Choose the categories.!

Wednesday 23 February 2011

Rangkuman Hukum Adat karangan Soerojo Wignjodipoero, S.H. (Bab III & IV)

BAB III
SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM, DI DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


1. MASA MENJELANG TAHUN 1848
Pertama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai masalah hukum oleh pemerintah Belanda adalah pada saat pengangkatan Mr. G.C. Hageman sebagai ketua “Hoog Gerechtshof Hindia-Belanda” pada tanggal 30 Juli 1830. Hageman membayangkan adanya persatuan buku hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Eropa. Angan-angan Hageman tinggal angan-angan saja, sebab tempo yang diberikan kepadanya talah berakhir.
Untuk mempersiapkan tercapainya maksud menyesuaikan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum baru di negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia yang diketuai C.J. Scholten. Panitia itu dibubarkan setahun kemudian karena Scholten sakit dan pulang ke negeri Belanda. Tetapi pada tahun 1839 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai sebuah panitia yang bertugas untuk mengadakan rencana agar hukum-hukum negeri Belanda yang baru dapat diberlakukan di Indonesia. Scholten berpendapat bahwa bangsa Indonesia terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang termaktub di dalam perintah pemerintah Belanda.
Hasil pekerjaan Scholten diperkuat dengan seorang ahli yaitu J. van der Vinnie. Ia beranggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal bagi suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama Nasrani, sedangkan penduduk yang beragama Islam amat besar kesetiannya pada sendi-sendi agamanya seta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diberlakukannya hukum Belanda berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat dari pada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain.


2. HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM PADA TAHUN 1848 dan seterusnya
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi. Suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan untuk menggantikan hukum adat.
Maka secara ringkas undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat dan seterusnya di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Usaha ke-1
Mr. Wichers, rencana kodifikasi Wichers gagal, karena hukum Barat tidak cocok bagi apa yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan hukum sederhana bangsa Indonesia.
Usaha ke-2
Van der Putte, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraria penguasa Belanda. Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut lebih dahulu diadakan penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap tanah.
Usaha ke-3
Cremer, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah di mana penduduknya telah memeluk agama Kristen. Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah disusul oleh usaha berikutnya.
Usaha ke-4
Kabinet Kuyper mengusulkan suatu rencana untuk mengantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima amandemen Van Idsinga yang hanya mengizinkan penggantian hukum adat dengan hukum Barat, jika kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat menghendakinya.
Usaha ke-5
Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Rencana ini tetap tinggal rencana yang tidak pernah dimajukan kepada Parlemen Belanda.
Usaha ke-6
Mr. Cowan membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalm tahun 1923. Gagal lagi, karena kritik Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk”.
Sebab kegagalan semua usaha tersebut di atas adalah, karena bahwasanya tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk, harus tunduk pada hukum yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa. Bangsa Indonesia tidak bisa dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
Dan dalam tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, Ia menolak penyatuan hukum (unifikasi).


3. SEJAK TAHUN 1927 POLITIK PEMERINTAH HINDIA BELANDA TARHADAP HUKUM ADAT MULAI BARGANTI HALUAN, YAITU DARI “UNIFIKASI” BERALIH KE “KODIFIKASI”
Konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadakan pencatatan-pencatatan yang sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, tetapi didahului dengan penelitian dan penyelidikan yang dipimpin oleh para ahli. Tujuan ini adalah untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili hukum adat. Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven ini diterima. Dan politik pemerintah kolonial Belanda kembali secara teratur kearah dualisme.
Mr. B. Ter Haar, murid Van Vollenhoven, berusah supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakan sebagai hal yang sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya sekarang.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi Vollenhoven diterima, menghendaki juga re-organisasi sistem pengadilan. Terutama sekali Ter haar yang mengadakan re-organisasi pengadilan, yang melaksanakan pengadilan desa dan akhirnya pengadilan negeri, kesemuanya itu untuk memperbaiki pengadilan Mahkamah-Mahkamah yang harus melakukan hukum adat.
Jadi yang terjadi hingga sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda kepada Balatentara Jepang adalah kodifikasi dan bukan unifikasi.


