Choose the categories.!

Monday 7 October 2013

Kebodohanku

Kenapa aku harus melakukannya? Pertanyaan yang tiba-tiba datang.
Kenapa memangnya? Apa salah aku melakukannya? Tidak bukan?
Aku juga ingin membuat tubuh ini bisa terlelap walau hanya sesaat. Tapi apa?
Masih banyak hal yang aku harus kerjakan. Bersabarlah hanya itu yg dapat ku katakan.
Mungkin besok akan lebih baik, lusa mungkin, atau minggu depan. Aku sendiri tidak tau, yang jelas bersabarlah….
Sedikit lagi mungkin akan sampai disana. Hingga akhirnya bisa bernafas lega.
Biarlah banyak mata memandang aneh. Aku juga tidak peduli lagi.
Mungkin bagi mereka sudah ada kepastian, tapi bagiku belum.
Untuk besok pun aku masih ragu, apalagi lusa?
Biarlah aku berjuang sampai aku lelah dan berharap Dia yang disana masih berpihak. 

Makalah Politik Hukum (Mekanisme Pemberhentian Presiden)

BAB I 
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.
            Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden tersebut disebutkan secara terbatas dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
           Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifay yuridis dan hanya mengacu pada ketentaun normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Mekanisme pemberhentian presiden dalam UUD 1945 setelah perubahannya yang keempat mempunyai beberapa tingkatan dalam pelaksanaannya. Mekanisme pemberhentian Presiden yang berdasarkan UUD 1945 setelah perubahannya yang keempat mungkin masih belum dipahami secara seksama oleh masyarakat. Masyarakat masih terpaku pada konsep kekuasaan presiden sebelum adanya perubahan dalam UUD 1945.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat makalah berjudul “Mekanisme Pemberhentian Presiden”. 

           1.2 Rumusan Masalah    
1.2.1 Bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden dan atau Wapres sebelum dan sesudah perubahan           UUD 1945?
1.2.2 Bagaimana peran DPR dan DPD sebagai anggota dari MPR dalam proses impeachment?
1.2.3 Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment?

1.3  Tujuan Penulisan
            Mengetahui mekanisme pemberhentian Presiden  dalam masa jabatannya yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lembaga Kepresidenan
               Sebelum perubahan, struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap kelembagaan kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga puluh tujuh pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan (pasal 4-15 dan pasal 22). Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin terlepas dari Presiden. Setelah perubahan (empat kali perubahan), jumlah pasal yang secara langsung mengenai lembaga kepresidenan menjadi 19 pasal dari 72 pasal (diluar tiga pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan). Secara kualitatif jumlah ketentuan baru berkurang dibandingkan ketentuan lama. Walaupun demikian, mengingat berbagai macam alat kelengkapan negara dan hal-hal lain yang diatur dalam UUD, pengaturan mengenai jabatan kepresidenan tetap dominan dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan lain. 
               UUD 1945 memberikan kedudukan yang kuat kepada kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan  membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi)[1] dan lain sebagainya.



2.2 Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945 
            Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan suara terbanyak [Pasal 6 ayat (2)] dan tentang penggantian jabatan Presiden oleh Wakil Presiden dalam hal Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8). 
            Ketentuan tentang pemberhentian terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 tetapi hanya terkait dengan Presiden, sedangkan untuk Wakil Presiden tidak ada ketentuan dalam Penjelasan UUD 1945. Penjelasan angka VII paragraf ke-3 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan: 
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa memininta pertanggungjawaban dari Presiden. 
            Ketentuan lebih lanjut mengenai persidangan istimewa diatur dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 yang menyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.[2]



2.3 Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Sesudah Perubahan UUD 1945
Impeachment berbeda-beda di setiap negara. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan masing-masing dan dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang menghantarnya pada pilihan konsep yang diterapkan saat ini.  Di Amerika misalnya,  impeachment dapat diajukan terhadap seluruh pejabat publik.  Filipina, konstitusinya secara limitatif menyebutkan bahwa yang dapat di-impeach adalah Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota (Hakim) Mahkamah Agung, anggota Komisi Konstitusi, dan ombudsman.
            Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa yang dapat di-impeach adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Selengkapnya Pasal ini berbunyi:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” [3]
            Dengan demikian ada beberapa alasan yang menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia dapat di-impeach, antara lain:
·         Terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa;  pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.
·         Melakukaan perbuatan tercela.
·         Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
            Berdasarkan Pasal 7A diatas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapatnya.  Pendapat DPR ini adalah dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan yang dimilikinya.[4]
            Pengajuan permintaan  DPR kepada Mahkahah Konstitusi ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[5]
            Paling lama  sembilan puluh hari setelah permintaan DPR diterima, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus permintaan tersebut.[6] Dan apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal7A, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada MPR.[7]
            Paling lama tiga puluh hari sejak usul DPR diterima, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul tersebut.[8] Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna  yang dihadiri oleh  sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh  sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna tersebut.[9]


