BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak
penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk
undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di
dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai
tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan
penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar
ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan
penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar
ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat
mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah
keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak
bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak
dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak
terdapat sesuatu unsur schuld.
Keadaan-keadaan
yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap
seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang
meniadakan “penuntutan” sedang keadaan-
keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun
tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Keadaan-keadaan khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar dalam kalangan masyarakat. Apa
yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan tersebut harus disampaikan
dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan atau dasar dari penghapusan penuntutan dan alasan atau dasar dari penghapusan pidana.
1.2 Identifikasi Masalah
1.2 Identifikasi Masalah
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan alasan penghapusan pidana dan penghapusan penuntutan?
1.2.2
Apakah perbedaan dari keduanya?
1.2.3
Apakah alasan dari penghapusan pidana dan penghapusan penuntutan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Perbedaan Alasan Penghapusan
Kewenangan Pemidanaan dan Penghapusan Kewenangan Penuntutan
Suatu contoh tentang
dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu,
penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: Seandainya penuntut umum
tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk
verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP sedangkan
hapusnya hak menuntut karena ne bis in
idem diatur dalam Pasal 76 KUHP.
Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti disebut di
muka, jika suatu perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat
dipidana, tuntutan penuntut umum tetap dapat diterima. Dalam hal terakhir ini
putusan hakim akan menjadi terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsver volging).[1]
Di sinilah letak perbedaan
antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan pidana, yaitu pada
putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan
penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking).
Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam
putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah
kasasi. Sebaliknya, upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa
suatu tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).
Menurut Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan
apakah itu merupakan dasar peniadaan penuntutan ataukah dasar peniadaan pidana,
karena istilah yang dipakai oleh pembuat undang-undang tidak selalu jelas.
Sering pula sulit untuk dibedakan apakah sesuatu di dalam
rumusan merupakan unsur (element)
ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau feit
d’excuse.
Kalau dasar peniadaan pidana menghilangkan “melawan
hukum” maka disebut dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden),
kalau hanya menghilangkan pertanggungjawaban atau kesalahan disebut alasan
pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
Jonkers memberikan tanda perbedaan, bahwa
strafuitsluitingsgronden adalah pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van rechtvervolging), sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden
adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum.
2.2
Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
Alasan-alasan
peniadaan pidana (strafuitsluitingsgronden)
adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumasan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana.
Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan
pidana dibagi atas dua kelompok, yaitu yang tecantum di dalam undang-undang
dan yang lain terdapat di luar
undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin.
Yang
tercantum di dalam undang-undang
dapat dibagi lagi atas yang umum
(terdapat di dalam ketentuan umum buku I
KUHP) dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang khusus, tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku utuk
rumusan-rumusan delik itu saja.
Rincian yang umum terdapat di dalam:
1. Pasal
44: tidak dapat dipertanggungjawakan.
2. Pasal
48: daya paksa.
3. Pasal
49: ayat (1) pemebelaan terpaksa.
4. Pasal
49: ayat (2) pemebelaan terpaksa yang melampaui batas.
5. Pasal
50: menjalankan peraturan yang sah.
6. Pasal
51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.
7. Pasal
51: ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu
dengan itiket baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
Yang
khusus, yaitu yang tercantum di
dalam pasal-pasal terkait seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk
delik dalam Pasal 164 dan 165, Pasal 221 ayat (2).
Hazewinkel – Suringa menyebutkan pula adanya dasar
peniadaan pidana yang murni. Ia memberi contoh Pasal 163 bis ayat (2) KUHP
(Artikel 134 bis ayat (2) N. WvS).
Ia menyebutkan pula dasar peniadaan pidana yang murni
yang tidak tertulis, yaitu putusan B. R.V. C 24 Juni 1946, yang mengenai “hal
tidak dipidana” didasarkan – bukan pada daya paksa atau avas – tetapi pada
keharusan menghindari “berkelebihannya hukum pidana” (overspanning van het strafrecht).[2]
Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang juga dapat dibagi atas yang umum dan yang
khusus. Yang umum misalnya “tiada
pidana tanpa kesalahan” dan “tiada melawan hukum secara materiel”.