4. DASAR HUKUM SAH BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Sebelum Undang-Undang No. 19 tahun 1964 L.N. No.107 tahun 1964, yakni Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, maka yang menjadi dasar Hukum Adat adalah masih Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945.
Jadi pada zaman Jepang pun pada haikikatnya dilanjutkan keadaan perundang-undangan dari zaman kolonial Belanda.
Untuk mengetahui dasar-dasar juridis tentang berlakunya hukum adat di Indonesia secara sah hukum adat, kita harus meninjau kembali keadaan pada zaman Belanda dan kemudian mengikuti perubahan-perubahan yang diadakan pada masa berikutnya sampai sekarang.
Pada zaman Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 Indische Staatsregeling (disingkat IS), yang menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis dan pluralistis.
Pada saat itu hukum adat berlaku berdasarkan pasal 75 “Regerings-Reglement” baru (disingkat RR baru) yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1920. Ketentuan-ketentuan ini asalnya dari pasal 11 AB tahun1884 (AB= Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie= Ketentuan-ketentuan Umum bagi Perundang-undangan Indonesia). Apabila peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau apabila soal yang menjadi perkara itu tidak ada peraturan adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum perdata/dagang Eropa sebagai pedoman (pasal 75 RR (lama) ayat 6).
Kini di Indonesia berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Eropa. Selain pasal 131 IS tersebut, masih terdapat dua pasal dari IS yang masih memungkinkan berlakunya hukum adat, yaitu pasal 21 IS ayat 2 dan pasal 130 IS.
Maka sejak kemerdekaan Indonesia pengeterapan tiap peraturan-peraturan perundangan dari zaman sebelumnya yang berdasarkan pasal II Aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 masih berlaku wajib dijiwai oleh pokok pikiran yang bersumber pada Pancasila dan tidak lagi berorientasi pada “Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands-Indie”.
Tentang dasar/landasan hukum sah berlakunya Hukum Adat sekarang.
Jauh sebelum Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman diundangkan, sesungguhnya secara konstitusional telah dapat diketemukan pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, yaitu pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS dan pasal 104 ayat (1) Undang Undang Dasar Sementar 1950.
Dalam alinea dari penjelasan umum Undang-Undang No. 19 tahun 1964, dengan dihubungkan dengan pasal 17 ayat 2 dan pasal 3 dari Undang-Undang tersebut diketemukan dasar/alasan berlakunya Hukum Adat yang disebut hukum tidak tertulis. Dan dengan diundangkannya Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman ini, maka gugurlah perundang-undangan kolonia/pasal 131 IS (6)/sebagai dasar hukum berlakunya Hukum Adat.
Karena ketentuan dalam pasal 19 UU No. 19 tahun 1964 isinya bertentangan dengan jiwa Undang Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang isi umumnya hampir sama. Pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat adalah Pasal 23(1) dan pasal 27 (1).
Dengan demikian, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagi hukum yang tidak tertulis adalah: Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 dan pasal 23 ayat (1). Untuk Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14 tahun 1970.


5. NILAI-NILAI UNIVERSAL DALAM HUKUM ADAT
Hukum adat yang tradisional ini menunjukkan juga adanya nilai-nilai yang universal seperti:
a. Asas gotong royong.
b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat.
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.


6. KEPRIBADIAN HUKUM ADAT ITU BAGAIMANA?
Bangsa Indonesia berkepribadian Pancasila, sehingga hukum adat pun berkepribadian Pancasila pula, demikian pula hukum yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berkepribadian sama dengan Hukum Adat.


7. HUKUM ADAT DAPAT DIKETEMUKAN DI MANA SAJA? APAKAH YANG MENJADI SUMBER-HUKUMNYA SERTA APAKAH YANG MENJADI SUMBER PENGENALNYA (= kenbron)
Hukum adat dapat dicari atau tempat-tempat hukum adat itu adalah:
a. Dalam masyarakat itu sendiri. Kalau tidak ada kesempatan untuk hidup sendiri di dalam masyarakat yang bersangkutan, maka dapat dicari atau diketemukan dalam keputusan-keputusan Penguasa masyarakat tersebut ataupun dalam kesusastraan masyarakat yang bersangkutan dan juga dalam tulisan-tulisan, karangan-karangan ilmiah tentang masyarakat dimaksud oleh para sarjana.
b. Catatan-catatan ataupun himpunan-himpunan peraturan-peraturan hukum adat yang disusun dan dibukukan dalam kitab-kitab.
Sumber hukum adat adalah:
• Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (Van Vollenhoven).
• Kebudayaan tradisional rakyat (Tar Haar).
• Ugeran-ugeran (Djojodiguno).
• Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat (Supomo).
Sumber pengenalnya adalah:
• Pepatah-pepatah adat.
• Yurisprudensi adat.
• Laporan-laporan dari komisi-komisi penelitian.
• Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu.
• Buku-buku undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan.
• Buku-buku karangan sarjana.


8. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL INDONESIA
Dalam lampiran A dari Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pada paragraf 402 No. 34 dan 35 disebut dengan jelas asas-asas yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional yaitu:
a. Pembangunan hukum Nasional harus diarahkan kepada homogeniet hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b. Harus sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan Masyarakat adil dan makmur.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang diadakan dengan keputusan Presiden nomor 107 tahun 1958 diberi tugas:
Melaksanakan pembinaan Hukum Nasional sesuai yang dikehendaki oleh ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 (berdasarkan Hukum Adat) dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional sebagai berikut:
A. Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundang-undangan
B. Menyelenggarakan masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.


9. BAGAIMANA KEDUDUKAN HUKUM ADAT INI DI KEMUDIAN HARI?
Prof. Soepomo di dalam Dies Natalis pada tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai berikut:
a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu Negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyrakat itu sendiri.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak diterapkan oleh undang-undang.
Prof. M. Nasrun S.H. dalam buku beliau “Dasar falsafah adat Minagkabau” menyatakan bahwa, justru adat itulah yang menentukan sifat dan corak ke-Indonesiaan dari kepribadian bangsa Indonesia. Justru adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia dari abad ke abad.
Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke-4 dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam hukum Adat masih tetap akan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum Nasional kita yang akan datang.










BAB IV
SISTEM HUKUM ADAT


1. SENDI-SENDI HUKUM ADAT YANG MERUPAKAN LANDASAN (FUNDAMENTAL)
Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum Barat.
Hukum adat memiliki corak sebagai berikut:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat.
b. Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiriran pentaatan serba konkrit.
d. Hukum adat memiliki sifat yang visual .
Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental, misalnya:
1. Hukum Barat mengenal “zekelijke rechten” (hak atas benda) dan ”persoonlijke rechten” hak atas sesuatau objek (benda)/hak relatif. Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti tersebut di atas.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini.
3. Hukum Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan, yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata. Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian.
Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat.
b. Pandangan hidup yang mendukung kedua hukum itu juga jauh berlainan.


2. BAHASA HUKUM
Hukum adat, pembinaan bahasa hukum ini justru masih merupakan suatu masalah yang sangat meminta perhatian khusus pada para ahli hukum Indonesia.
Bahasa hukum adalah bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam satu atau dua hari saja, tetapi harus melalui suatu proses yang cukup lama. Apa yang menjadi perasaan hukum dalam hati nurani rakyat serta apa yang diketemukan dalam keputusan-keputusan kepala/hakim adat sebagai hukum yang berlaku tetapi yang belum dituangkan dalam rumusan bahasa hukum yang tertulis secara tajam dan pasti, oleh para sarjana hukum, para hakim, pengundang-undangan dan ilmu pengetahuan wajib direnungkan, dimengerti untuk kemudian hari dirumuskan dan dituangkan secara tepat di dalam bahasa hukum yang dapat menggambarkan maknanya.
Bahasa hukum lahir dan tumbuh setapak demi setapak. Kata-kata yang terus-menerus dipakai dengan konsekwen untuk menyebut suatu perbuatan dan keadaan, lambat laun menjadi istilah yang memiliki isi dan makna tertentu.


