Choose the categories.!

Wednesday 23 February 2011

Rangkuman Hukum Adat karangan Soerojo Wignjodipoero, S.H. (Bab III & IV)

BAB III
SEJARAH HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM, DI DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


1. MASA MENJELANG TAHUN 1848
Pertama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai masalah hukum oleh pemerintah Belanda adalah pada saat pengangkatan Mr. G.C. Hageman sebagai ketua “Hoog Gerechtshof Hindia-Belanda” pada tanggal 30 Juli 1830. Hageman membayangkan adanya persatuan buku hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Eropa. Angan-angan Hageman tinggal angan-angan saja, sebab tempo yang diberikan kepadanya talah berakhir.
Untuk mempersiapkan tercapainya maksud menyesuaikan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum baru di negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia yang diketuai C.J. Scholten. Panitia itu dibubarkan setahun kemudian karena Scholten sakit dan pulang ke negeri Belanda. Tetapi pada tahun 1839 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai sebuah panitia yang bertugas untuk mengadakan rencana agar hukum-hukum negeri Belanda yang baru dapat diberlakukan di Indonesia. Scholten berpendapat bahwa bangsa Indonesia terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang termaktub di dalam perintah pemerintah Belanda.
Hasil pekerjaan Scholten diperkuat dengan seorang ahli yaitu J. van der Vinnie. Ia beranggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal bagi suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama Nasrani, sedangkan penduduk yang beragama Islam amat besar kesetiannya pada sendi-sendi agamanya seta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diberlakukannya hukum Belanda berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat dari pada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain.


2. HUKUM ADAT SEBAGAI MASALAH POLITIK HUKUM PADA TAHUN 1848 dan seterusnya
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi. Suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan untuk menggantikan hukum adat.
Maka secara ringkas undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat dan seterusnya di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Usaha ke-1
Mr. Wichers, rencana kodifikasi Wichers gagal, karena hukum Barat tidak cocok bagi apa yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan hukum sederhana bangsa Indonesia.
Usaha ke-2
Van der Putte, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraria penguasa Belanda. Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut lebih dahulu diadakan penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap tanah.
Usaha ke-3
Cremer, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah di mana penduduknya telah memeluk agama Kristen. Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah disusul oleh usaha berikutnya.
Usaha ke-4
Kabinet Kuyper mengusulkan suatu rencana untuk mengantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima amandemen Van Idsinga yang hanya mengizinkan penggantian hukum adat dengan hukum Barat, jika kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat menghendakinya.
Usaha ke-5
Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Rencana ini tetap tinggal rencana yang tidak pernah dimajukan kepada Parlemen Belanda.
Usaha ke-6
Mr. Cowan membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalm tahun 1923. Gagal lagi, karena kritik Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk”.
Sebab kegagalan semua usaha tersebut di atas adalah, karena bahwasanya tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk, harus tunduk pada hukum yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa. Bangsa Indonesia tidak bisa dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat.
Dan dalam tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, Ia menolak penyatuan hukum (unifikasi).


3. SEJAK TAHUN 1927 POLITIK PEMERINTAH HINDIA BELANDA TARHADAP HUKUM ADAT MULAI BARGANTI HALUAN, YAITU DARI “UNIFIKASI” BERALIH KE “KODIFIKASI”
Konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadakan pencatatan-pencatatan yang sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, tetapi didahului dengan penelitian dan penyelidikan yang dipimpin oleh para ahli. Tujuan ini adalah untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili hukum adat. Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven ini diterima. Dan politik pemerintah kolonial Belanda kembali secara teratur kearah dualisme.
Mr. B. Ter Haar, murid Van Vollenhoven, berusah supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakan sebagai hal yang sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya sekarang.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi Vollenhoven diterima, menghendaki juga re-organisasi sistem pengadilan. Terutama sekali Ter haar yang mengadakan re-organisasi pengadilan, yang melaksanakan pengadilan desa dan akhirnya pengadilan negeri, kesemuanya itu untuk memperbaiki pengadilan Mahkamah-Mahkamah yang harus melakukan hukum adat.
Jadi yang terjadi hingga sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda kepada Balatentara Jepang adalah kodifikasi dan bukan unifikasi.


