Choose the categories.!

Sunday, 26 June 2011

A Trip to Yogyakarta Slideshow

A Trip to Yogyakarta Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ A Trip to Yogyakarta Slideshow ★ to Yogyakarta and Bandung. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

Rangkuman Hukum Adat karangan Soerojo Wignjodipoero, S.H. (Bab V-XIII)

BAB V
TATA SUSUNAN RAKYAT
DI INDONESIA


1. PERSEKUTUAN HUKUM
Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901, menegaskan, bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki pada waktu apa pun dan di daerah mana juga pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari.
Ter Haar dalam “Asas-asas dan susunan hukum adat Indonesia”, menegaskan:
Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkat rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan bathin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik keduniawian milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum.
Jadi persekutuan hukum itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan yang immateriil.


2. STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM
Menurut dasar tata susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Genealogis (berdasarkan pertalian suatu keturunan)
b. Teritorial (berdasarkan lingkungan daerah)
Maine: dalam bukunya yang berjudul “Ancient law” menamakan dasar keturunan ini “tribal constitution” sedangkan “dasar daerah” disebutkannya “territorial constitution".
Dalam bukunya Van Royen menjelaskan, bahwa proses perkembangannya itu melampaui 7 fase, atau stadia hypothese van Royen.
Ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis ibu(matrilineal), seperti di Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak.
Ada 3 jenis persekutuan hukum teritorial yaitu:
a. Persekutuan desa:
Apabila ada segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman; juga apabila di dalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri, sedang para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu.
Contoh: desa di Jawa dan di Bali.
b. Persekutuan daerah
Apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah.
Contoh: Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan di daerahnya.
Marga Di Sumatera Selatan dengan dusun-dusun di daerahnya.
c. Perserikatan (beberapa kampung)
Apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama.
Contoh: Perserikatan huta-huta di suku Batak.
Dalam waktu yang lampau, pada saat belum ada fasilitas lalu-lintas seperti sekarang ini, memang masih dapat diketemukan beberapa contoh dari kedua jenis persekutuan hukum di beberapa daerah sebagai berikut:
a. Persekutuan genealogis di Gayo (Aceh Selatan); Persekutuan geneologis di Lampung terdapat pada suku Pubian.
b. Persekutuan teritorial terdapat di Aceh (Gampong, meunasah); di Jawa,Bali, Lombok, Madura (Desa); di Sumatera Selatan (Dusun); di Sumatera Timur, di Sulawesi Selatan, di Minahasa, dan di Ambon.
Untuk menjadi anggota persekutuan berdasarkan kedua faktor, genealogis dan sekaligus juga territorial, wajib dipenuhi dua syarat sekaligus, yaitu:
a. Harus masuk dalam satu kesatuan genealogi dan
b. Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang bersangkutan.
Contoh antara lain di Pulau Mentawai (Uma), di Pulau Nias (Euri), di daerah Tapanuli (Kuria dan Huta), di Minagkabau (Nagaria), di Palembang (Marga), dan di Maluku (Negorij).
Persekutuan-persekutuan hukum yang bersifat geneologis teritorial ini, dapat dibeda-bedakan dalam 5 jenis, sebagai berikut:
a. Suatu daerah atau kampung didiami hanya oleh satu bagian clan (golongan); tidak ada clan lain yang tinggal di dalam daerah ini.
Contoh: Di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores.
b. Di Tapanuli terdapat susunan Rakyat sebagai berikut:
Dalam suatu daerah tertentu semula didiami oleh satu marga tertentu. Kemudian di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi warga badan persekutuan huta di daerah itu.
Marga yang semula mendiami daerah itu serta yang mendirikan huta-huta di daerah itu, disebut “Marga Asal”,” Marga Raja” atau “Marga Tanah” (=marga yang menguasai tanah di daerah itu), sedangkan marga yang kemudian masuk daerah itu, disebut “Marga Rakyat”.
c. Di Sumba Tengah dan Sumba Timur
Di sini terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain yang masuk ke daerah tersebut dan berhasil merebut kekuasaan pemerintah dari clan yang asli itu.
Kedua clan itu kemudian berdamai dan bersama-sama merupakan kesatuan badan persekutuan daerah.
d. Di beberapa nagari di Minangkabau dan di beberapa marga di Bengkulu
Dalam suatu daerah nagari segala golongan suku berkedudukan sama dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan teritorial (=nagari), sedangkan daerah nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku) di mana tiap-tiap golongan mempunyai daerah-daerah sendiri.
e. Jenis kelima terdapat di nagari-nagari lain di Minangkabau dan di dusun-dusun di daerah Rejang (Bengkulu).
Di sini dalam satu nagari/dusun berdiam beberapa bagian clan yang satu dengan yang lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah nagari/dusun menjadi daerah bersama dari semua bagian clan pada badan persekutuan nagari/dusun yang bersangkutan.
Tentang struktur persekutuan hukum ini Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Nederland-Indie” jilid I “eerste stuk”, menjelaskan bahwa persekutuan-persekutuan hukum di seluruh Indonesia ini, dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan, yang pada saat ini besar kemungkinan tidak semuanya masih didapat contohnya lagi di Indonesia.
Keempat golongan itu adalah sebagai berikut:
Golongan 1 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan genealogis.
Golonhan 2 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan genealogis.
Golongan 3 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan/teritorial yang lebih kecil.
Golongan 4 = Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat persekutuan-persekutuan/badan-badan hukum yang sengaja didirikan oleh para warganya.
Dalam garis besarnya prinsip penggolongan disebagian besar daerah-daerah adalah sebagai berikut:
a. Termasuk golongan pertama = pemilik sawah/ladang/tegalan dengan pekarangan.
b. Termasuk golongan kedua = pemilik pekarangan saja.
c. Termasuk golongan ketiga = orang-orang yang tidak memiliki tanah atau pekarangan.
Terdapat modulaties (macam-macam corak) daripada garis besar prinsip penggolongan tersebut di atas di berbagai daerah.
Cara-cara orang dari luar masuk ke dalam badan persekutuan hukum sebagai anggota, teman segolongan, adalah sebagai berikut:
a. Pada zaman lampau masuk sebagai hamba, budak.
b. Karena pertalian perkawinan.
c. Dengan jalan pengambilan anak.
Penyelenggaraan masuknya seseorang dalam suatu persekutuan terjadi dengan upacara menurut kepercayaan adat. Dengan upacara tersebut masuknya seseorang dari luar itu menjadi riil.


3. LINGKARAN HUKUM ADAT ATAU LINGKUNGAN HUKUM ADAT
Dalam bukunya Van Vollenhoven membagi-bagi seluruh daerah Indonesia dalam 19 lingkaran hukum sebagai berikut:
1. Aceh
2. Tanah Gayo – Alas dan Batak beserta Nias.
3. Daerah Minagkabau beserta Mentawai.
4. Sumatera Selatan.
5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau)
6. Bangka dan Belitung.
7. Kalimantan.
8. Minahasa.
9. Gorontalo.
10. Daerah Toraja.
11. Sulawesi Selatan.
12. Kepulauan Ternate.
13. Maluku, Ambon.
14. Irian.
15. Kepulauan Timor.
16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
17. Jawa Tengah dan Timur (besera Madura)
18. Daerah-daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta).
19. Jawa Barat.
Tiap lingkungan hukum tersebut di atas dapat dibagi-bagi lagi dalam kuburan-kuburan hukum. Di antara kuburan-kuburan hukum masing-masing terdapat perbedaan corak hukum adat yang berlaku di dalam wilayahnya, tetapi pebedaan itu tidak sebesar perbedaan di antara lingkungan-lingkungan hukum.
Batas-batas antara lingkungan-lingkungan hukum asing-asing itu lambat laun menjadi kurang tegas untuk akhirnya lenyapnya batas-batas ini, kiranya perlu disebut juga pindahan-pindahan secara besar-besaran, dari berbagai warga masyarakat persekutuan hukum dari satu lingkaran hukum ke wilayah lingkaran hukum yang lain.


4. TATA SUSUNAN PERSEKUTUAN HUKUM
Van Vollenhoven dalam bukunya “Adatrecht I” menguraikan keadaan tata susunan persekutuan-persekutuan hukum dari masing-masing lingkaran hukum, sedangkan Taer Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het Adatrecht” menguraikan keadaan tata susunan persekutuan-persekutuan hukum menurut berbagai-bagai bentuk yang didapati pada berbagai-bagai susunan rakyat seluruh daerah di Indonesia.
Dari uraian-uraian kedua sarjana tersebut di atas, dapat diketemukan garis-garis ataupun dasar-dasar umum sebagai berikut:
a. Segala badan persekutuan hukum ini dipimpin oleh Kepala-kepala rakyat.
b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap-tiap jenis badan persekutuan hukum yang bersangkutan.
Kalau ditinjau tata susunan-susunan beberapa persekutuan hukum di beberapa lingkaran hukum, maka akan didapat gamabaran sebagai berikut:
Di daerah Tapanuli:
Persekutuan daerah disebut negeri, di sebelah selatan disebut kuria, sedangkan di Padanglawas disebut luhas.
Persekutuan kampung disebut huta. Yang menjadi kepala negeri/kuria dan kepala huta adalah seorang dari marga asal. Marga lain-lain yang ikut bertempat tinggal di daerah tersebut atau di huta itu (=marga rakyat) - di Tapanuli Selatan marga itu disebut parripe.
Di daerah Minangkabau:
Persekutuan hukum disebut “nagari”. Nagari terdiri atas famili-famili yang masing-masing dikepalai oleh seorang “penghulu andiko”, yakni laki-laki tertua dari juria (=bagian famili) yang tertua pula; sedangkan tiap juria ini diketuai oleh orang tua-tuanya sendiri yang bernama mamak kepala waris atau tungganai.