3. PEPATAH ADAT
Kecuali istilah-istilah hukum adat di berbagai lingkaran hukum adat terdapat pula “pepatah adat” yang sangat berguna sebagai petunjuk tentang adanya sesuatu peraturan hukum adat.
Prof. Snouck Hurgronje dalam “Verpreide geschriften IV” menegaskan, bahwa pepatah adat tidak boleh dianggap sebagai sumber atau dasar hukum adat.
Vergouwen dalam “Het recht sleven der Toba-Bataks” menulis, bahwa pepatah adat tidak mempunyai sifat normative seperti pasal-pasal undang-undang.
Ter Haar dalam Indisch Tijdschrift van het Recht 144 berkata, bahwa pepatah adat bukan merupakan sumber hukum adat, melainkan mencerminkan dasar hukum yang tidak tegas.
Prof. Soepomo dalam “Bab-bab tentang hukum adat”, menegaskan bahwa pepatah adat memberi lukisan tentang adanya aliran hukum yang tertentu.


4. PENYELIDIKAN TENTANG HUKUM ADAT
Apabila berkehendak melakukan penyelidikan setempat, maka agar memperoleh bahan-bahan yang tepat serta berharga tentang hukum adat perhatian harus diarahkan kepada yang berikut:
a. Research tentang putusan-putusan petugas hukum ditempat/daerah yang bersangkutan.
b. Sikap penduduk dalam hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang sedang disoroti dan diinginkan mendapat keterangan dengan melakukan “field research” itu.
Yang menentukan dalam penyelidikan hukum adat secara demikian ini bukannya banyaknya jumlah perbuatan-perbuatan yang terjadi, tetapi ya atau tidaknya tingkah laku itu dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai hal yang memang sudah seharusnya. Perasaan inilah yang memberi kesimpulan adanya suatu norma hukum.


5. HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran sendiri (“geestesstructuur”), maka hukum di dalam tiap masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.
Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.

Rangkuman Hukum Adat karangan Soerojo Wignjodipoero, S.H. (Bab I & II)

BAB I
PENDAHULUAN


1. MENGENAL ADAT
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhinneka” (berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat keindonesiaannya). Adat tersebut tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan peradaban bangsanya.


2. APAKAH HUKUM ADAT ITU?
Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para sarjana hukum adalah sebagai berikut:
a. Prof. Dr. Supomo S.H.
Dalam karangan beliau “Beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat”, memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan.
b. Dr. Sukanto
Dalam buku beliau “Meninjau hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
c. Mr. J.H.P. Bellefroid
Dalam bukunya “Inleading tot de rechtwetenschap in Nederland” memberi pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. (Het gewoonterecht, ook “gewoonte” genoemd, omvat de rechtsregels, die hoewel niet op gezag van de staatsoverheid vastgesteld, toch door het het volk worden nageleefd in de overtuiging, dat zij als recht gelde.”)
d. Prof. M.M. Djojodigoeno S.H.
Dalam buku beliau “Azas-azas Hukum Adat” memberi definisi sebagai berikut: “Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peratuaran-peraturan”.
e. Prof. Mr. C. van Vollenhoven
Dalam buku “Het Adatrecht van Nederland Indie” memberi pengertian Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peratuaran yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.



f. Mr. B. Terhaar Bzn
Ter Haar dalam pidato dies natalis tahun 1930 berjudul: “Peradilan Landraad berdasarkan hukum tidak tertulis” serta dalam orasinya tahun 1937, yang berobjek: “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”, menegaskan yang berikut:
a. “Hukum Adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum. Terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal bertentangan kepentingan – keputusan para Hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu – karena kesewenangan atau kurang pengertian – tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya”.
b. ”Hukum Adat itu – dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peratuarn-peraturan Desa, surat-surat perintah Raja – adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan yang dalam palaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati”. (Fungsionaris meliputi ketiga kekuasaan yaitu: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris Hukum itu; bukan saja Hakim tetapi juga kepala Adat, rapat Desa, wali tanah, petugas-petugas di lapangan Agama, petugas-petugas Desa lainnya.
g. Prof. Dr. Hazairin
Di dalam pidato inagurasi yang berjudul: “Kesusilaan dan Hukum”, berpendapat bahwa seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung ataupun tidak langsung. Hukum Adat teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat.
Apabila ditelaah pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana tersebut di atas, maka kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).


