugas Ilmu Peraturan Perundang-undangan

1. Sebutkan UU yang pernah dan sedang berlaku tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu di Indonesia!
    UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

2.      Apa yang dimaksud Peraturan Perundang-undangan itu?
    Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011).

3.      Apa bedanya / hubungan peraturan perundang-undangan dengan Perundang-undangan?
Perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.

4.     Di dalam UU yang berlaku saat ini tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu. Sebutkan tata urutan/ hirarki dari UU yang berlaku saat ini!
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1), tata urutan/ hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Lndonesia;
  3.  Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4.  Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi;
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.








Search