Di Minangkabau ada dua jenis tata susunan nagari, yaitu:
a. Di tanah Agam berlaku adat “Bodi-Caniago”
b. Di daerah Koto Piliang (Tanah Datar dan Limapuluh kota),
Di Pulau-pulau Ambon dan Uliasser:
Para famili yang di daerah ini disebut “ruma” atau “tau”. Lima atau sembilan clan terikat dalam perikatan golongan, yaitu “uli lima” atau ”uli siwa”.
Di Pulau Bali:
Desa di Bali merupakan persekutuan teritorial warga suatu desa disebut krama desa, kanoman, dan sebagainya.
Dalam desa didapati berbagai perikatan yang masing-masing merupakan instansi bawahan desa. Kepala desa di Bali disebut “klian”. Di Bali dikenal pula persekutuan pengairan, yang disebut “subak”.
Di Aceh:
Di Aceh pun terdapat persekutuan-persekutuan daerah yang dikepalai oleh seorang “ullebalang” atau “tjiq”. Desa di Aceh disebut “gampong” atau “meunasah”.
Kepala desa berserta imeum bersama-sama menjadi anggota suatu dewan yang anggota-anggotanya terdiri atas para orang-orang warga desa itu dan disebut “Ureueng tuha”.
Di daerah Bolaang Mongondow:
Desa ini juga merupakan teritorial serta dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut kimelaha yang dibantu oleh beberapa pembantu, disebut probis.
Di Sumatera Selatan:
Di daerah ini persekutuan daerah yang sifatnya teritorial disebut “marga”. Marga dikepalai oleh pasirah dengan gelar depati atau pangeran. Marga terdiri atas dusun-dusun.
Di daerah Banten:
Desa di sini merupakan persekutuan teritorial serta terdiri atas beberapa ampian atau kampong, yang dikepalai oleh “kokolot”atau “tua-tua”.
Di Jawa Tengah dan Timur:
Kepala desa disebut lurah, kuwu, bekel, atau petinggi yang didampingi oleh perabot desa. Desa-desa yang dahulu pada zaman kerajaan mendapat pembebasan tugas-tugas khusus atau kewajiban-kewajiban dari raja mendapat sebutan khusus yaitu “perdikan”,”pekuncen”,”mijen” atau “pesantren”.


5. SIFAT PIMPINAN KEPALA-KEPALA RAKYAT
Sifat pimpinan kepala rakyat adalah sangat erat hubungannya dengan sifat, corak serta suasana masyarakat di dalam badan-badan persekutuan hukum tersebut. Persekutuan hukum adalah bukan persekutuan kekuasaan (“gezagsgemeenschap”). Badan persekutuan hukum itu merupakan kesatuan hidup bersama (“levensgemenenschap”) dari segolongan manusia yang satu sama lain saling mengenal sejak waktu kanak-kanak hingga menjadi dewasa dan tua.
Kepala rakyat bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.
Aktivitas kepala rakyat pada pokoknya meliputi 3 hal sebagai berikut:
a. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubungan dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu.
b. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya langgaran hukum.
c. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar (pembinaan secara represif).
Tugas pemeliharaan ataupun penyelenggaraan hukum kepala rakyat ini meliputi seluruh lapangan hukum adat, seperti misalnya:
a. Di Jawa Tengah mengenal pembagian warga desa dalam golongan-golongan.
b. Dalam urusan tanah, bantuan kepala rakyat adalah mutlak.
c. Membagi harta warisan di desa biasanya berlaku di bawah pimpinan kepala desa.
d. Kepala rakyat campur tangan dalam perkawinan, ikut, mencari jalan keluar setiap ada kemungkinan, bahwa hukum adat itu akan dilanggar.

Arti bantuan kepala rakyat
Arti penting dari bantuan kepala rakyat dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum itu seperti dalam perkawinan, jual/beli dan sebagainya adalah, bahwa perbuatan hukum itu terang serta tidak melanggar hukum adat.
Kewajiban kepala rakyat dalam menyelenggarakan hukum adat itu adalah sepenuhnya memperhatikan adanya perubahan-perubahan pertumbuhan-pertumbuhan hukum adat, memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, adanya perubahan-perubahan keadaan, timbulnya perasaan-perasaan hukum baru berhubung dengan kebutuhan hukum baru.
Jadi di bawah pimpinan serta pengawasan kepala rakyat hukum adat bertumbuh dan berkembang terus.

Kepala rakyat sebagai hakim perdamaian desa
Kalau ada sengketa antara sesama warga desa, maka kepala rakyat bertindak pertama-tama berusaha supaya kedua belah pihak mencapai kerukunan kembali, supaya masing-masing tidak menuntut haknya secara mutlak, supaya dapat dipulihkan perdamaian adat.
Peradilan ini tetap diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam Undang-Undang Darurat No. 1/51.

Arti keputusan kepala rakyat
Dengan keputusan itu kepala rakyat melakukan secara konkrit dan memberi bentuk konkrit (“Gestaltung”) kepada apa yang hidup di dalam masyarakat desanya sebagai rasa keadilan ataupun kesadaran keadilan rakyat.

Demokrasi di suasana desa
Kepala rakyat dalam menjalankan tugasnya selalu bermusyawarah dengan teman-temannya yang ikut duduk dalam pemerintahan desa, bahkan dalam banyak hal ia bermusyawarah di rapat desa dengan para warga desa yang berhak ikut bermusyawarah dalam hal-hal yang tertentu.


6. SUASANA TRADISIONAL MASYARAKAT DESA
Persekutuan desa sebagai suatu kesatuan hidup bersama (“levensgemeenschap”) bercorak yang terpenting sebagai berikut:
a. Religious
Persekutuan desa merupakan suatu kesatuan hidup bersama antara mereka yang masih hidup dengan arwah-arwah nenek moyangnya serta dengan segala hidup di lingkungannya di dalam alam ini. Dan tugas persekutuan itu adalah memelihara keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya.
Perbuatan-perbuatan bersama atau perbuatan-perbuatan perseorangan, perlu disertai dengan upacara religious yang bermaksud menggunakan kekuatan gaib agar perbuatan itu berhasil baik.
Dr. Kuntjaraningrat di dalam tesisnya menulis: Alam pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kepercayaan kepada makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta, dan khusus gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia, dan benda-benda.
b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa, dan suara yang luar biasa.
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai: “magische-kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan kritis dan menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.

b. Kemasyarakatan atau komunal
Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak kemasyarakatan, bercorak komunal. Tiap warga mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya di dalam golongan atau persekutuan yang bersangkutan.
Hak-hak subjektif (=hak atas harta benda) berfungsi sosial. Kepentingan bersama lebih diutamakan daripada hak-hak perseorangan.
Di dalam hubungan-hubungan hukum terutama yang menjadi dasarnya ialah “sangka baik” (“geode trouw”).
Semangat gotong royong ini sebagai akibat dari perkembangan pergaulan hidup dengan dunia internasional, khususnya di kota-kota besar menjadi menipis.

c. Demokratis
Suasana demokratis di dalam kehidupan masyarakat adat ditandai serta dijiwai oleh asas-asas Hukum Adat yang mempunyai nilai universal, yakni asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum dan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan.


7. PERUBAHAN-PERUBAHAN DI DALAM SUASANA DESA
Tata susunan serta suasana masyarakat desa pada zaman yang lampau yang berdasarkan kepada adat istiadat itu, kemudian mengalami perubahan-perubahan karena pengaruh tata administrasi kerajaan-kerajaan di berbagai daerah di Indonesia, kemudian berhubungan dengan campur tangan administrasi pemerintahan daerah sejak zaman Republik Indonesia ini.

Pada zaman pra-kolonial di daerah kerajaan-kerajaan
Desa dibiarkan untuk mengurus kehidupannya sendiri menurut hukum adat. (“Nagoro mowo toto, desa mowo coro”). Desa wajib membayar pajak sebagai persekutuan hukum, juga wajib mengerahkan tenaga pekerja (“ krigaji”,”rojokarjo”) untuk keperluan kerajaan. Kepala desa bertanggung jawab atas hal-hal tersebut.
Yang mempengaruhi tata kehidupan desa sebagai persekutuan hukum – khususnya desa-desa di sekeliling ibukota kerajaan adalah sebagai berikut:
a. Penggantian kepala desa dengan seorang pegawai kerajaan.
b. Tanah desa diambil dan diurus oleh pegawai kerajaan.
c. Dalam pemberian pilungguh kepada famili raja atau pegawai kerajaan, tidak diperhatikan sama sekali batas-batas desa yang tersangkut.

Pada zaman pemerintah kolonial Belanda
Pengaruh tata administrasi zaman kolonial Belanda dahulu atas tata kehidupan desa sebagai persekutuan hukum adalah:
a. Yang merusak ialah misalnya yang didapat di kota-kota besar di mana persekutuan desa sebagai persekutuan hukum menjadi lenyap.
b. Di luar kota-kota besar pengaruh yang menekankan penduduk desa untuk mempererat kehidupannya dalam persekutuan hukum sangat terasa.
c. Sejak tahun 1930 pemerintah kolonial melakukan politik hukum yang hendak memberi kesempatan kepada hukum adat untuk berkembang dengan pesat.
Kehidupan desa sebagai persekutuan hukum diperkuat dengan diakuinya peradilan desa dalam Stbl. 1935 No. 102 (periksa artikel 3.a.R.0.)