3. HUKUM ADAT ADALAH HUKUM NON-STATUTAIR
Hukum Adat pada umumnya belum tertulis/tidak tertulis. Tetapi tidak semua adat merupakan hukum. Hanya adat bersanksi mempunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat (Vollenhoven). Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oleh penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkannya sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukuman. (Ter Haar, dengan teori keputusannya).
Hukum Adat berurat-akar pada kebudayaan tradisional. Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum masyarakat yang nyata.
Prof. M.M. Djojodigoeno S.H. Sumber hukum Adat Indonesia adalah ugeran-ugeran (norma-norma kehidupan sehari-hari) yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih. (Hubungan pamrih adalah hubungan antar orang dengan sesamanya guna usah memenuhi kepentingan = “business relations”,”zakelijke verhoudingen”)


4. HUKUM ADAT TIDAK STATIS
Hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri (Prof. Dr. Soepomo S.H.). Juga Van Vollenhoven menegaskan yang demikian.


5. DUA UNSUR HUKUM ADAT
Hukum Adat memiliki dua unsur, yaitu:
1. unsur kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.
2. unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum (opiniyuris necessitatis).


6. BIDANG-BIDANG HUKUM ADAT
Hukum Adat meliputi: a. Hukum Negara, b. Hukum Tata Usaha Negara, c. Hukum Pidana (Supomo: Hukum Adat delik), d. Hukum Perdata, e. Hukum Antar Bangsa Adat.
Sistem hukum Adat sesungguhnya tidak mengenal pembagian hukum dalam dua golongan: hukum privat/sipil dan hukum publik. Pembangian yang demikian ini adalah diintrodusir oleh para sarjana hukum Barat (Belanda) yang memiliki sistematik hukum yang melandaskan pada pengolongan yang demikian itu.


7. TIMBULNYA HUKUM ADAT
Van Vollenhoven: Dalam “Adatrecht”, bahwa dalam hal ini orang harus tidak menggunakan suatu teori, tetapi harus meneliti kenyataan.
Apabila hakim menemui, bahwa ada peraturan-peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah-laku) yang oleh adat, tindakan-tindakan (tingkah-laku) yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lain-lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu terang bersifat hukum.
Ter Haar: Di dalam orasinya pada tahun 1937 berkata, bahwa hukum adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perabot desa dan lain sebagainya dan dinyatakan di dalam dan di luar persengketaan.
Prof. Holleman dalam Indisch Tijdschrift van het Recht. Ia mengatakan, bahwa norma-norma hukum adalah norma-norma hidup yang disertai dengan sanksi dan yang tidak perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan supaya dituruti dan dihormati oleh para warganya. Tidak dipersoalkan apakah terhadap norma-norma itu telah pernah ada penetapan petugas hukum atau tidak.
Prof. Logemann di dalam Indisch Tijdschrift van het Recht, bahwa norma-norma hidup adalah norma-norma pergaulan hidup bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah-laku yang harus dituruti oleh segenap warga pergaulan hidup bersama itu.
Prof. Soepomo di dalam “Bab-bab tentang hukum adat” menulis sebagai berikut: “ Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia (“rule of behaviour”) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan itu.
Prof. Kusumadi Pudjosewojo di dalam bukunya: “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia” menjelaskan arti “Adat” dan arti “Hukum” sebagi berikut:
Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan. Penetapan-penetapan yang dipernyatakan oleh para petugas hukum demikian ini dapat dijadikan tanda ciri untuk menunjukkan batas antara yang “Adat” dan yang ‘Hukum”.
Pada saat penetapanlah aturan tingkah-laku Adat itu tegas berwujud hukum yang positif. Saat penetapan tadi dapat disebut “Exsistential Moment” (saat adanya/lahirnya) hukum itu. Jadi hukum ini tidak tertulis, maka itu disebut: “Hukum Adat”.


8. WUJUD HUKUM ADAT
Di dalam masyarakat hukum Adat Nampak dalam tiga wujud, yaitu sebagai:
a. Hukum yang tidak tertulis (“jus non scriptum”); merupakan bagian yang terbesar.
b. Hukum yang tertutlis (“jus scriptum”); hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan-peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja/sultan-sultan dahulu.
c. Uraian-uraian hukum secara tertulis; lazimnya uraian-uraian ini adalah merupakan suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan.