2.4 Peran DPR dan DPD Sebagai Anggota MPR dan Dalam Proses Impeachment
            Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK.
            Mengenai 3 alasan yang terdapat dalam pasal 8 UUD 1945 juga masih terdapat berbagai pendapat. Alasan yang pertama yakni apabila seorang Presiden mangkat atau meninggal, ia akan digantikan oleh Wakil Presiden. Mengenai alasan ini sudah jelas, seseorang yang dinyatakan mangkat atau meninggal secara umum sudah dapat dimengerti karena meninggal merupakan suatu keadaan alamiah. Meninggalnya seseorang memang merupakan peristiwa hukum, sebagaimana diketahui dalam teori, pristiwa hukum dapat dibagi atas dua hal yakni ada yang merupakan perbuatan subyek hukum dan ada yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum. Meninggalnya sesorang merupakan peristiwa hukum yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum atau suatu keadaan tertentu. 
            Alasan yang kedua jika seorang Presiden berhenti. Pengertian berhenti mengandung konotasi atas kemauan sendiri bukan dipaksakan. Jika dilihat pendapat Jimly Asshidiqqie pengertian berhenti jika dikaitkan dengan berhentinya Presiden Soeharto dapat diartikan sebagai tindakan atau pernyataan mengundurkan diri sepihak karena alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.[10]
            Sedangkan yang ketiga jika seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya maka ia diganti oleh Wakil Presiden. Mengenai pengertian tidak dapat melakukan kewajibannya menimbulkan suatu permasalahan, apa yang membuat seorang Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya. Dalam Penjelasan UUD 1945 tidak terdapat apa yang dimaksud dengan tidak dapat melakukan kewajibannya. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak dapat melakukan kewajibannya mengandung pengertian[11]:
1.      Jika Presiden karena suatu sebab mengajukan permintaan berhenti/mengundurkan diri kepada MPR. Jadi dasar hukum pemberhentiannya dari jabatan Presiden adalah Presiden tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya.
2.      Jika Presiden dalam suatu keadaan kesehatan atau keadaan lainnya yang sedemikian rupa, sehingga atas dasar pertimbangan atau penilaiaan Dokter atau pihak yang berkompeten yang dapat bertanggung jawab secara hukum keadaan tidak dapat dipulihkan kembali.
3.      Jika terjadi perubahan dalam kemampuan Presiden untuk melaksanakan kewajibannya.
            Alasan tidak dapat melaksanakan kewajibannya pada beberapa negara merupakan salah satu alasan dari pemberhentian Presiden dalam arti luas. Tetapi, walaupun termasuk dalam alasan pemberhentian Presiden bukan merupakan pendakwaan terhadap presiden hanya merupakan penggantian Presiden. Memang pada alasan Presiden tidak dapat melasanakan kewajibannya diperlukan pembuktian terhadap presiden, tetapi pembuktian tersebut bukan merupakan pendakwaan Presiden, seperti yang terjadi apabila presiden melanggar hukum .
            Banyak dimensi-dimensi berpikir yang melingkupi arti tanggungjawab dan pertanggungjawaban, termasuk didalamnya hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis. Oleh karena itu, timbul kesulitan untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Hal terpenting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia.[12]
            Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Pasal 8 UUD 1945 tidak mengatur pemberhentian Presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur penggantian presiden, yakni hal terjadinya kekosongan jabatan Presiden, dengan asumsi bahwa apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden pada masa jabatannya diganti dengan Wakil Presiden dengan alasan seperti yang dijelaskan di atas.
            Pemberhentian Presiden tidak hanya dapat terjadi karena alasan pidana tetapi dapat pula terjadi karena alasan tatanegara. Jika di lihat konstitusi beberapa negara, pelanggaran tatanegara (Violations of Constitutions) merupakan alasan terjadinya impeachment berarti impeachment tidak selalu identik dengan alasan pidana tetapi juga tatanegara. Oleh karenanya, menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan yang dianut dalam Penjelasan UUD 1945 dan ketentuan impeachment sama-sama merupakan prosedur pemanggilan persidangan parlemen yang terkait dengan dakwaan yang dilakukan oleh kepala pemerintahan. Hanya saja, proses penilaian (judgment) yang mendasari pemangilan berbeda. Jadi dapatlah dikatakan bahwa pelanggaran tatanegara dapat pula dijadikan alasan pemberhentian Presiden seperti yang diatur dalam Penjelasan UUD 1945.
            Minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.
            Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.
            Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.
            Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
            Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut. Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
            Tahap kedua berada di tangan MK. Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR. MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag).[13] 
            Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima usulan tersebut. Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI).
            Di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi impeachment menurut UUD NKRI 1945 adalah DPR, MK, dan MPR. Namun jika ditelaah lebih dalam, masih ada lembaga negara yang sebenarnya memiliki peran dalam impeachment yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD sebagai kamar perwakilan rakyat dalam kekuasaan legislatif negara memiliki wewenang yang jauh di bawah/lebih lemah dari DPR, padahal kedudukan DPR dan DPD dalam konstitusi seimbang. DPD memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya sidang istimewa MPR dan memberikan suara terhadap penentuan berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses impeachment dilakukan di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak dapat terbentuk apalagi untuk menyelenggarakan sidang istimewa. MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[14] 
            Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan lembaga yang tersendiri di samping fungsinya sebagai rumah penjelmaan rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah harus dibedakan hakikatnya dan prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota kedua dewan itu. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berdiri sendiri, di samping terdiri atas kedua lembaga perwakilan itu menyebabkan struktur parlemen Indonesia, terdiri atas tiga pilar yaitu MPR, DPR dan DPD (trikameral) yang sama-sama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden dan pelaksana kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.[15]
            DPR melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk segala tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat 2 Tap MPR No.III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan oleh Presiden, maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
            Sebenarnya lembaga negara yang mengakomodasi impeachment tidak hanya DPR, MK, dan MPR tetapi juga DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang harus diberikan wewenang oleh konstitusi. DPD memiliki peran untuk menyetujui pendapat DPR untuk diselenggarakan Sidang Istimewa MPR. Peran DPD yang menurut penulis sangat penting ialah ketika diambil suara mayoritas yakni 2/3 suara dari ¾ anggota MPR yang hadir dalam Sidang Istimewa. Kita tahu bahwa MPR merupakan lembaga negara yang secara normatif berdiri sendiri sejajar dengan DPR dan DPD, namun dalam kesehariannya MPR tidak melakukan tugas apapun karena anggota MPR ada jika anggota DPR dan DPD bergabung untuk menyelanggarakan sidang.
            Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan tersebut, MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk menilai pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden tersebut.
            Dalam pengambilan keputusan di tingkat MPR ini, anggota DPD memiliki otoritas untuk menyetujui atau tidak bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya. Jika anggota DPD yang tergabung dalam Rapat Paripurna tidak menyetujui, maka pendapat DPR dapat dimentahkan dan proses impeachment gagal untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden dari jabatannya.