Pada zaman Republik Indonesia
Dalam suasana Republik Indonesia yang merdeka maka tentang masalah administrasi pemerintahan, khususnya tentang pemerintahan daerah, desa, marga, nagari dan lain sebagainya tetap dianggap sebagai sendi negara, karena tetap merupakan daerah otonom yang terbawah diperkuat dan disempurnakan serta didinamisir supaya dengan begitu negara dapat mengalami kemajuan.
Peradilan desa tetap dihormati; dalam Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 hak kekuasaan yang telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian desa sebagaimana tercantum dalam pasal 3.a. R.0. tidak sedikit pun juga dikurangi.
Hukum adat yang hidup dalam masyarakat ini, sudah barang tentu dipengaruhi juga oleh perkembangan masyarakat itu sendiri kearah modernisasi.




BAB VI
HUKUM PERORANGAN


1. SUBYEKTUM YURIS
Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum sebagai subjek hukum. Badan-badan hukum yang ada ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf, dan akhir-akhir ini juga yayasan.
Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3).
Dalam masyarakat adat rupa-rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari. (Van Vollenhoven “Het Adatrecht van Nederland-Indie” jilid II halaman 545).


2. MANUSIA SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang-hukum (Djojodiguno memakai istilah “kecakapan berhak”) yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat perkecualian-perkecualian.
Menurut hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Dalam hukum adat kriteria dewasa adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu (Prof. Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java”).
Menurut Prof. Soepomo, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah:
a. Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal kawin saja.
Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), Jakarta dalam keputusannya menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap cakap menyatakan kehendaknya sendiri (“mondigheid”) sebagai berikut:
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai istri (“geslachts rijp – heid”)
c. Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
Keputusan Raad van Jistitie menunjukkan adanya pemakaian dua macam kriteria yang tergabung menjadi satu, yakni kriteria Barat yaitu umur dan kriteria Adat yaitu kenyataan ciri-ciri tertentu.
Keputusan Raad van Justitie ini sudah barang tentu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Hukum Adat, khususnya dalam bidang penetapan kriteria dewasa, bahwa kriteria umur, di samping status sudah kawin, lambat laun menjadi biasa dipakai menggantikan kriteria kenyataan cirri-ciri tertentu.



3. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS
Wakaf
Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf sebagai berikut:
a. Mencanangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk mesjid atau langgar; bahkan jika perlu disertai dengan tanah pertanian yang berada di sekelilingnya guna memberi kesempatan kepada para pejabat mesjid/langgar untuk memungut hasilnya guna mengongkosi penghidupannya beserta keluarganya, dan juga disertai dengan buku-buku qur’an untuk dipakai di mesjid atau langgar itu.
b. Menentukan sebagian dari harta-harta yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya.
Lembaga hukum “wakaf” ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karenanya, maka pelaksanaannya juga terkait oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam seperti yang berikut:
1. Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang diinginkan akan di-wakaf-kan.
2. Benda yang di-wakaf-kan harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuannya yang tidak bertentangan/dilarang agama, harus dijelaskan.
3. Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang.
4. Maksudnya harus tetap.
5. Yang menerima wakaf harus menerimanya (Kabul).

Yayasan
Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh syarat-syarat hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah “yayasan” dan koperasi.
Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial. Yayasan demikian ini dapat dibentuk dengan akta pembentukan.

Koperasi
Koperasi adalah perkumpulan di mana ke luar-masuknya anggota diizinkan secara leluasa. Tujuan koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan para anggotanya secara gotong-royong. Koperasi didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-undang No. 79 tahun 1958 jo. Undang-undang No. 14 tahun 1965 jo. Undang-undang No. 12 tahun 1967 adalah suatu badan hukum. Dan pasal 2 Undang-undang No. 12 tahun 1967 tersebut ditegaskan bahwa landasan-landasan koperasi adalah sebagai berikut:
- Landasan idiil adalah PANCASILA.
- Landasan struktural adalah Undang Undang Dasar 1945.
- Landasan geraknya adalah pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
- Landasan mental adalah setiakawan dan kesadaran berpribadi.




BAB VII
HUKUM KEKELUARGAAN


1. KETURUNAN
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari yang lain.
Pada umumnya kita melihat adanya hubungan Hukum yang didasarkan kepada hubungan kekeluargaan. Juga kita melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur; akibat-akibat hukum ini tidak semua sama di seluruh daerah.
Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan.
Keturunan dapat bersifat:
a. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain.
b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur.
Selain keturunan itu dapat bersifat lurus atau menyimpang, keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya. Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan, atau derajat.
Kita mengenal juga keturunan garis bapak (keturunan patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal).
Suatu masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari hanya mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak, disebut bilateral.
Di dalam susunan persekutuan yang genealogis menurut garis keturunan satu pihak – matrilineal di Minangkabau, patrilineal di Tapanuli hanya terdapat suatu perbedaan nilai dalam hubungan kekeluargaan antara kedua belah pihak keturunan itu.
Lazimya untuk kepentingan keturunannya, dibuatlan “silsilah” yaitu suatu bagan di mana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami/isteri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah maupun yang menyimpang.
Hubungan kekeluargaan merupakan faktor yang sangat penting dalam:
a. Masalah perkawinan.
b. Masalah waris.


2. HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap semua masyarakat adat. Sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat dapat banyak upacara-upacara adat yang bersifat religio-magis serta yang penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari segala bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak setelah anak itu dilahirkan, supaya anak dimaksud dapat menjelma menjadi seorang anak yang dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Sudah barang tentu wujud upacara-upacara adat itu tidak sama di tiap daerah. Selain itu lazimnya pada hari-hari kelahiran anak diadakan “sesajan” demi keselamatan anak tersebut.
Dan perhatian yang sebesar itupun diberikan oleh orang tuanya dengan alasan satu yang sama di seluruh daerah, yaitu sebagai penegak dan penerus generasinya, kerabatnya dan sukunya.
Dalam kenyataan tidak semua kejadian berjalan dengan normal. Kita melihat dalam masyarakat adanya kejadian-kejadian abnormal sebagai berikut:

a. Anak lahir di luar perkawinan:
Di beberapa daerah ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuan (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan-kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Untuk mencegah nasib si-ibu beserta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu.
Di samping kawin paksa, adat mengenal juga usaha yang lain, yaitu dengan mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan salah seorang laki-laki lain.
Semua upaya-upaya adat itu tidak dapat menghilangkan perasaan dan pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak demikian ini di Jawa disebut “anak haram jadah”, di Bali “astra”.

b. Anak lahir karena hubungan zinah:
Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu menjadi bapak anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena zinah ini.
Ketentuan dalam hukum Islam ini sama sekali tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa” dan “kawin darurat”, “nikah tambelan” atau “pattongkog sirig” tersebut di atas.

c. Anak lahir setelah perceraian:
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung.
Anak yang lahir dari selir-selir ini mempunyai kedudukan serta hak-hak (misalnya hak warisan) yang tidak sama dengan anak-anak dari isteri. Anak-anak dari isteri mempunyai hak-hak lebih banyak.
Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau anak ibu) ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang berikut:
a. Larangan kawin antara anak-bapak atau anak-ibu.
b. Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.
Apabila salah seorang dari orang tuanya tidak menepati kewajibannya, hal itu dapat dituntut mengenai biaya selama anak tersebut masih belum dewasa. (Putusan Mahkamah Agung, tanggal 3 September 1958 Reg. No. 216 K/Sip/1958).
Hubungan hukum anak-orang tua ini dalam berbagai lingkungan hukum adat secara formil dapat ditiadakan atau lebih tepat dikorbankan dengan sesuatu perbuatan hukum.
Ada pula kebiasaan mempercayakan pemeliharaan anaknya itu kepada orang lain. Anak yang pengasuhannya dipercayakan kepada orang lain demikian ini, setiap waktu dapat diambil kembali oleh orang tuanya.


3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya.
Dalam persekutuan yang sifat susunan keluarganya adalah unilateral, yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu), maka hubungan antara anak dengan keluarga dari kedua belah pihak adalah tidak sama eratnya, derajatnya, dan pentingnya.
Tetapi yang perlu ditegaskan dalam persekutuan-persekutuan yang sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini, adalah bahwa hubungan dengan kedua belah pihak keluarga diakui adanya, hanya sifat susunan kemasyarakatannya yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan salah satu pihak lebih erat dan lebih penting.


4. MEMELIHARA ANAK PIATU
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan pihak bapak-ibu orang tua yang masih hidup yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut.
Jika kedua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga dari pihak bapak atau ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu.
Ketentuan-ketentuan dalam keluarga yang bersusunan unilateral, sudah barang tentu dalam perkembangan zaman selanjutnya mengalami pengaruh-pengaruh yang lambat laun menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan.
Akhirnya apabila dalam keluarga yang bersusunan unilateral itu, kedua-dua orang tua meninggal dunia, maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang ditinggalkan selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak jika keluarga tersebut keluarga patrilineal dan berada pada keluarga pihak ibu jika keluarga tersebut keluarga matrilineal.