9. KEKUATAN MATERIAL PERATURAN HUKUM ADAT
Tebal tipisnya kekuatan material sesuatu peraturan hukum adat adalah tergantung dari factor-faktor sebagai berikut:
a. Lebih atau kurang banyaknya (frequentie) penetapan-penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas kepada peraturan hukum yang diwujudkan oleh penetapan-penetapan itu.
b. Seberapa jauh keadaan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.
c. Seberapa jauh peratuaran yang diwujudkan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku.
d. Seberapa jauh peraturan itu selaras dengan syarat-syarat kemanusiaan.


10. MULAI KAPAN ISTILAH “HUKUM ADAT” DIPAKAI
Istilah “Hukum Adat” dipergunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan dalam tahun 1929.
Istilah “Hukum Adat” itu sendiri semula masih asing bagi bangsa Indonesia. Istilah “Hukum Adat” ini diketengahkan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (orang-orang Aceh).
Kemudian istilah “Hukum Adat “ itu dipakai juga oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven. Dan akhirnya pada tahun 1929 pemerintah colonial Belanda mulai memakai istilah “Hukum Adat” (“Adatrecht”) dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangannya.
BAB II
SEJARAH HUKUM ADAT


1. BEBERAPA MACAM SEJARAH HUKUM ADAT
Sejarah hukum Adat dapat dipisahkan dalam:
a. Sejarah proses pertumbuhan dan perkembangan hukum Adat itu sendiri.
b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
c. Sejarah kedudukan hukum Adat, sebagai masalah politik hukum, di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.


2. PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat-istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman pra-Hindu yang menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu – Polinesia. Kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut. Dan kini menurut keadaan serta kenyataan hukum Adat yang hidup pada rakyat itu adalah merupakan hasil akulturasi. Oleh beberapa sarjana terkenal digambarkan sebagi berikut:
Dr. Soekanto:
Dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” menyatakan: “Jika kita mengeluarkan pernyataan, hukum apakah menurut kebenaran, keadaan, yang bagian terbesar terdapat dalam hukum adat Indonesia, jawabnya ialah: hukum melayu-polinesia yang asli itu, dengan di sana-sini bagian yang sangat kecil, hukum-agama.
Prof. Djojodigoeno:
Dalam bukunya ”Azas-azas Hukum Adat”: “Mengenai intisari hukum adat Indonesia dapat kita nyatakan, bahwa pokok pangkal hukum adat Indonesia adalah ugeran-ugeran yang dapat disimpulkan dari sumber tersebut di atas (=kekuasaaan pemerintah Negara atau salah satu sendinya dan kekuasaaan masyarakat sendiri) dan timbul langsung sebagai pernyataan kebudayaan orang Indobesia asli, tegasnya sebagai penyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven:
Dalam bukunya “Het Adatrecht van Nederland Indie” menggambarkan hukum adat yang terdiri dari unsur: yang tidak tertulis (jus non-scriptum) dan yang tertulis (jus scriptum).


3. KITAB-KITAB HUKUM KUNO DAN PERATURAN-PERATURAN ASLI LAINNYA
Dengan terdapat kitab-kitab hukum seperti: Civacasana, Gajahmada, dan Kutaramanava, maka jelas bahwa di Indonesia jauh sebelum orang Belanda, Portugis, Spayol dan lain-lain orang Eropa datang, telah memiliki sistem dan azas-azas hukumnya sendiri, yang khas. Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut dikenal juga peraturan-peraturan asli yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia.


4. TEORI “RECEPTIO IN COMPLEXU”
Mr L. W. C. van dan Berg menegahkan suatu teori tentang hukum Adat yang disebut “teori reception in complex”. Inti daripada isi teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia”.
Teori Van den Berg ini mendapatkan kritikan dari sarjana-sarjana sebangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Vollenhoven tidak membenarkan teori Van den Berg. Menurut Vollenhoven gambaran itu jauh berbeda sekali dengan kenyataannya.
Nyatanya hukum Adat itu sendiri terdiri atas hukum asli (Melayu-Polynesia) dengan ditambah di sana-sini ketentuan-ketentuan hukum agama.