Yang khusus,
mengenai kewenagan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu)
misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain.
Alasan peniadaan pidana di luar undang-undang atau yang tidak tertulis dapat dibagi pula
atas “yang merupakan dasar pembenaran
(tidak ada melawan hukum) merupakan segi luar dari pembuat atau faktor objektif dan “yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan)
merupakan segi dalam dari pembuat atau faktor subjektif.
Kedua istilah “dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), dan dasar pemaaf” (schulduitsluitingsgronden) sangat penting bagi acara pidana, sebab
apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum,
sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau
kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari
segala tuntutan hukum.
Pembedaan antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini
berasal dari sarjana Jerman Von Liszt dan sarjana Perancis Mariauel.[3]
MvT (Memori
Penjelasan) tidak mengadakan pembagian seperti itu, semuanya dari Pasal 48-51
KUHP dasar segi luar tidak dapat
dipertanggungjawakan dan sebagai lawannya merupakan segi dalam (terdapat dalam bathin terdakwa) hal tidak
dipertanggungjawakan seperti pasal 44 KUHP.
Tetapi dalam teori pembagian yang dilakukan MvT ini tidak
ada yang memakainya, sebab tidak tepat, yaitu di antara alasan-alasan yang di
luar ada yang lebih tepat jika dimasukkan dalam alasan-alasan yang terdapat
dalam bathin terdakwa.
Jadi, semuanya merupakan dasar pemaaf (Schulduitsluitingsgronden). Vos
menyatakan itu kurang tepat, karena pasal 50 KUHP pasti bukan menghapus hal
dapat dipertanggungjawabkan pembuat terhadap perbuatan tetapi juga menghapus
hal melawan hukum.
Menurut Pompe yang disebut di dalam Pasal 49 ayat (2)
pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan Pasal 51 ayat (2) menjalankan
perintah jabatan yang tidak berwenang, sevagai dasar pembenar (rechtvaardingsgronden) maupun dasar
pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
Oleh karena itu, Vos mengatakan barang kali hal itu
jangan disebut dasar pemaaf, tetapi peniadaan pidan yang subjektif (subjektieve
strafuitsluitingsgrond) yang mencakup Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (2).[4]
Meskipun belum terdapat kesatuan pendapat , akan tetapi
dapat dibuat inventarisai daripada ojectieve/sujectieve
strafuitsluitingsgronden seperti pada susunan berikut di bawah ini:
Rechtvaardigingsgronden
(alasan pembenar) diperinci menjadi:
1.
Di dalam aturan umum (algemene deel
strafuitsluitingsgronden) yang terdiri atas, overmacht jenis noodtoestand pasal
48; noodweer pasal 49 ayat 1; wettelijk voorschrift pasal 50; evoegd gegeven
amtelijk evel (berwenang) pasal 51 ayat 1;
2.
Di dalam ketentuan delict khusus
(ijzondere deel strafuitsluitingsgronden) yang terdiri atas, saksi dan dokter
perkelahian tanding pasal 186 ayat 1; pencemaran pasal 310 ayat 3; fitnah pasal
314;
3.
Di luar kita undang-undang, yang terdiri
atas, tuch trecht oleh orang-tua/guru/wali; beroepsrecht oleh dokter; ontreken
(negatieve) van materiele weder rechtelijkheid oleh veeart-arrest 1933.
Schulduitsluitingsgroden
(alasan pemaaf) diperinci menjadi:
1. Di
dalam aturan hukum yang terdiri atas, ontoerekkeningsvataarheid pasal 44;
overmacht jenis noodtoestand-exces pasal 48; noorweerexces pasal 49 ayat 2;
onevoegd gegeven amtelijk evel (tidak wenang) pasal 51 ayat 2;
2. Di
dalam ketentuan delict khusus yang terdiri atas, pasal 110 ayat 4; 163 bis ayat
2; 221 ayat 2; 464 ayat 2.