5. MENGANGKAT ANAK
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.
Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan-pengangkatan anak yang berikut:
a. Mengangkat anak bukan warga keluarganya
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat.
Kedudukan hukum daripada anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak kandung daripada suami-istri yang mengangkat ia, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus.
Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.

b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Di Bali perbuatan ini disebut “nyentanayang”. Anak lazim diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar clan itu. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari lingkungan keluarga isteri (pradana).
Prosedur pengambilan anak di Bali ini adalah sebagai berikut:
• Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajib membicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang.
• Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaannya dengan ibunya dan dengan keluarganya secara adat harus diputuskan.
• Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang memungutnya; istilahnya diperas.
• Pengumuman kepada warga desa (siar).

c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan
Mengangkat keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan penggeseran hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan sesuatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang memungut anak.
Sebab-sebab untuk mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah:
Pertama - Karena tidak mempunyai anak sendiri.
Kedua - Karena belum mempunyai anak.
Ketiga - Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan.
Masih dikenal juga pemungutan-pemungutan anak yang dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut itu yang lebih baik dan menguntungkan daripada yang dimiliki semula.
Perbuatan-perbuatan yang demikian ini adalah misalnya:
a. Mengangkat anak laki-laki dari selir menjadi anak laki-laki isterinya.
b. Mengangkat anak tiri (anak isterinya) menjadi anak sendiri karena tidak mempunyai anak sendiri.
Terdapat pula pengangkatan anak dengan tujuan untuk memungkinkan dilangsungkannya suatu perkawian tertentu, seperti yang terjadi di:
a. Kepulauan Kei (masyarakat patrilineal) yang lazimnya mengangkat anak laki-laki, tetapi sebagai perkecualian untuk dapat melangsungkan perkawinan antar keponakan (cross-cousin), khusus mengangkat seorang dara untuk kemudian dinikahkan dengan keponakan laki-lakinya. Demikian juga di pulau Sumba.
b. Bali dan Maluku, memungut anak laki-laki yang kemudian dinikahkan dengan anak perempuannya sendiri.
Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
Perlunya diketahui, bahwa masalah adopsi ini seperti di Jawa-Barat, mendapat pengaruh pula dari Agama Islam, yang diuraikan oleh Prof. Supomo dalam bukunya “Adatprivaatrecht van West –Java” meliputi dua bidang, yaitu:
a. Dalam menikahkan – bapak angkat tidak dapat menjadi wali nikah; ia resminya hanya mewakili wali-nikah, sedangkan dianggap wali-nikah adalah tetap bapak kandungnya atau menggantikannya yang resmi menurut ketentuan Agama Islam.
b. Dalam perkawinan – kalau semula tidak ada larangan perkawinan antara anak angkat dengan anak kandungnya atau keturunan orang tua angkatnya dalam garis lurus, kemudian tidak boleh lagi.




BAB VIII
HUKUM PERKAWINAN


1. ARTI PERKAWINAN
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai upacara lengkap dengan “sesajen-sesajennya”
Prof. Hazairin dalam bukunya “Rejang” mengemukakan peristiwa perkawinan itu sebagai tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan (“koelte”), kebahagiaan (“welvaart”) dan kesuburan (“vruchtbaarheid”).
A.van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacara-upacara itu “rites de passage” (=upacara-upacara peralihan). Upacara-upacar peralihan yang melambangkan peralihan atau perubahan status dari mempelai berdua; dari tadinya hidup terpisah, setelah melampai upacara-upacara dimaksud menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami-isteri; semula mereka masing-masing, setelah melampaui upacara-upacara yang bersangkutan mereka berdua merupakan keluarga sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri sendiri dan mereka pimpin sendiri.
“Rites de passage” ini menurut A. van Gennep terdiri atas tiga stadia, yaitu:
a. rites de separation (upacara perpisahan dari status semula).
b. rites de marge (upacara perjalanan ke status yang baru).
c. rites d’aggregation (upacara penerimaan dalam status yang baru).
Hubungan suami isteri setelah perkawinan bukanlah merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban.
Paguyuban ini oleh Prof. Djojodiguno disebut paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang hidup suami-isteri selanjutnya beserta anak-anaknya.
Bahwa setelah perkawinan suami-isteri itu merupakan satu ketunggalan adalah terbukti antara lain:
a. Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai hingga saat itu (nama kecil) serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai bersama.
b. Sesebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami-isteri, yaitu “garma” (Jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata “sigaraning nyawa” (artinya adalah belahan jiwa).
c. Adanya ketunggalan harta-benda dalam perkawinan yang disebut harta-gini.


2. PERTUNANGAN
Pertunangan adalah merupakan suatu stadium (keadaan) yang bersifat khusus yang di Indonesia ini biasanya mendahului dilangsungkannya suatu perkawinan.
Stadium pertunangan ini timbul setelah ada persetujuan antara kedua belah-pihak (pihak keluarga bakal suami dan pihak keluarga bakal isteri) untuk mengadakan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah lebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah Pasundan disebut neundeun omong. Apabila pertemuan yang pertama ini berjalan dengan lancar, maka biasanya diadakan pertunanangan terlebih dahulu sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pertunanangan baru mengikat, apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak perempuan suatu tanda pengikat yang kelihatan yang disebut panjer atau paningset di Jawa, panyancang di daerah Pasundan, tanda kong narit di Aceh, bobo mibu di pulau Nias, sesere di kepulauan Mentawai, passikog di Sulawesi Selatan, tapu di Halmahera, mas aye di kepulauan Kei, pujompo pada suku Toraja, paweweh di pulau Bali.
Di beberapa daerah (Minangkabau, suku Batak, kebanyakan suku Dayak serta beberapa suku Toraja) tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masing-masing pihak.
Dasar alasan pertunangan ini adalah tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah:
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat.
b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara muda-mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu.
c. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal, sehingga mereka kelak sebagai suami-isteri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.
Akibat yang langsung dari pertunangan itu adalah bahwa kedua belah pihak telah terikat untuk melakukan perkawinan. Akibat yang lain adalah timbulnya sikap pergaulan ataupun hubungan khusus antara bakal mertua dan bakal menantu dan antara bakal besan.
Pertunangan ini masih mungkin dibatalkan dalam hal-hal yang berikut:
a. Kalau memang pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.
b. Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya; kalau yang menerima tanda tunangan tidak memenuhi janjinya; maka tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan kalau pihak yang lain yang tidak memenuhi janjinya, maka tanda tunangan tidak perlu dikembalikan.


3. PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN TANPA PERTUNANGAN
Corak perkawinan yang demikian ini kebanyakan diketemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal, tetapi dalam persekutuan yang matrilineal dan parental (garis bapak-ibu) meskipun agak lebih kurang toh terdapat juga.
Daerah-daerah yang mengenal perkawinan demikian ini adalah antara lain:
a. Lampung
Bakal suami dan isteri bersama-sama melarikan diri dengan biasanya meninggalkan surat atau sesuatu berharga, bahkan kadang-kadang sejumlah uang di rumah bakal isteri. Surat, barang atau uang yang ditinggalkan itu disebut “peninggalan”. Pelarian bersama ini selaku pendahuluan dari perkawinan mereka; oleh karenanya perkawinan ini dapat dinamakan “kawin lari” (Ter Haar menyebut corak perkawinan ini “wegloophuwelijk” atau “wuekehuwelijk”.)
b. Kalimantan
Bakal suami dan isteri yang sudah terikat pada seorang laki-laki oleh pertunangan bahkan kadang-kadang oleh perkawinan, bersama-sama melarikan diri. Mempelai laki-laki wajib memberi ganti-rugi kepada pihak yang terhina (yakni laki-laki tunangan ataupun suami dari isteri yang melarikan diri bersama-sama dia) serta wajib juga membayar pengeluaran perkawinan biasanya lainnya.
c. Bali dan Lampung
Bakal suami melarikan bakal isteri dengan paksa, artinya bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Perkawinan yang didahului oleh semacam penculikan demikian ini disebut juga “kawin rangkat”. Ter Haar memakai istilah “schaakhuwelijk”.)
Dalam perkawinan semacam ini mempelai laki-laki wajib membayar ganti-rugi juga kepada pihak yang terhina dan di samping itu harus pula membayar pengeluaran-pengeluaran perkawinan biasa lainnya.
d. Sulawesi Selatan
Tiap perkawinan antara pemuda dan pemudi yang didahului oleh pelarian mereka bersama di daerah ini disebut “kawin-rangkat”, sebab peristiwa ini senantiasa menimbulkan tantangan-tantangan pada keluarga pihak pemudi bakal isteri.


4. PERKAWINAN DALAM BERBAGAI SIFAT KEKELUARGAAN
Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Corak-corak perkawinan dalam masing-masing sifat susunan kekeluargaan adalah berbeda, maka sebaiknya tinjauan kita dilakukan menurut masing-masing sifat susunan kekeluargaan sebagai berikut:
a. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal
Corak utama dari perkawinan dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaannya patrilineal adalah perkawinan dengan “jujur”.
Pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini adalah sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya dan persekutuannya. Dan setelah perkawinan si isteri itu masuk sama sekali dalam lingkungan kekeluargaannya suaminya; begitu juga anak-anak keturunan dari perkawinan itu.
Jujur ini di daerah Tapanuli disebut juga jujuran, perunjuk, unjung, sinamot, pangoli, boli, tuhor. Di daerah lain dipergunakan istilah-istilah lain seperti berikut:
- beuli- niha di pulau Nias sebelah selatan.
- unjuk di tanah Gayo
- seroh di Lampung
- kule di Pasemah
- wilin atau beli di Maluku
- belis di Timor
- patukun-luh di pulau Bali.
Ter Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het Adatrecht” menamakan perkawinan dengan jujur ini “bruids chathuwelijk”, yaitu perkawinan dengan jujur serta jujurnya oleh pihak laki-laki diberikan kontan menjelang perkawinan.
Kalau jujurnya baru dibayar di kemudian hari, maka perkawinannya di Bali disebut “nunggonin” dan pada suku batak disebut “madinding”, sedangkan Ter Haar menamakan perkawinan itu “dienhuwelijk”.
Kalau jujurnya tidak dibayar, maka perkawinannya disebut anggap (Gayo), semendo ambil anak, nangkon, campur sumbai (Sumatera Selatan), kawin ambil piara (Ambon) dan nyeburin (Bali). Maksud perkawinan semacam ini adalah supaya menantu laki-laki itu menjadi anaknya sendiri, sedangkan anak-anak yang dilahirkan kemudian, menjadi keturunannya dari clannya bapak-mertua laki-laki tersebut.
Tentang jumlah jujurnya sendiri dapat dikemukakan, bahwa pada kawin-rangkat jujurnya adalah yang paling tinggi; pada perkawinan lari pada umumnya lebih rendah daripada jujur pada perkawinan yang biasa, tetapi ada kalanya juga lebih tinggi.
Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal ini kiranya perlu juga diketengahkan perkawinan seorang janda, tetap diam dalam lingkungan keluarga suaminya, dengan saudara muda almarhum suaminya jadi seolah-olah seorang isteri itu diwaris oleh adik almarhum suaminya.
Perkawinan semacam ini disebut pareakhon pada suku Batak di Toba, ganti tikar atau kawin anggau di Palembang dan Bengkulu, nyewalang di Lampung. Di Jawa perkawinan demikian ini, walaupun jarang kadang-kadang terjadi juga; di Jawa perkawinan ini disebut medum ranjang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro S.H. corak perkawinan semacam ini dalam susunan kekeluargaan patrilineal dapat dianggap sebagai lanjutan dari pembayaran jujur (sifat jual-beli) pada perkawinan, yaitu apabila dianggap, bahwa yang beli si isteri semula itu, bukanlah suaminya semata-mata melainkan keluarga suami itu.
Di daerah Rejang da antara “kawin jujur” dan “kawin semendo-ambil anak”, didapat juga suatu macam perkawinan lagi yaitu “kawin semendo-rajo-rajo”.
Dalam perkawinan “semendo-rajo-rajo” ini, suami dan istri bebas untuk memilih tempat tinggalnya sedangkan anak-anak yang kemudian lahir, masuk baik dalam suku bapaknya maupun dalam suku ibunya.

b. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal
Dalam keluarga matrilineal tidak ada pembayaran jujur. Setelah kawin suami tetap masuk keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya sebagai “urang sumando”. Pada saat perkawinan ia (mempelai laki-laki dijemput dari rumahnya dengan sekedar upacara (dijapuig) untuk kemudian dibawa ke rumah bakal isterinya. Upacara pada penjemputan ini disebut “alat melepas mempelai”.
Anak-anak keturunannya masuk keluarga isterinya, masuk warga kerabat isterinya, masuk clan isterinya dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Rumah tangga suami isteri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari milik kerabat si isteri.

c. Dalam sifat kekeluargaan parental
Setelah perkawinan di sini si suami menjadi anggota keluarga isterinya sebaliknya si isteri juga menjadi anggota keluarga suaminya. Suami dan isteri masing-masing menjadi mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak dan kerabat isteri di lain pihak. Begitu seterusnya untuk anak-anak keturunannya.
Dalam susunan kekeluargaan parental terdapat juga kebiasaan terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Tetapi pemberian-pemberian di sini tidak mempunyai arti seperti jujur tetapi lebih banyak mempunyai arti sebagai hadiah perkawinan. Pemberian-pemberian ini disebut jinamee (Aceh), pekain (pada suku Dayak di daerah Kapuas Atas), sunrang dan sompa (Sulawesi Selatan), hook (Minahasa). Ter Haar menamakan pemberian-pemberian demikian ini huwelijksgift.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hadiah perkawinan demikian ini disebut “tukon” tetapi tidak dalam arti uang untuk membeli si isteri, melainkan sebagai sumbangan biaya perkawinan dari pihak laki-laki.
Ada pula kebiasaan di Jawa, bahwa pihak laki-laki memberikan hadiah yang disebut petukan yang lazimnya berupa perhiasaan dan pakaian untuk bakal isteri.
Perlu pula kiranya di sini dikemukakan, bahwa di Jawa Tengah khususnya, ada kebiasaan seorang laki-laki kawin dengan saudara perempuan dari isterinya yang meninggal dunia. Perkawinan ini disebut karang wulu; di daerah Pasemah disebut tungkat. Ter Haar menyebut perkawinan demikian ini vervolghuwelijk
Di daerah Pasundan ada corak perkawinan yang disebut “nyalindung ke gelung”, yaitu apabila ada perkawinan terjadi antara perempuan yang kaya dengan laki-laki yang tidak kaya dan sebaliknya yang disebut “manggih kaya”, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki kaya dengan perempuan yang tidak punya.
Selain itu, juga masih dijumpai di daerah Priangan itu (umumnya daerah Jawa Barat) “kawin nagrah gawe”, yaitu perkawinan antara gadis belum dewasa dengan seorang pria yang sudah dewasa; setelah nikah suami yang sudah dewasa ini bertempat tinggal di rumah mertuanya; selama isterinya belum dewasa (akil-balig), mereka belum dapat hidup sebagai suami isteri dan menantu laki-laki ini bagi mertuanya merupakan bantuan tenaga gratis.


5. SISTEM PERKAWINAN
Kita mengenal 3 macam sistem perkawinan yaitu endogami, exogami, eleuthtrogami.
a. Sistem endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang sacara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi dalam waktu dekat, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan lain-lain daerah akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas.
b. Sistem exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya.Sistem demikian ini terdapat misalnya di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minagkabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram. Sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa akan mendekati sistem eleutherogami.
c. Sistem eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem endogami dan exsogami.
Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena:
Nasab (=keturunan yang dekat), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dank e bawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
Musyaharah (=per-iparan), sperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak itri.
Eleutherigami ternyata yang paling luas di Indonesia; terdapat misalnya di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Biliton, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura.
Di kemuadian hari sistem ini akan lebih merata di Indonesia.


6. PERKAWINAN ANAK-ANAK
Kecuali di beberapa daerah, yaitu daerah Kerinci, di Roti dan pada suku Toraja, maka adat tidaklah melarang perkawinan antara orang-orang yang masih kanak-kanak. Khususnya di pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa itu merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.
Apabila terjadi seorang anak perempuan yang umurnya masih kurang dari 15 tahun dikawinkan dengan seorang anak laki-laki berumur kuarang dari 18 tahun ataupun lebih, maka biasanya setelah nikah, hidup bersama antara dua mempelai sebagai suami isteri ditangguhkan sampai mereka sudah mencapai umur yang pantas. Perkawinan semacam ini disebut “kawin-gantung”, di Jawa disebut “gantung-nikah”. Biasanya kemudian, setelah mempelai berdua mencapai umur yang pantas artinya hidup bersam sebagi suami isteri sudah mungkin, perkawinan ini disusuli dengan perkawinan adat.
Biasanya alasannya adalah unutk segera merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka inginkan bersama.
Lazimnya dalam “kawin-gantung” ini ada kebiasaan mempelai laki-laki setelah nikah bertempat tinggal di rumah mertua serta merupakan bantuan tenaga-kerja bagi mertuanya. Hanya berkumpul dengan mempelai perempuan sebagai suami isteri baru dilakukan setelah si isteri menjadi dewasa. Oleh karena anak menantu laki-laki ini merupakan bantuan tenaga, maka hal ini pun kadang-kadang dijadikan alasan untuk melangsungkan perkawinan gantung.
Di daerah Rejang, seperti dikemukakan oleh Prof Hazairin dalam bukunya “Rejang” terdapat pula semacam perkawinan di mana mempelai pria-wanita setelah nikah belum juga dapat hidup campur sebagai suami dan isteri (jadi merupakan nikah-gantung juga). Tetapi alasan mereka belum dapat hidup sebgai suami dan isteri, bukannya karena salah satu masih belum dewasa atau kedua-duanya masih belum dewasa seperti halnya pada perkawinan anak-anak, melainkan karena upacara perkawinan secara adat masih belum selengkapnya diselenggarakan. Setelah upacara nikah, menurut adat masih wajib diselenggarakan “pesta-bimbang” dan sebelum ada pesta-bimbang ini, maka mempelai belum dapat hidup campur sebagai suami isteri. Kalau mereka sebelum ada pesta bimbang ini, hidup campur sebagai suami isteri, maka dalam masyarakat Rejang mereka itu melakukan zinah menurut adat.


7. PENGARUH AGAMA ISLAM DAN AGAMA KRISTEN TERHADAP PERKAWINAN ADAT
Perkawinan secara Islam ataupun Kristen tidak memberikan kewenangan turut campur yang begitu jauh dan menentukan dalam keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat. Oleh karena itu perkawinan menurut hukum Islam dan Kristen itu membuka jalan bagi mereka yang memeluk agama-agama tersebut untuk menghindari kekuasaan-kekuasaan kerabat, keluarga dan persekutuan seperti keharusan memilih isteri dari “hula-hula” yang bersangkutan keharusan exogami, keharusan endogami dan lain sebagainya. Inilah sebabnya juga, bahwa kekuatan-kekuatan pikiran tradisional serta kekuasaan-kekuasaan tardisional dari pada para kepala adat serta para sesepuh-sesepuh kerabat sangat kurang dapat menyetujui cara-cara perkawinan yang tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan adat.
Dalam perkembangan zaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya ternyata, bahwa:
a. Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari perkawinan adat keseluruhannya.
b. Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang masih dapat diturut.