2.5 Peran Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment
            Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
            Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
            MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
            Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
            Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
            Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu :
1.      Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat.
2.      Amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.
3.      Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[16] 

            Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil  Presiden (impeahcment) sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia.  Karena melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen tanpa dasar/alasan yang konstitusional. Hal ini berbeda dengan mekanisme pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain Presiden dan/atau Wakil Presiden kala itu dapat diberhentikan jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan-kebijakannya tidak diterima oleh MPR.  Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensiil yang menghendaki terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, mekanisme impeachment yang digulirkan melalui perubahan keempat Undang-Undang  Dasar  merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil.
            Prinsip negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran seolah dikesampingkan dalam mekanisme impeachments sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mekanisme impeachment, putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Tidak ada satu klausul pun dalam Konstitusi maupun peraturan    perundang-undangan lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah dalam hal ini. Ditambah lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh putusan politik.



3.2 Saran 
1   Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebaiknya tidak mengutamakan keputusan politik belaka melainkan juga keputusan hukum mengingat Indonesia merupakan negara hukum.

2.  Dengan adanya putusan MK yang tidak mengikat menunjukkan bahwa politik masih lebih diutamakan sedangkan hukum justru dikesampingkan, sehingga sebaiknya hukum harus diletakkan sebagai hal yang utama dan putusan MK haruslah bersifat final dan mengikat sehingga MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia hanya merupakan lembaga yang menetapkan putusan MK tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pemberhentian dan Penggantian Presiden, 2000, Pusat Studi HTN: Jakarta. 
Manan , Bagir, 2006, Lembaga Kepresidenan, Edisi Revisi, 2006, FH UII Press: Yogyakarta.
___________, Teori dan Politik Konstitusi, 2004, FH-UII PRESS: Yogyakarta.
Suny, Ismail, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, 1981, Fakultas Hukum USU: Medan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, 1996, Gema Insani Press: Jakarta.



[1] Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[2] Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978
[3] Pasal7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[4] Pasal7B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[5] Pasal7B ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[6] Pasal7B ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[7] Pasal7B ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[8] Pasal7B ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[9] Pasal7B ayat (7) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[10] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden” Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000, hlm. 130.
[11] Jimly Asshiddiqie, “Pemberhentian dan Penggantian Presiden”, Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000 , hlm. 131-132.
[12] Ismail Suny, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31. 
[13] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 102. 
[14] Pasal 2 ayat (1) 1945 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[15] Jimmly Asshiddiqie, 2005:86-90

[16] Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Search