3. Di
luar kita undang-undang yang terdiri atas, afwezigheid van alle schuld
(a.v.a.s.); putative strafuitsluitingsgronde.
Pasal 44 yang
dikaitkan dengan hal tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaarheid), terjemahan pasal itu sebagai berikut:
” Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Dapat dipertanggungjawabkan terdakwa berarti bahwa
keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya.
Istilah di dalam Pasal 44 itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum.
Menurut Pompe selanjutnya dapat dipertanggungjawakan
bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel)
tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana.[5]
Dari pendapatnya itulah ia mengatakan jika terjadi
keraguan tentang ada tidaknya hal tidaka dapat dipertanggungjawabkan, terdakwa
tetap dijatuhi pidana. Ia mengatakan bahwa jika orang setelah melakukan
pemeriksaan tetap ragu tentang dapatnya dipertanggungjawabkan, maka pembuat
tetap dapat dipidana.
Pendapat Pompe ini berlawanan dengan pendapat Van Hamel
(hlm, 326) , Simon I (hlm, 209), Zevenbergen (hlm, 141), Langemaijer TvS XLI
(hlm, 89), Noyon – Langemaijer I (hlm, 215),
Vos (hlm, 85), Van Hattum (hlm, 339).
Jalan pikiran Pompe mungkin didasarkan atas hal dapat dipertanggungjawabkan
itu bukan bagian inti delik sehingga dianggap ada sampai dibuktikan sebaliknya,
misalnya dengan keterangan psikiater.
Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat
dipertanggungjawabkan merupakan unsur diam-diam
selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, ia
berpendapat sesuai dengan ajaran dua tahap dalam hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea), kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur
kesalahan.[6]
Ia mengikuti pendapat Van Hattum bahwa jika terjadi
keragu-raguan apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak
dipidana.
Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu
meliputi:
1.
Kemungkinan menentukan tingkah lakunya
dengan kemauannya.
2.
Mengerti tujuan nyata perbuatan.
3.
Sadar bahwa perbuatan itu tidak
diperkenankan oleh masyarakat.
Di samping Pasal 44 KUHP, yang menyebutkan dasar tidak
dapat dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum
dewasa) berada di bawah hypnose, tidur sambil berjalan dan lain-lain.[7]
Tidak dapat dipertanggungjawabkan dipandang sebagai unsur
kesalahan dalam arti luas atau merupakan unsur diam-diam suatu delik. Hoge Raad
menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan bukanlah bagian inti (bestanddeel) delik, tetapi jika tidak
dapat dipertanggungjawabkan maka itu menghapuskan atau meniadakan dapatnya
dipidana sesuatu perbuatan. Kalau melawan hukum yang tidak ada, berarti
perbuatan tidak dapat dipidana tetapi kalau tidak dapat dipertanggungjawabkan,
perbuatan itu tetap dapat dipidana, hanya
orangnya yang tidak dapat dipidana. Yang pertama unsur subjektif dapatnya
dipidana suatu perbuatan.
Menurut pasal 44 ayat 2 hakim dapat memasukkan ke rumah
sakit jiwa selama satu tahun jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada terdakwa karena kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya.
Sebelum berkembangnya psikiatri yang mulai pada tahan
1800 untuk menentukan ada tidaknya pertumuhan yang tidak sempurna atau gangguan
penyakit pada akal sehat seseorang, maka hal itu ditentukan dengan:
1)
Mungkinkah dibedakan antara baik dan
buruk (the right and wrong test).
2)
Apakah hal dapat menahan dorongan hati (the irresistible impulse test) sebagai kriteria
untuk menentukan dapat dipertanggungjawabkan?
3)
Dapatkah diterima bahwa orang yang hanya
kurang daya pikirnya untuk membedakan dan menahan (godaan) juga dikurangi
pertanggungjawabkan dan dengan dekurangi pidananya.[8]
Menurut Pompe, secara yuridis menurut Pasal
44 KUHP, mabuk tidak termasuk, mabuk berkaitan dengan sengaja atau kelalaian.
Orang memikirkan kemabukan sebagai Culpa
in Causa.[9]
2.2.2
Daya Paksa (overmacht)
Daya paksa (overmacht)
tercantum di dalam Pasal 48 KUHP.
Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan
perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa.
Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang
datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap
kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.[10]
Dalam
literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak,
bisa disebut vis absoluta. Bentuk ini
sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat sendiri menjadi
korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama
sekali.
Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adala berlebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa
secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat.
Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian
normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang karena ancaman terpaksa melakukan
delik. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa
itu, yang biasa disebut daya paksa
relatif atau vis compul siva.
Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang
pertama daya paksa dalam arti sempit
(overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti
sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di
muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.
Nootoestand (keadaan darurat) pada umumnya ada tiga bentuk,
yaitu:
1) Pertentangan antara dua kepentingan
hukum
2) Pertentangan antara kepentingan
hukum dengan kewajiban hukum
3) Pertentangan antara dua kewajiban hukum
Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa
(overmacht) termasuk dasar pembenar
atau dasar pemaaf. Ada yang mengatakan bahwa daya paksa, baik dalam arti sempit
maupun dalam keadaan darurat termasuk dasar pemaaf. Alasannya ialah semua
perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak
dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan.
Van Hattum berpendapat demikian diikuti oleh Moeljatno.
Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat
berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para
ahli ini daya paksa yang tercantum di dalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan
menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut keadaan darurat sebagai
dasar pembenar sedangkan daya paksa dalam arti sempit termasuk dalam dasar
pemaaf. Termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer, hazewinkel-Suringa dan juga
Jonkers.
Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat tidak selalu berupa
dasar pembenar, kadang-kadang berupa dasar pemaaf.
Pompe berpendapat lain lagi, yaitu daya paksa dimasukkan
sebagai dasar pembenar semuanya.
Dalam Rancangan KUHP 1991/1992 keadaan darurat itu
dimasukkan sebagai alasan pembenar (Pasal 32), sedangkan daya paksa dimasukkan
sebagai alasan pemaaf (Pasal 42).
2.2.3
Pembelaan Terpaksa
Dalam rumusan Pasal 49 (1) KUHP dapat ditarik
unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer)
tersebut:
1)
Pembelaan itu bersifat tepaksa.
2)
Yang dibela ialah diri sendiri, orang
lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3)
Ada serangan sekejap atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4)
Serangan itu melawan hukum.
Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan atau
keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit).
Perbedaan antara keadaan darurat (noodtoestand) dengan bela paksa (noodweer) ialah:
1)
Dalam keadaan darurat terdapat
pertentangan antara hak (recht)
dengan hak (recht) sedangkan dalam bela
paksa terdapat pertentangan antara hak (recht)
dengan ukan hak (onrecht).
2)
Dalam keadaan darurat tidak diisyaratkan
adanya serangan atau ancaman serangan, sedangkan dalam bela paksa harus ada
serangan atau ancaman serangan.
3)
Dalam keadaan darurat, kepentingan hukum
yang dibela tidak dibatasi sedangkan dalam bela paksa kepentingan hukum yang dibela
dibatasi.
4)
Sifat dari keadaan darurat tidak ada
keseragaman pendapat dari para sarjana, ada yang berpendapat sebagai alasan pembenar
dan ada pula yang berpendapat sebagai alasan pemaaaf, sedangkan dalam bela
paksa para sarjana memandang sebagai alasan pembenar.
2.2.4
Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Diatur dalam pasal 49
ayat (2).
Ada persamaan antara
pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan
tepaksa yang melampaui batas (noodweer
exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang
dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik diri
sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
-
pada pembelaan terpaksa yang melampaui
batas, pembuat melampaui batas karena
keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
-
maka perbuatan membela diri melampaui
batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan
jiwa yang hebat.
-
Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa
yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar,
karena melawan hukumnya tidak ada.
Melampaui batas pembelaan yang pelu ada dua macam. Pertama, orang yang diserang sebagai
akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap
pada saat diserang. Bentuk kedua
ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan
jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.