8. ACARA NIKAH
Nikah secara Islam ini yang dilaksanakan menurut hukum fiqh adalah merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat.
Nikah ini adalah suatu perjanjian, suatu kontrak ataupun suatu akad anatara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak.
Perjanjian ini terjadi dengan suatu “ijab” dilakukan oleh wakil bakal isteri yang kemudian diikuti dengan suatu “kabul” dari bakal suami dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang muslim laki-laki, yang merdeka, sudah dewasa, sehat pikirannya serta baik adat kebiasaannya.
Di Indonesia yang menjadi saksi ini biasanya pegawai-pegawai Jawatan Agama bagian Islam. Ini berhubungan erat dengan Undang-undang tanggal 21 November 1946 Nomor 22 yang dinamakan “Undang-undang Pencacatan nikah, talak dan rujuk” yang mulai berlaku bagi Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari 1947 (Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Januari 1947), bagi Sumatera pada tanggal 16 Juni 1949 (Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tanggal 14 Juni 1949 No. I/P.D.R.I./K.A.) dan bagi daerah-daerah lainnya pada tanggal 2 November 1954 (Undang-undang tanggal 26 Oktober 1954 Nomor 32 tahun 1954).
Perlu ditegaskan, bahwa menurut Undang-undang dimaksud di atas, pegawai-pegawai dari Jawatan Agama (biasanya pegawai pencatat nikah) itu tugasnya sebagai saksi hanya mengawasi pernikahan saja, supaya dilakukan betul-betul menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum Islam.
Sah atau tidaknya pernikahan sama sekali tidak tergantung dari pengawasan ini. Apabila dilakukan di luar pengawasan dan pengetahuan pegawai pencatat nikah, pernikahan adalah sah juga, asalkan dilakukan dengan memperhatikan penuh ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam.
Wakil dari mempelai isteri yang melakukan “ijab” pada pernikahan itu disebut “wali”. Yang menjadi wali ini adalah bapak mempelai perempuan. Apabila bapak mempelai perempuan ini sudah meninggal ataupun berhalangan, maka menurut hukum yang harus menjadi wali adalah menurut urutannya (artinya kalau yang tersebut terlebih dahulu tidak ada atau berhalangan maka digantikan oleh yang tersebut berikutnya) sebagai berikut:
a. Kakek atau bapaknya bapak.
b. Saudara laki-laki yang seibu-sebapak yang tertua; kalau ini berhalangan yang berikut tertua dan seterusnya demikian.
c. Saudara laki-laki yang sebapak yang tertua; kalau berhalangan ang berikut tertua dan seterusnya.
d. Anak laki-laki dari tersebut. (b)
e. Anak laki-laki dari tersebut. (c)
f. Saudara laki-laki dari bapak yang seibu dan sebapak.
g. Saudara laki-laki dari bapak yang sebapak.
h. Anak laki-laki dari tersebut. (f)
i. Anak laki-laki dari tersebut. (g)
Kalau mereka yang tersebut di atas itu semuanya tidak ada, berhalangan atau tidak diperbolehkan menjadi wali menurut hukum, atau apabila mereka itu menyatakan keberatannya menjadi wali tanpa alasan yang tepat, maka mereka sebagai wali dapat diganti oleh seorang “Khadi” atau “Hakim”; di Indonesia lazimnya diganti oleh seorang Penghulu, atau seorang Naib.
Yang disebut “wali mudzjbir” adalah seorang bapak atau kakek yang mengawinkan anaknya atau kakek yang mengawinkan anaknya atau cucunya yang masih perawan dengan paksaan.
Mas kawin atau mahar itu biasanya berupa uang; jumlahnya tidak besar, lazimnya (di Jawa) Rp. 5,- (zaman dulu dua ringgit perak) yang dibayar tunai oleh pihak laki-laki. Tetapi di beberapa daerah ada terdapat kebiasaan juga untuk tidak membayar mas kawinnya serta dinyatakan mas kawinnya dihutang.
Pembayaran mas kawin ini kadang-kadang dijadikan satu dengan pembayaran-pembayaran perkawinan lainnya, seperti di Aceh dicampurkan dengan “jinamee”, di Sulawesi Selatan dicampur dengan “sunrang”, sehingga jumlahnya menjadi lebih besar.


9. UPACARA-UPACARA PERKAWINAN ADAT
Upacara-upacara adat pada sesuatu perkawinan ini adalah berakar pada adat-istiadat serta kepercayaan yang sejak dahulu kala, sebelum agama Islam masuk di Indonesia, telah diturut dan senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Upacara ini di berbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.
a. Upacara-upacara adat pada perkawinan di daerah Pasundan
Setelah pembicaraan yang pertama kali (“neundeun omong”) antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, di mana disampaikan lamaran dari pihak laki-laki, dilakukan, maka apabila semua ini berjalan dengan lancar tidak lama kemudian diadakan upacara pemberian “panyangcang”dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Beberapa waktu kemudian, apabila hari pernikahan hamper tiba, bakal mempelai laki-laki dengan diantar oleh kerabatnya dalam semacam pawai yang meriah dibawa ke rumah bakal isterinya serta di sana oleh salah satu sesepuh kerabatnya yang khusus diberi tugas untuk itu, dengan pidato yang khidmat diserahkan kepada bakal mertuanya. Selanjutnya bakal mempelai laki-laki itu tetap tinggal di tempat bakal mertuanya sampai saat pernikahan.
Pada hari menjelang pernikahan di rumah mempelai perempuan dilangsungkan upacara ngeujeuk seureuh, yaitu upacara menyiapkan secara tradisional bingkisan-bingkisan sirih lengkap dengan bumbu-bumbunya untuk di bawa ke mesjid esok harinya. Pada upacara ini dibakar kemenyan serta dinyalakan “palita” (lampu kuno dengan tujuh buah sumbu) dan juga dilakukan pengajian-pengajian.
Bakal mempelai sendiri pada saat itu sudah mulai dirias dan dipersiapkan untuk upacara nikah esok harinya. Setelah selesai dirias, maka bakal mempelai perempuan mengumpulkan segala kotoran buangan ngeujeuk seureuh; dan setelah membungkus ini dalam sehelai kain, membuang segalanya itu ke dalam “jaringan” (tempat sampah). Bingkisan-bingkisan sirih serta lain-lain ramuan yang diperlukan kini disimpan di atas baki-baki, ini lazimnya dilakukan oleh seorang utusan, duta yang mewakili keluarga pihak laki-laki.
Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah Pasundan disebut “neundeun among”.
Apabila pembicaraan dalam pertemuan pertama ini berjalan dengan lancar, maka biasanya diadakan pertunangan lebih dahulu sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pertunangan baru meningkat, apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak perempuan suatu tanda pengikat yang kelihatan yang disebut panjer atau paningset di Jawa, panyangcang di daerah Pasundan, tanda kong narit di Aceh, bobo mibu di pulau Nias, sesere di kepulauan Mentawai, passikog di Sulawesi Selatan, tapu di Halmahera, mas aye di kepulauan Kei, pujompo pada suku Toraja, paweweh di pulau Bali.
Di beberapa daerah Minangkabua, pada suku Batak, kebanyakan suku Dayak, serta ditutupi kain untuk esok harinya dibawa serta ke mesjid.
Upacara adat setelah pernikahan adalah pertama-tama penyambutan memepelai berdua sekembalinya dari mesjid di rumah orang tua mempelai perempuan, di mana sudah dibangun balandongan untuk para tamu, oleh seorang tukang nyawer dengan nyanyian-nyanyian yang ditujukan untuk mohon doa restu pada dewa dan leluhur serta yang mengelu-elukan mempelai berdua. Tukang nyawer ini sangat menarik perhatian anak-anak, sebab sambil menyanyi tukang nyawer ini menyebar di sekelilingnya beras sesajen yang di dalamnya terdapat uang logam; anak-anak selalu mengikuti tukang nyawer itu, karena mereka ingin mengadu untung memperoleh uang logam yang disebar bersam-sama beras sesajen itu.
Kemudian setelah diadakan sdoa selamat, mempelai perempuan dengan membawa kendi berisi air di tangan kanan dan harupat yang sedang menyala ditangan kiri, berdiri di tangga serambi muka (“pendapa”), sedangkan di mukanya diletakkan suatu tunjungan (papan alat tenun) dengan elekan (suatu alat tenun)dan sebuah telor.
Mempelai laki-laki tanpa menyinggung tunjangan tersebut harus mematahkan dan memecahkan elekan bersama telor dimaksud sekaligus dalam satu injakan. Setelah ini terjadi, maka mempelai perempuan wajib membersihkan kaki mempelai laki-laki dengan airkendi yang ia bawa itu serta sekaligus memadamkan harupat yang ia pegang di tangan kirinya. Kemudian setelah kendi yang dibawa mempelai perempuan dilempar pecah oleh mempelai laki-laki, mempelai berdua dengan bergandengan tangan masuk ke dalam serambi dalam dengan mendapat sambutan hangat oleh para tetamu.
Pada kesempatan ini ada seseorang yang tampil ke depan dan mengadakan uarian-uraian, disebut “bintara”.
Mempelai berdua selanjutnya menuju ke kamar temanten. Tetapi apabila mempelai perempuan sudah masuk ke kamar, maka pintu kamar temanten segera ditutup olehnya dan mempelai laki-laki lalu duduk menunggu di luar.
Kemudian dilakukan upacara buka-pintu, yaitu dengan perantaraan seorang penyanyi laki-laki dan seorang penyanyi perempuan mempelai berdua berdialog yang maksudnya mempelai laki-laki mendesak dibukanya pintu sedang mempelai perempuan selalu menjawab syarat-syarat yang selalu diterima oleh mempelai laki-laki.
Pada akhirnya pintu dibuka juga. Setelah mempelai laki-laki masuk ke kamar temanten, maka mereka berdua berganti pakaian dan selanjutnya mereka berdua duduk berdampingan di muka tempat-tidur-temanten untuk melakukan upacara makan bersama, yaitu makan nasi kuning yang dinamakan “sangu panur” dengan iakn goring sepasang burung merpati; iakn burung merpati inilah yang lebih dahulu dimakan.
Apabila iakn telah habis dimakan, maka mempelai berdua saling memberikan suapan nasi; ini disebut “huap lingkung”. Setelah makan bersama ini selesai, maka mempelai berdua diperbolehkan beristirahat. Setelah beristirahat lazimnya mempelai berdua berzinah ke makam para leluhur.
Beberapa hari setelah pernikahan itu, lazimnya diadakan hajat lagi yang disebut “num bas”, yaiut selamatan dengan nasi dan ikan ayam, (bakakak). Pada upacara ini mempelai perempuan menerima hadiah-hadiah dari kedua belah orang tuanya, yang disebut “panumbas”.
Mempelai berdua lazimnya dalam tujuh hari setelah pernikahan dilarang meninggalkan rumah. Setelah itu ada kebiasaan upacara ngunduh temanten, yaitu mempelai berdua diboyong ke rumah orang tua mempelai laki-laki serta diadakan pesta lagi di situ.
Demikian upacara adat perkawinan di daerah Pasundan menurut Dr. K.A.H. Hidding dalam bukunya “Gebruiken en godsdientst der Soendanezen” halaman 42 dan seterusnya.