4. DASAR HUKUM SAH BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Sebelum Undang-Undang No. 19 tahun 1964 L.N. No.107 tahun 1964, yakni Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, maka yang menjadi dasar Hukum Adat adalah masih Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945.
Jadi pada zaman Jepang pun pada haikikatnya dilanjutkan keadaan perundang-undangan dari zaman kolonial Belanda.
Untuk mengetahui dasar-dasar juridis tentang berlakunya hukum adat di Indonesia secara sah hukum adat, kita harus meninjau kembali keadaan pada zaman Belanda dan kemudian mengikuti perubahan-perubahan yang diadakan pada masa berikutnya sampai sekarang.
Pada zaman Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 Indische Staatsregeling (disingkat IS), yang menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis dan pluralistis.
Pada saat itu hukum adat berlaku berdasarkan pasal 75 “Regerings-Reglement” baru (disingkat RR baru) yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1920. Ketentuan-ketentuan ini asalnya dari pasal 11 AB tahun1884 (AB= Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie= Ketentuan-ketentuan Umum bagi Perundang-undangan Indonesia). Apabila peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau apabila soal yang menjadi perkara itu tidak ada peraturan adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum perdata/dagang Eropa sebagai pedoman (pasal 75 RR (lama) ayat 6).
Kini di Indonesia berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Eropa. Selain pasal 131 IS tersebut, masih terdapat dua pasal dari IS yang masih memungkinkan berlakunya hukum adat, yaitu pasal 21 IS ayat 2 dan pasal 130 IS.
Maka sejak kemerdekaan Indonesia pengeterapan tiap peraturan-peraturan perundangan dari zaman sebelumnya yang berdasarkan pasal II Aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 masih berlaku wajib dijiwai oleh pokok pikiran yang bersumber pada Pancasila dan tidak lagi berorientasi pada “Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands-Indie”.
Tentang dasar/landasan hukum sah berlakunya Hukum Adat sekarang.
Jauh sebelum Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman diundangkan, sesungguhnya secara konstitusional telah dapat diketemukan pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, yaitu pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS dan pasal 104 ayat (1) Undang Undang Dasar Sementar 1950.
Dalam alinea dari penjelasan umum Undang-Undang No. 19 tahun 1964, dengan dihubungkan dengan pasal 17 ayat 2 dan pasal 3 dari Undang-Undang tersebut diketemukan dasar/alasan berlakunya Hukum Adat yang disebut hukum tidak tertulis. Dan dengan diundangkannya Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman ini, maka gugurlah perundang-undangan kolonia/pasal 131 IS (6)/sebagai dasar hukum berlakunya Hukum Adat.
Karena ketentuan dalam pasal 19 UU No. 19 tahun 1964 isinya bertentangan dengan jiwa Undang Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang isi umumnya hampir sama. Pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat adalah Pasal 23(1) dan pasal 27 (1).
Dengan demikian, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagi hukum yang tidak tertulis adalah: Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 dan pasal 23 ayat (1). Untuk Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14 tahun 1970.


5. NILAI-NILAI UNIVERSAL DALAM HUKUM ADAT
Hukum adat yang tradisional ini menunjukkan juga adanya nilai-nilai yang universal seperti:
a. Asas gotong royong.
b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat.
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.


6. KEPRIBADIAN HUKUM ADAT ITU BAGAIMANA?
Bangsa Indonesia berkepribadian Pancasila, sehingga hukum adat pun berkepribadian Pancasila pula, demikian pula hukum yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berkepribadian sama dengan Hukum Adat.


7. HUKUM ADAT DAPAT DIKETEMUKAN DI MANA SAJA? APAKAH YANG MENJADI SUMBER-HUKUMNYA SERTA APAKAH YANG MENJADI SUMBER PENGENALNYA (= kenbron)
Hukum adat dapat dicari atau tempat-tempat hukum adat itu adalah:
a. Dalam masyarakat itu sendiri. Kalau tidak ada kesempatan untuk hidup sendiri di dalam masyarakat yang bersangkutan, maka dapat dicari atau diketemukan dalam keputusan-keputusan Penguasa masyarakat tersebut ataupun dalam kesusastraan masyarakat yang bersangkutan dan juga dalam tulisan-tulisan, karangan-karangan ilmiah tentang masyarakat dimaksud oleh para sarjana.
b. Catatan-catatan ataupun himpunan-himpunan peraturan-peraturan hukum adat yang disusun dan dibukukan dalam kitab-kitab.
Sumber hukum adat adalah:
• Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (Van Vollenhoven).
• Kebudayaan tradisional rakyat (Tar Haar).
• Ugeran-ugeran (Djojodiguno).
• Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat (Supomo).
Sumber pengenalnya adalah:
• Pepatah-pepatah adat.
• Yurisprudensi adat.
• Laporan-laporan dari komisi-komisi penelitian.
• Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu.
• Buku-buku undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan.
• Buku-buku karangan sarjana.


8. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL INDONESIA
Dalam lampiran A dari Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pada paragraf 402 No. 34 dan 35 disebut dengan jelas asas-asas yang harus diperhatikan oleh para Pembina Hukum Nasional yaitu:
a. Pembangunan hukum Nasional harus diarahkan kepada homogeniet hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
b. Harus sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan Masyarakat adil dan makmur.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang diadakan dengan keputusan Presiden nomor 107 tahun 1958 diberi tugas:
Melaksanakan pembinaan Hukum Nasional sesuai yang dikehendaki oleh ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 (berdasarkan Hukum Adat) dengan tujuan mencapai Tata Hukum Nasional sebagai berikut:
A. Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundang-undangan
B. Menyelenggarakan masalah-masalah yang belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.