2.2.5
Menjalankan Ketentuan Undang-undang
Pasal 50 KUHP
menyatakan (terjemahan):
“Barang
siapa yang malakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak
dipidana.”
Mula-mula Hoge Raad mengartikan undang-undang dalam arti
formal kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan ketentuan undang-undang
sebagai setiap ketentuan yang
dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan
undang-undang menurut UUD atau undang-undang (HR 26 Juni 1899 W7307; 30 Nov.
1914, N.J. 1915, 282, W9747).
Menurut Pompe, ketentuan undang-undang meliputi peraturan
(verordening) dikeluarkan oleh
penguasa yang berwenang untuk itu menurut undang-undang.
Ada pula yang menyatakan antara lain Hazewinkel-Suringa,
bahwa ketentuan pasal 50 ini sebagai dasar pembenaran berkelebihan (overbodig), karena bagi orang yang
menjalankan ketentuan undang-undang dengan sendirinya tidak melawan hukum.
Menurut Hoge Raad14
Oktober 1940, 1961 No.165 untuk penerapan Pasal 50 KUHP diisyaratkan
pelaksanaan kewajiban berdasarkan undang-undang.
Menurut Hazewinkel-Suringa, kata feit (perbuatan) di dalam pasl 50 berarti perbuatan yang memenuhi
isi delik.
Mengenai arti perkataan “ketentuan/ peraturan undang-undang”
dalam perkembangan yang terdapat di dalam jurisprudensi sampai dengan tahun
1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam
arti formil maupun materiel, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pemuat undang-undang
saja, melainkan setiap kekuasaan yang wenang untuk membuat peraturan yang
berlaku mengikat.
Perbuatan seseorang yang melaksanakan ketentuan
undang-undang itu tidak bersifat melawan hukum, maka ketentuan Pasal 50 KUHP
itu adalah sebagai alasan pembenar.
2.2.6
Menjalankan Perintah Jabatan
Pasal 51
menyatakan:
(1) Barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah
jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenag
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.
Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila ,e,enuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Antara orang yang memberikan perintah
dengan orang yang diberi perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan
suordinasi. Hubungan itu harus bersifat hukum publik.
2)
Kewenangan orang yang memberikan
perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat publik tersebut.
3)
Perintah jabatan yang diberikan itu
harus termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP
itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari
pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1)
Syarat subjektif: pembuat harus dengan
itikad baik memandang bahwa perintah itu dating dari yang berwenang.
2)
Syarat objektif: pelaksanaan perintah
harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Pasal 51 ayat (1) termasuk dasar pembenar, karena unsur
melawan hukum tidak ada sedangkan pasal 51 ayat (2) masuk dasar pemaaf, karena
perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak bersalah karena ia
beritikad baik menginra menjalankan perintah pejabat yang berwenang, padahal
tidak.
2.2.7
Pembagian Lain dari Alasan Penghapusan Pidana
Alasan penghapusan dapat pula terjadi karena hal-hal di luar ketentuan undang-undang yang
sudah diakui oleh ilmu pengetahuan hukum pidana. Dasar alasan penghapusan
pidana di luar undang-undang semacam itu dapat diadakan pembagian yaitu:
a.
Alasan penghapusan pidana yang sudah
dikenal dalam jurisprudensi, terdiri atas:
1) Het
ontbreken van de materiele wederrechtelijkheid (sifat melawan hukum materiel
fungsi negatif) seperti veeart arrest 1933.
2) Afwezigheid
va alle schuld (tiada kesalahan/alasan pemaaf), seperti water en melk-arrest
1916.
b.
Alasan penghapusan pidana yang
mempergunakan dasar; rechtvaardigingsgronden, terdiri atas:
(1) Tuchtrecht
(hukum disiplin pendidikan)
(2) Toestemming
(persetujuan antara pihak)
(3) Boreeprecht
(hukum karena jabatan)
2.3
Dasar Peniadaan Penuntutan
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas :
I.
Tidak ada pengaduan pada delik aduan.
II.