b. Upacara-upacara adat pada perkawinan di Jawa-Tengah
Upacara adat pada perkawinan di daerah Jawa Tengah ini dalam garis besarnya tidak berbeda dengan di daerah Pasundan, hanya istilah-istilah adalah barang tentu lain serta pelaksanaannya agak berbeda.
Juga di daerah ini, setelah upacara lamaran, pemberian paningset serta pertunangan, menjelang hari pernikahan terdapat upacara-upacara adat.
Menjelang hair pernikahan, bakal mempelai laki-laki dengan diwakili oleh satu perutusan yang mewakili orang tua dan kerabatnya menuju ke rumah bakal mertua untuk menjalani apa yang disebut “-nyantri”, yaitu menunggu sampai tiba saat nikah, berdiam di tempat yang khusus ditunjuk oleh bakal mertua.
Lazimnya tempat ini (“pondokan temanten laki-laki”) letaknya di sekitar rumah bakal mertua, kadang-kadang malah dalam satu pekarangan. Kesempatan ini biasanya dipergunakan juga oleh pihak mempelai laki-laki untuk menyerahkan petukan-nya kepada pihak mempelai perempuan.
Sementara itu di rumah mempelai perempuan sendiri pada hari menjelang hari pernikahan juga sudah diadakan upacara-upacara adat. Pertama-tama dilakukan upacara mandi “kembang-setaman” yakni bakal memepelai perempuan sebelum dirias dimandikan dengan air kembang setaman oleh para pinesepuh wanita (nenek, saudara-saudara perempuan bapak-ibu, kakak-kakak perempuan). Setelah selesai mandi, maka mulailah bakal mempelai perempuan dirias.
Pada malam harinya, yaitu malam menjelang pernikahan di rumah mempelai perempuan dilangsungkan apa yang disebut “malam midodareni”, yaitu malam tirakatan dimana kerabat pihak perempuan, khususnya para pinesepuh, menghadiri hajat ini hingga jauh malam. Maksud upacara ini adalah memohon taufik dan hidayat Yang Maha Kuasa serta berkah-restu para leluhur supaya perkawinan yang esok hari akan dilangsungkan itu akan membawa kebahagiaan bagi mempelai berdua beserta kerabatnya masing-masing.
Malam tirakatan demikian ini juga dilakukan di pondokan bakal mempelai laki-laki. Esok harinya sebelum memakai pakaian temanten bakal mempelai laki-laki biasanya melakukan upacara “mandi” seperti halnya mempelai perempuan, hanya disini yang dimandikan sudah barang tentu para pinesepuh kerabat mempelai laki-laki. Upacara pernikahannya sendiri, akhir-akhir ini banyak dilakukan di rumah mempelai perempuan dan tidak lagi di mesjid.
Selain nikah, maka segera dilakukan upacara “panggih-temanten”, yaitu kedua mempelai, mempelai laki-laki digandeng oleh pinesepuh pria dan mempelai perempuan digandeng oleh pinesepuh wanita, diketemukan dengan disaksikan oleh seluruh tamu yang hadir pada hajat perkawinan tersebut.
Pada upacara“panggih-temanten” ini dilakukan juga upacara saling melempar bingkisan sirih, menginjak telor, mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air-setaman dari bokor yang telah disediakan khusus untuk itu. Upacara panggih temanten ini dilangsungkan di pintu tengah, jalan masuk ke serambi muka (pendopo) ke serambi dalam (ndalem).
Setelah upacara ini, kedua mempelai bergandengan tangan ke serambi dalam dan mengambil tempat di kursi temanten.
Kemudian dilakukan upacara menimbang temanten oleh bapak mempelai perempuan. Pada upacara ini mempelai laki-laki duduk di pangkuan sebelah kanan, sedangkan mempelai perempuan duduk di pangkuan sebelah kiri. Kemudian apabila dinyatakan oleh ibu temanten perempuan di antara kedua mempelai itu siapa yang lebih berat, maka disini bapak harus menjawab “sama beratnya”.
Upacara berikutnya adalah upacara sungkem ataupun ngabekti, yaitu mempelai berdua berturut-turut mencium lutut para pinesepuh; maksudnya mohon berkah restu.
Setelah itu biasanya temanten berdua menuju ke kamar temanten untuk ganti pakaian. Ada kebiasaan selesai ganti pakaian dilakukan dahar kembul, artinya makan bersama nasi kuning dengan ingkung ayam.
Di daerah-daerah tertentu, seperti Surakarta, setelah dahar kembul ini, diadakan upacara kirab, yaitu mempelai berdua dengan dihantarkan oleh anggota-anggota keluarga terdekat, mengadakan perjalan keliling rumah.
Setelah kirab ini, maka upacara-upacara pad hari pernikahan telah selesai.
Beberapa hari setelah hari pernikahan ini lazimnya setelah sepasar (=lima hari), maka ada kebiasaan diadakan upacara ngunduh temanten.
Demikianlah pada garis besarnya upacara-upacara adat pada perkawinan di daerah Jawa Tengah.
Pengaruh perkembangan zaman ini kiranya tidak akan dapat menghapus upacara-upacara adat yang sudah berakar pada tata kehidupan rakyat itu; pengaruh yang ada kiranya hanya berupa penyederhanaan pelaksanaannya saja.


10. PERCERAIAN
Perceraian adalah menurut adat merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Bangsa Indonesia memandang perceraian itu sebagai suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib dihindari.
Pada asasnya sedapat-dapatnya, artinya apabila memang menurut keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan bukan suami isteri saja, melainkan juga kepentingan keluarga kedua belah pihak, bahkan malahan juga demi kepentingan keseluruhan perlu dilakukan, maka perbuatan itu dapat dijalankan.
Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah:
a. Isteri berzinah
Apabila ia tertangkap basah dan dibunuh, maka suaminya tidak usah membayar “uang banguna”. Apabila ia tidak dibunuh, maka ia dan keluarganya wajib membayar uang delik (Ter Haar “delikts betaling”) yang kadang-kadang sebesar jujur dan harus mengembalikan jujur dan disamping itu ia juga kehilangan haknya atas bagian harta gana-gini.
Apabila isteri meninggalkan ikatan perkawinan (bercerai) tanpa membawa apa-apa demikian ini, maka di Jawa isteri ini disebut “metupinjungan”, di daerah Pasundan disebut ‘balik taranjang”, di daerah Riau dan Jambi dinamakan “turun kain sehelai sepinggang”, dan di Makasar dinamakan “solari bainenna”.
b. Kemandulan isteri
Isteri tidak dapat mempunyai anak, sedangkan salah satu tujuan melaukukan perkawinan itu adalah untuk memperoleh keturunan.
c. Impotensi suami
Suami tidak dapat memenuhi kehidupan bersama sebagai suami dan isteri, sehingga keturunan tidak akan diperoleh dari perkawinan tersebut.
d. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami dan isteri, untuk bercerai
perlu kiranya ditegaskan di sini, bahwa dalam kenyataannya perceraian-perceraian yang disebabkan alasan-alasan adat melulu seperti tersebut di atas adalah sangat jarang terjadi.
Malahan ada beberapa daerah yang tidak memungkinkan ataupun praktis tidak memperbolehkan dilakukan perceraian karena alasan-alasan adat, yaitu di kepulauan Bali, di Pakpak, di Kepas dan di Simsim.
Pada umumnya perceraian-perceraian yang terjadi itu dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan dalam agama, baik agama Islam maupun agama Kristen. Agama Islam dan agama Kristen mempunyai pengaruh yang sama terhadap masalah perceraian dalam dua hal tersebut di bawah ini:
Pertama – Kedua-dua agama itu sangat tidak menyetujui perceraian.
Kedua - Ketentuan-ketentuan yang ada pada kedua-dua agama itu didasarkan kepada kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan saja (suami dan isteri saj) dan sama sekali tidak meneropong perkawinan sebagai masalah yang juga menyangkut kepentingan kerabat, dan persekutuan.
Bagi penduduk yang beragama Islam, maka sudah dijelaskan di muka, bahwa nkah menurut Islam adalah sudah menjelma menjadi suatu bagian daripada keseluruhan acara dan upacara perkawinan adat.
Menurut hukum Islam, maka suami dapat membubarkan perkawinan dengan menjatuhkan talak kepada isterinya (talak yang pertama). Setelah talak yang pertama ini, maka mulailah waktu iddah berlaku.
Waktu iddah ini lamanya adalah 100 hari atau apabila isteri sedang hamil, sampai 40 hari sesudah bersalin. Dalam waktu iddah ini, isteri tidak diperbolehkan kawin lagi; suami dilarang mempunyai lebih dari 4 isteri termasuk isteri yang sedang dijatuhi talak pertama, isteri yang mendapat talak pertama itu berhak mendapat nafkah dari suami dan suami masih dapat menarik kembali talak serta meneriam kembali isterinya (rujuk).
Talak yang kedua membawa akibat seperti talak yang pertama. Kalau sudah dijatuhkan talah yang ketiga, maka sudak tidak ada kesempatan untuk “rujuk” kembali.
Talak dapat juga dijatuhkan oleh suami atas permintaan isterinya dengan disertai pembayaran. Perceraian dengan jalan demikian ini disebut “khul” atau “kuluq”.
Pembayaran dari pihak isteri itu disebut “penebus talak” atau “pemancal”,”pengiwal” (Jawa). Pembayaran ini dapat berupa uang atau melepaskan haknya atas bagian harta gana-gini atau penghapusan kewajiban membayar mas kawin bagi suaminya. Khul tidak memberi kemungkina untuk rujuk kembali; iddah berlaku serta selama waktu itu suami wajib memberi nafkah kepada isterinya.
Selanjutnya ada perceraian yang dilakukan berdasarkan pengaduan isteri, bahwa salah satu syarat untuk menjatuhkan talak sudah dipenuhi: tak’lek. Perceraian demikian ini disebut ta’lieq.
Fasch atau pasah adalah perceraian yang diputuskan oleh hakim karena ketika pernikahan dilangsungkan, salah satu syarat tidak dipenuhi, misalnya mempelai laki-laki ternyata tidak mampu memberikan nafkah kepada isterinya. (Di daerah Tapanuli dan Sumatera Selatan juga alasan suami impoten dapat mengakibatkan fasch).
Bagi mereka yang beragama Katolik, maka menurut hukum gerejanya perceraian tidak mungkin.
Ter Haar dalam “Beginselen en stelsel van het adatrecht” mengatakan mungkin.
Bagi para kaum Protestan, maka diakui adanya syarat-syarat untuk mengadakan perceraian sebagai berikut:
- berzinah (baik yang melakukan sang suami maupun sang isteri);
- penganiayaan berat;
- meninggalkan dengan niat jahat;
- kadang-kadang juga tidak mempunyai anak.
Masalah perceraian bagi orang-orang Indonesia-asli-Kristen diatur dengan panjang lebar dalam ordonansi tanggal 15 Februari 1933, Lembaran Negara (Staatsblad) No.74 tahun 1933 pasal 36 sampai dengan pasal 94.
Di Minahasa perceraian diputuskan hakim atas dasar permohonan bersama suami-istreri, sedangkan di Ambon atas dasar adanya kenyataan suami dan isteri sudah agak lama tidak berkumpul.
Menurut hukum adat Batak Nasrani perceraian karena tidak dapat hidup rukun (onheelbare tweespalt) diperbolehkan. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Januari 1960 Reg. No. 438 K/Sip 1959).