5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:
a. Faktor Magi dan Animisme
Menurut Mr. Is. H. Cassutto dalm bukunya “Adatrecht van Ned- Indie”, pengaruh magi dan animisme ini khususnya terlihat dalam empat hal sebagi berikut:
a. Pemujaan roh-roh leluhur.
b. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik.
c. Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib.
d. Dijumpainya di mana-mana orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut di atas.
b. Faktor Agama
Agama Hindu lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terhadap hukum Adatnya ternyata sedikit sekali.
Agama Islam dibawa masuk oleh pedagang-pedagang dari Malaka dan Iran pada akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-15. Penyebarannya berlangsung secara damai antara lain dengan jalan perkawinan, oleh karena itu dapat meresap pada bangsa Indonesia.
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang bangsa Barat, kemudian meluas secara damai melalui zending dan missie ke seluruh kepulauan kita.
c. Faktor Kekuasaan yang Lebih Tinggi daripada Persekutuan Hukum Adat
Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum adat adalah kekuasaan-kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, Kepala Kuria, dan lain sebagainya. Pengaruh kekuasaan-kekuasaan ini ada yang bersifat positif ada pula yang bersifat negative.
d. Hubungan dengan Orang-orang ataupun Kekuasaan Asing


6. SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI SISTEM HUKUM DARI TIDAK/BELUM DIKENAL HINGGA SAMPAI DIKENAL DALAM DUNIA ILMU PENGETAHUAN
Dalam zaman kompeni barulah bangsa asing mulai menaruh perhatiannya terhadap adat istiadat kita. Ada yang mencurahkan perhatiannya itu sebagai orang perseorangan (Robert Padtbrugge dan Francois Valentijn), ada pula yang karena jabatannya ataupun yang khusus mendapat tugas/perintah dari penguasa kolonial pada saat itu.
Pada zaman Kompeni (1602-1800)
Bangunan-bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada di daerah-daerah sejauh mungkin dibiarkan saja, sehingga hukum rakyat tersebut masih tetap terbuka. Sikap Kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung daripada keperluan pada ketika itu. Jadi, Kompeni menjalan politik oppourtuniteit.

Mr. Idema
Dalam hukum adat sesuatu kejahatan harus dihukum dengan hukuman denda. Dengan diadakannya syarat-syarat tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika keadaan memaksa.
Dalam zaman Kompeni terdapat beberapa kitab hukum dan tulisan-tulisan tentang hukum adat sebagai berikut: Kitab Hukum Mogharraer, Catatan tantang Hukum Adat yang terdapat di keratin Bone dan Goa, Kitab Hukum Preijer, Pepakem Cirebon, Laporan Van Overtraten, Tulisan Nicolaas Engelhard, Hasil penelitian Dirk van Hogendorp. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa kompeni belum mengerti seluk-beluk, corak, sifat serta isi dari hukum adat.

Zaman Daendels (1808-1811)
Daendels, walaupun menganggap, bahwa hukum adat dihinggapi kekecewaan terutama hukum pidananya merasa segan untuk menggantikan hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Daendels menganggap hukum asli di pulau Jawa terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi Daendels belum paham tentang corak dan sifatnya hukum asli ini. Daendels menganggap derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat.

Zaman Raffles (1811-1816)
Tindakan yang pertama dilakukan oleh Raffles adalah dibentuknya panitia Mackenzie untuk mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Indonesia di pulau Jawa. Setelah panitia Mackenzie selesai, pada tanggal 11 Februari 1814 oleh Raffles diumumkan proclamatie yang membuat “Regulations for the more effectual administration of justice in the provincial courts of Java” yang terdiri atas 173 pasal. Perasaan nasional mendorong Raffles untuk mengambil contoh dari India; dan di sana atas orang asli dilakukan hukum adatnya. Raffles mengira bahwa hukum Adat itu tidak lain ialah hukum Islam. Hukum Adat menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa; hukum Adat dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diperlakukan atas orang Eropa.