9. BAGAIMANA KEDUDUKAN HUKUM ADAT INI DI KEMUDIAN HARI?
Prof. Soepomo di dalam Dies Natalis pada tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai berikut:
a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu Negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyrakat itu sendiri.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak diterapkan oleh undang-undang.
Prof. M. Nasrun S.H. dalam buku beliau “Dasar falsafah adat Minagkabau” menyatakan bahwa, justru adat itulah yang menentukan sifat dan corak ke-Indonesiaan dari kepribadian bangsa Indonesia. Justru adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia dari abad ke abad.
Dari kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke-4 dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam hukum Adat masih tetap akan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan Hukum Nasional kita yang akan datang.










BAB IV
SISTEM HUKUM ADAT


1. SENDI-SENDI HUKUM ADAT YANG MERUPAKAN LANDASAN (FUNDAMENTAL)
Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum Barat.
Hukum adat memiliki corak sebagai berikut:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat.
b. Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiriran pentaatan serba konkrit.
d. Hukum adat memiliki sifat yang visual .
Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental, misalnya:
1. Hukum Barat mengenal “zekelijke rechten” (hak atas benda) dan ”persoonlijke rechten” hak atas sesuatau objek (benda)/hak relatif. Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti tersebut di atas.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini.
3. Hukum Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan, yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata. Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian.
Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat.
b. Pandangan hidup yang mendukung kedua hukum itu juga jauh berlainan.


2. BAHASA HUKUM
Hukum adat, pembinaan bahasa hukum ini justru masih merupakan suatu masalah yang sangat meminta perhatian khusus pada para ahli hukum Indonesia.
Bahasa hukum adalah bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam satu atau dua hari saja, tetapi harus melalui suatu proses yang cukup lama. Apa yang menjadi perasaan hukum dalam hati nurani rakyat serta apa yang diketemukan dalam keputusan-keputusan kepala/hakim adat sebagai hukum yang berlaku tetapi yang belum dituangkan dalam rumusan bahasa hukum yang tertulis secara tajam dan pasti, oleh para sarjana hukum, para hakim, pengundang-undangan dan ilmu pengetahuan wajib direnungkan, dimengerti untuk kemudian hari dirumuskan dan dituangkan secara tepat di dalam bahasa hukum yang dapat menggambarkan maknanya.
Bahasa hukum lahir dan tumbuh setapak demi setapak. Kata-kata yang terus-menerus dipakai dengan konsekwen untuk menyebut suatu perbuatan dan keadaan, lambat laun menjadi istilah yang memiliki isi dan makna tertentu.


3. PEPATAH ADAT
Kecuali istilah-istilah hukum adat di berbagai lingkaran hukum adat terdapat pula “pepatah adat” yang sangat berguna sebagai petunjuk tentang adanya sesuatu peraturan hukum adat.
Prof. Snouck Hurgronje dalam “Verpreide geschriften IV” menegaskan, bahwa pepatah adat tidak boleh dianggap sebagai sumber atau dasar hukum adat.
Vergouwen dalam “Het recht sleven der Toba-Bataks” menulis, bahwa pepatah adat tidak mempunyai sifat normative seperti pasal-pasal undang-undang.
Ter Haar dalam Indisch Tijdschrift van het Recht 144 berkata, bahwa pepatah adat bukan merupakan sumber hukum adat, melainkan mencerminkan dasar hukum yang tidak tegas.
Prof. Soepomo dalam “Bab-bab tentang hukum adat”, menegaskan bahwa pepatah adat memberi lukisan tentang adanya aliran hukum yang tertentu.


4. PENYELIDIKAN TENTANG HUKUM ADAT
Apabila berkehendak melakukan penyelidikan setempat, maka agar memperoleh bahan-bahan yang tepat serta berharga tentang hukum adat perhatian harus diarahkan kepada yang berikut:
a. Research tentang putusan-putusan petugas hukum ditempat/daerah yang bersangkutan.
b. Sikap penduduk dalam hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang sedang disoroti dan diinginkan mendapat keterangan dengan melakukan “field research” itu.
Yang menentukan dalam penyelidikan hukum adat secara demikian ini bukannya banyaknya jumlah perbuatan-perbuatan yang terjadi, tetapi ya atau tidaknya tingkah laku itu dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai hal yang memang sudah seharusnya. Perasaan inilah yang memberi kesimpulan adanya suatu norma hukum.


5. HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran sendiri (“geestesstructuur”), maka hukum di dalam tiap masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.
Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.

1 comment:

Search