Tidak dua kali penuntutan atas orang dan
perbuatan yang sama (ne is in idem)
tercantum dalam pasal 76 KUHP
III. Terdakwa
meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP.
IV. Lewat
waktu (verjaring), tercantum dalam
pasal 78 KUHP.
V.
Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process).
VI. Terdakwa
berumur di bawah 18 tahun (undang-undang peradilan anak).
I. Tidak Ada Pengaduan pada Delik
Aduan
Beberapa pasal di dalam KUHP dan di luar KUHP,
mensyaratkan adanya pengaduan untuk dilakukan penuntutan. Beberapa pasal di
dalam KUHP yang merupakan delik aduan, antara lain: penghinaan atau pencemaran
nama baik Pasal 310 KUHP dan seterusnya. Akan tetapi jika penghinaan dilakukan
terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan jabatannya bukan delik aduan
berdasarkan pasal 319 jo. Pasal 316 KUHP, permukahan (overspel) Pasal 284 KUHP, dan pengancaman Pasal 369 KUHP. Delik
aduan diluar KUHP misalnya pelanggaran terhadap hak cipta.
Delik aduan ada dua macam, delik aduan mutlak dan delik
aduan relatif. Delik aduan mutlak artinya pada dasarnya delik itu memang
delik aduan, misalnya Pasal 310 KUHP dan Pasal 284 KUHP. Delik aduan relatif
artinya pada dasarnya delik itu bukan delik aduan, misalnya pencurian.
Pada delik aduan yang berhak mengadu ialah orang yang
terhadapnya delik dilakukan atau korban. Ada pengecualian dalam hal ini, misalnya
pada Pasal 332 KUHP (melarikan perempuan).
Pengaduan termasuk pada delik penyertaan. Misalnya dalam
hal pembantu (Pasal 56 KUHP) melakukan pembantuan pada delik aduan, maka
penuntutan atasnya juga harus dengan adanya pengaduan.
Pengaduan dapat dilakukan oleh orang lain (diwakili) yang
tercantum di dalam pasal 72 KUHP.
Selanjutnya Pasal 73 mengatur, dalam hal yang berhak
mengadu meninggal dunia dalam tenggang waktu pengaduan, maka yang berhak
mengadu ialah orang tuanya, anaknya atau suami (istri) yang masih hidup kecuali
kalau yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.
Tenggat waktu pengaduan ialah enam bulan sejak yang
berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan (Pasal 74).
Pengaduan dapat ditarik dalam waktu tiga bulan setelah
pengaduan diajukan.
II.
Tidak
Dua Kali Penuntutan Atas Orang dan Perbuatan yang Sama (Ne Bis In Idem)
Ne bis in idem diatus
dalam Pasal 76 KUHP. Ne bis in idem berkaitan
dengan putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ada beberapa dasar ne
is in idem. Dasar sosialnya ialah jaminan kepastian hukum kepada terdakwa
sebagai anggota masyarakat. Yang pertama ialah mencegah pertanggungjawaban
ganda (nemo debet bis in idem puniri).
Mencegah penuntutan ganda.
Yang menjadi kata kunci dalam hal ini ialah apa yang
dimaksud dengan perbuatan itu juga (hetzelfde
feit).
III. Terdakwa Meninggal Dunia
Berdasarkan pasal 77
KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia. Ada
tiga kemungkinan kata Remmelink menyangkut tersangka atau terdakwa meninggal dunia.
Apabila tersangka meninggal dunia pada saat pemriksaan pendahuluan ( vooronderzoek), maka penuntut umum (OM)
atau Rechter Commissaris (RC)
menghentikan campur tangan. Jika dakwaan terlanjur diajukan, maka dakwaan
dianggap gugur. Jika terlanjur pemeriksaan pengadilan telah dimulai, maka
penuntut umum berusaha untuk mengakhiri perkara dengan menetapkan tidak dapat
diterimanya dakwaan.[11]
Di Indonesia (dan Nederland) ada pengecualian dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 16 UU No. 7 (drt) Tahun 1955 (Pasal
16 WED Nederland 1950), bagi terdakwa yang meninggal dunia dapat dikenakan
perampasan arang yang telah disita.