Zaman Kolonial Belanda
Datang zaman Commissie Generaal (1816-1819) dengan penasehat Mr. Herman Warner Muntinghe. Pada pokoknya Commissie-Generaal tetap memperlakukan hukum Adat terhadap bangsa Indonesia.
Van der Capellen menggantikan Commissie-General dalam tahun 1824 mengumumkan suatu peraturan untuk Sulawesi Selatan di mana hukum adat sama sekali tidak mendapat perhatian.
Du Bus mempunyai pengertian bahwa yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
Van den Bosch mengatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuaran antara peraturan Bramien dan Islam.
J. Chr. Baud dapat kesempatan melindungi hak ulayat desa mengenai tanah hak ulayat.
Terdapat pula orang-orang Asing bukan pejabat tinggi pemerintahan colonial yang mempunyai cukup perhatian terhadap hukum adat, misalnya: J.W. Winter, C.F. Winter, Dr. D.L. Mounier.
Ada pula mereka yang sengaja mempelajari dan menyelidiki hukum adat itu sebagai ilmu pengetahuan, melukiskan karangan-karangan dalam beberapa majalah yang kemudian diterbitkan, seperti: Van den Broecke, Van Schmid, Heymering, Mr. J.F.W. van Nes, Prof. Roorda, J.F.G. Brumund, Dr. S.A. Budingh, Thomas John Newbold, James Richardson Logan, dan C. Edouard Dularier.
Maka hukum adat sudah tidak lagi terbatas hanya menarik perhatian kaum penjajah saja, tetapi juga sudah menarik perhatiannya kaum cerdik pandai bangsa-bangsa asing lainnya.


7. PENGERTIAN DAN PENGHARGAAN TERHADAP HUKUM ADAT MULAI BERTAMBAH
Perhatian serta inisiatif untuk lebih mempelajari hukum adat dari semua kalangan nampak sekali sebagai berikut:
a. Kalangan Staten Generaal dalam soal-soal agrarian.
b. Kalangan Binnenlandsch Bestuur (Pamong-Praja) dalam soal-soal organisasi masyarakat desa dan hukum adat tata Negara.
c. Kalangan Zending dalam soal-soal hukum kekeluargaan dan hukum waris.
d. Kalangan ahli hukum dalam soal-soal perjanjian-perjanjian hukum kekayaan dan pertanyaan-pertanyaan tentang hukum pidana.
Tetapi masih terdapat kekurangan, yaitu kekurangan terutama tentang pengertian mengenai jalan pikir Timur, pembagian penghargaan yang sangat berlainan dengan penghargaan, pembagian dan jalan pikir Barat.


8. MEMPERDALAM PENYELIDIKAN HUKUM ADAT DILIHAT DENGAN KACAMATA TIMUR
Pekerjaan-pekerjaan dalam bidang adat pada masa itu perlu dikemukakan adalah antara lain:
a. Wilken menegaskan, bahwa hukum adat itu di mana-mana adalah hukum rakyat, kadang-kadang beberapa bagian kecil diubah sedikit karena pengaruh Islam atau Hindu.
b. F.A Liefrinck menjelaskan pekerjaannya hukum adat meliputi hukum tanah, pajak bumi, raja-raja, susunan desa, khususnya di pulau Bali.
c. Snouck Hurgronje adalah yang pertama kali menggunakan istilah “hukum Adat” untuk menyebut adat-adat yang mempunyai sanksi hukum.
Pada abad ke-20 mulai hidup pengertian, bahwa penyelidikan hukum adat harus juga dilihat dengan kacamata Timur; meninggalkan rasionalisme dan meterialisme dari abad yang lalu dan membuka mata terhadap ke-Timuran, terhadap hal-hal yang materialistis, terhadap dunia religio-magis.
Mr. F.D.E. van Ossenbruggen menulis karangan tentang “Het magisch denken van de Indonesier” (cara berpikir magis bangsa Indonesia).
Periode memperdalam pengertian hukum adat dengan teliti ini dikerjakan pula oleh: Balai Perguruan Tinggi, Yayasan Hukum Adat, Pamong Praja, dan Zending dan Missie.
Putera-puteri Indonesia yang di Balai Perguruan Tinggi di negeri Belanda membuat disertasi adalah antara lain: Kusumaatmadja (tentang wakaf), Soebroto (tentang sawah verpanding=gadai sawah), Endabumi (tentang Bataks grondenrecht=hukum tanah suku Batak), dan Soepomo (tentang Vortenlands grondenrecht=hak tanah di kerajaan-kerajaan, dimaksud kerajaan Surakarta).
Di Indonesia sendiri penyelidikan tentang hukum adat dilakukan oleh: Djojodigoeno/Tirtawinata (Hukum Adat privat Jawa Tengah), Soepomo (Hukum Adat Jawa Barat), dan Hazairin (Membuat disertasinya tentang “Redjang”)

Search