Begitu pula dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 38 Ayat (5).
IV. Lewat Waktu (Verjaring)
Pasal 78 KUHP
mengatur tentang lewat waktu:
Ke-1: mengatur semua pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun.
Ke-2: mengenai kejahatan yang
diancam dengan denda, kurungan atau pidan penjara paling lama tiga tahun
sesudah enam tahun.
Ke-3: mengenai kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun sesudah dua belas tahun.
Ke-4: mengenai kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, sesudah delapan belas
tahun.
Ada pengecualian dalam Statuta Roma mengenai International Criminal Court, tidak ada
lewat waktu (limitation) bagi empat
jenis kejahatan: genosida, pelanggaran berat HAM, agresi dan kejahatan perang.
Menurut Remmelink, jika dikaitkan dengan jenis jus puniendi ( kewenangan mengajukan
penuntutan) yang diberikan kepada penuntut umum pada tenggat waktu sebenarnya bukan
kondisi serta merta.
Pasal 79 mengatur tentang mulai berlakunya tenggat lewat
waktu, yaitu pada hari sesudah perbuatan dilakukan. Ada pengecualian, yaitu
mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggat waktu mulai berlaku pada
hari sesudah barang yang palsu atau mata uang yang dirusak digunakan. Mengenai
kejahatan terhadap kemerdekaan orang (Pasal 329-330, dan tenggat waktu mulai
pada hari sesudah orang yang langsung terkena (korban) oleh kejahatan
dibebaskan atau meninggal dunia.
Tenggat lewat waktu delik pelanggaran ( Pasal 556 sampai
dengan Pasal 558) diatur sendiri.
Lewat waktu berhenti jika ada tindakan penuntutan, asal
tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah di beritahukan
kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum.
V.
Penyelesaian
di Luar Acara (Afdoening Buiten Process)
Tenggat Lewat Waktu Baru
Yang dikenal dalam KUHP hanya afkoop (Pasal 82 KUHP) yang mengatakan jika suatu delik diancam
dengan pidana hanya denda, maka dapat dihindari penuntutan dengan membayar
langsung maksimum denda.
Ada dua bentuk yaitu submissie
dan compotitie. Dengan atau
melalui submissive terdakwa dan organ
penuntut umum memaparkan persoalan ke hadapan hakim. Submissive tercantum dalam Pasal 74 Ned. WvS (KUHP Belanda). Tidak terdapat pidananya dalam KUHP
Indonesia.
Bentuk kedua adalah compositie
yaitu penghentian penuntutan dengan membayar uang tertentu.
Penghentian penuntutan dengan syarat ganti kerugian
kepada korban termasuk peradilan restorative (restorative justice). Ini berarti dipentingkan pemulihan keadaan
akibat kejahatan yang terjadi.
VI. Anak yang Belum Berumur 8 Tahun
Tidak Dapat Dituntut
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Pasal 4 ayat (1) mengatakan: “batas umur anak nakal yang dapat
diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
tetapi belum berumur mencapai umur 18 tahun dan belum menikah.”
Alasan Penghapusan Penuntutan Diluar
Undang-Undang
Alasan yang tersebut di atas ini adalah alasan-alasan yang
dicantumkan dalam KUHPidana. Di luar KUHPidana masih ada beberapa
alasan-alasan semacam itu, yaitu:
a. Grasi
– menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman.
b. Abolisi
– menggugurkan hak menuntut hukuman.
c. Amnesti
– menggugurkan baik hak menuntut hukuman maupun menjalani hukuman.
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Sebagai alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain:
a.
kepentingan keluarga dari yang terhukum.
b.
yang terhukum pernah sangat berjasa bagi
masyarakat
c.
yang terhukum menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
d.
yang terhukum berkelakuan baik dipenjara
dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.
Amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-undang Darurat tentang Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan abolisi
itu diberi oleh Presiden atas kepentingan
negara. Mengenai rehabilitasi, yaitu mengembalikan yang
terhukum pada kedudukan sosial yang semula, belum ada peraturan.
2.4 Dasar Peniadaan Pelaksanaan Pidana
1. Terpidana
Meninggal Dunia
Hal ini diatur dalam Pasal
83 KUHP. Denda dan penyitaan (perampasan) tetap dieksekusi dengan cara
dikompensasikan dengan benda-benda terpidana yang mati tersebut.
Ada pengecualian, yaitu dalam perkara tindak pidana
ekonomi berdasarkan Pasal 16 UUTPE walaupun di situ orang yang tidak dikenal
dan meninggal dunia artinya belum ada putusan hakimtentu eksekusi perampasan
tetap dapat dilakukan begitu juga dengan delik korupsi.
2. Lewat
Waktu (Verjaring)
Pasal 84 KUHP
mengatur tentang lewat waktu pelaksanaan pidana. Tenggat waktu mengenai semua
pelanggaran lamanya dua tahun.
Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya
lima tahun. Untuk kejahatan lain sama dengan tenggat waktu penuntutan ditambah
dengan sepertiga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keadaan-keadaan yang membuat
penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku
disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan
“penuntutan” sedang keadaan- keadaan
yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak
dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Alasan penghapusan
pidana yang umum terdapat di dalam: Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan;
Pasal 48: daya paksa; Pasal 49: ayat (1) pembelaan terpaksa; Pasal 49: ayat (2)
pemebelaan terpaksa yang melampaui batas; Pasal 50: menjalankan peraturan yang
sah; Pasal 51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang; Pasal 51:
ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika awahan itu
dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
Yang
khusus, yaitu yang tercantum di dalam pasal-pasal terkait seperti Pasal 310
ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk delik dalam Pasal 221 ayat (2).
Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang juga dapat
dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya “tiada pidana tanpa
kesalahan” dan “tiada melawan hokum s
Yang khusus, mengenai kewenagan-kewenangan tertentu
(menjalankan pencaharian tertentu) misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti
tinju dan lain-lain.
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas : Tidak ada
pengaduan pada delik aduan; Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan
yang sama (ne is in idem) tercantum
dalam pasal 76 KUHP; Terdakwa meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP;
Lewat waktu (verjaring), tercantum
dalam pasal 78 KUHP; Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process); Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (undang-undang
peradilan anak).
Alasan penghapusan penuntutan di luar KUHPidana yaitu :Grasi,
Abolisi dan Amnesti.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar –
Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya : Jakarta.
E.Y. Kanter, S.H. &
S.R. Sianturi, S.H., Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 2002, Storia Grafika : Jakarta
Hamzah, Andi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, PT Rineka
Cipta : Jakarta.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, PT Asdi
Mahasatya: Jakarta.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008,
PT Bumi Aksara : Jakarta.
Poernomo, Bambang,
S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 1978,
Ghalia Indonesia: Yogyakarta.
R. Achmad Soema Di
Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982,
Alumni : Bandung.
Sastrawidjaja, Sofjan,
S.H., Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana
Sampai dengan Alasan Penghapusan Pidana), 1995, CV Armico : Bandung.
[1]
J.M. van Bemmelen,
op.cit., hlm. 170.
[2]
D. Hazewinkel-Suringa, op.cit.,
hlm.201.
[3]
J.M. van Bemmelen,
op.cit., hlm 149.
[4]
H. B.
Vos, op.cit., hlm. 150.
[5]
W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191.
[6]
Moeljatno, op.cit., hlm.
[7]
J.E. Jonkers, op.cit., hlm.65.
[8]
Van Bemmelen,
op.cit., hlm. 210-211.
[9]
W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191 dan
seterusnya.
[10]
D. Hazewinkel-Suringa, op.cit., hlm.
234-235.
[11]
J. Remmelink, op.cit. hlm 433
dik yessysca sari debby,skrg bertambah kasus kekerasan murid/orang, pejabat terhadap guru;mengharap gambarkanlah tentang khusus tuchtrecht (hukum disiplin pedidikan)
ReplyDeletemudahkanlah pengertian/perbanyaklah untuk masyarakat luas.