11. AKIBAT-AKIBAT PERCERAIAN
setelah bercerai bekas suami isteri tersebut masing-masing dapat kawin lagi. Menurut hukum adat dan hukum Islam, bekas isteri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya, sedangkan menurut hukum Kristen ini dapat serta diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25 Februari 1933 Staatsblaad Nomor 74.
Menurut hukum Kristen tersebut bekas suami diwajibkan memberi biaya untuk memelihara anak-anaknya. Anak-anak selama masih berumur kurang dari 2 atau3 tahun selalu turut dengan ibunya. Setelah 3 tahun atau lebih, maka anak-anak itu dapat mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam lingkungan hubungan kekeluargaan mereka atau apabila tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan yang demikian ini, mereka mengikuti dan taat pada ketentuan pada waktu perceraian.
Kesalahan pada satu pihak menyebabkan pihak yang lain mempunyai hak yang lebih terhadap anak-anaknya. Sangat penting dan menentukan adalah pilihan anak-anak itu sendiri, juga penting adalah siapa dari orang tua mereka yang dalam kenyataan memelihara mereka.




BAB IX
HUKUM HARTA PERKAWINAN


1. FUNGSI HARTA PERKAWINAN
Guna keperluan hidup bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai ongkos kehidupan mereka sehari-harinya, beserta anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”, “benda perkawinan”, “harta keluarga” ataupun “harta benda keluarga”.
Suami dan isteri sebagai satu kesatuan beserta anak-anaknya ini dalam masyarakat adat dinamakan “somah” atau “serumah” (bahasa Belanda “gezin” dan dalam bahasa Inggris “household”). Somah sebagai kesatuan keluarga kecil ini bersama-sama somah-somah lainnya merupakan keluarga besar, yaitu kerabat (bahasa Belandanya “familie”).
Harta perkawinan yang merupakan kekayaan duniawi guna memenuhi segala keperluan hidup somah ini wajib dibedakan dari harta kerabat.
Harta perkawinan atau harta keluarga dengan demikian pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan somah, yaitu suami, isteri, dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.


2. PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN DALAM 4 GOLONGAN
Harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
(a) Barang-barang yang diperoleh suami atau isteri secara warisan atau penghibaan dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.
(b) Barang-barang yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
(c) Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama.
(d) Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada waktu pernikahan.
Menurut Prof. Djojodiguno dan Tirtawinata S.H. dalam bukunya “Adatprivaatrecht van Middel-Java”, maka rakyat Jawa Tengah mengadakan pemisahan harta perkawinan ini dalam 2 golongan sebagai berikut:
a. Barang asal atau barang yang dibawa ke dalam perkawinan.
b. Barang milik bersama atau barang perkawinan.
Wirjono Prodjodikoro S.H dalam bukunya “Hukum Perkawinan di Indonesia” halaman 89, menguraikan bahwa harta perkawinan menurut hukum adat ada kemungkinan sebagian dari kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dari yang lain, dan sebagian merupakan campuran-kaya.
Bagian kesatu dari kekayaan tersebut jadi kepunyaan masing-masing dari suami dan isteri dapat dibagi lagi dalam 2 golongan yaitu:
a. Barang yang masing-masing mendapat secara warisan dari orang tua atau nenek moyang.
b. Barang yang masing-masing mendapat secara hibah atau secara usaha sendiri.
Perbedaan dalam penggolongan itu hanya merupakan perbedaan sisitermatika dalam penguraian saja. Dalam pembahasan masalah harta perkawinan ini, marilah kita ikuti pemisahan harta itu dalam 4 golongan seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar.


3. BARANG-BARANG YANG DIPEROLEH SECARA WARISAN ATAU PENGHIBAAN
Barang-barang yang diperoleh secara warisan atau penghibaan disebut “pimbit” (Ngaju Dayak), “sisila” (Makasar), “babaktan” (Bali), “asal”, “aseli”, “pusaka” (Jawa, Jambi, Riau), “gono”, “gawan” (Jawa), “barang sasaka”, “barang banda”, “barang bawa” (jawa Barat).
Barang-barang ini tetap menjadi milik suami dan isteri yang menerimanya dari warisan atau penghibaan, juga kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal serta mereka itu tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada keluarga dari suami dan isteri yang meninggal dunia itu, jadi tidak diwariskan kepada suami atau isteri yang masih hidup. Maksudnya supaya barang-barang itu tidak hilang atau kembali ke asalnya.
Di Jawa Barat, apabila suami misalnya melakukan transaksi mengenai barang-barang sasaka/banda/asal isterinya, maka perbuatannya dianggap sebagai tindakan atas nama isterinya. (Prof. Supomo “Adatprivaatrecht van West Java”)
Jadi barang-barang milik suami dan isteri yang diterima sebagai warisan atau hibah, tetapi terpisah satu dai yang lain, sampai pada saatnya barang-barang itu secara warisan beralih kepada anak-anak mereka kalau ada.
Barang-barang yang diperoleh secara warisan dan barang-barang yang diperoleh karena hibah, pada waktu pemiliknya (suami atau isteri) meninggal dan tidak ada anak, tidak sama nasibnya.
Kalau Barang-barang warisan (barang pusaka umumnya) kembali ke asal, artinya kembali kepada suami atau isteri yang meninggal; kalau barang yang diterima secara hibah, maka barang itu akan jatuh pada ahli warisnya yang meninggal.
Mengenai barang pusaka, (misalnya di daerah Minangkabau), dan barang penghibaan (misalnya di daerah Batak) juga sangat atau sedikit terikat oleh ketentuan-ketentuan yang ada di berbagai daerah yang sesuai dengan corak susunan kekeluargaan yang berlaku di daerah itu masing-masing.
Di daerah Kerinci, yang dimaksud dengan pusaka itu semata-mata hanya barang-barang yang diperoleh sebagai warisan saja serta semata-mata hanya terdiri atas sawah, rumah dan lumbung saja. Hanya setelah barang-barang tersebut diwariskan kepada ahli waris, maka barang-barang itu menjadi harta pusaka untuk selama-lamanya. Apabila kemudian tejadi perceraian, maka harta pusaka tetap tinggal pada suami atau isteri yang memilikinya sendiri, dan di bawanya.
Bagi suku Dayak, maka pengertian pusaka itu meliputi, selain barang-barang warisan, juga barang-barang yang bersifat magis yang di dapat sebagai misalnya pembayaran perkawinan atau denda serta yang disediakan sebagai harta-warisan yang kemudian bakal diserahkan kepada para ahli waris.


4. BARANG-BARANG YANG DIPEROLEH ATAS JASA SENDIRI
Pada keluarga di mana ikatan family atau kerabat sangat kuat, maka barang-barang yang baru didapat itu sejak semula menjadi milik yang memperoleh barang itu sendiri dan kelak barang-barang itu sebagai harta warisan akan diterima oleh ahli waris dalam pertalian kerabat itu, kecuali apabila ada anak-anak dalam keluaraga tersebut sehingga barang-barang itu oleh pemiliknya dapat diwariskan kepada anak-anaknya sendiri.
Apabila suami yang memperoleh barang itu, maka ia sendiri menjadi pemiliknya dan isterinya menurut hukum adat, tidak turut memiliki barang itu, tetapi dirasa wajar, apabila isteri sebagai anggota somah, turut mengenyam manfaat dari hasil barang-barang tersebut. Demikian juga sebaliknya. Untuk melakukan transaksi dengan barang-barang ini diperlukan lebih dahulu permufakatan daripada warga keluarga yang bersangkutan, sekurang-kurangnya dengan sepengetahuan para ahli warisnya. Ketentuan-ketentuan demikian ini berlaku baik bagi barang-barang yang diperoleh sendiri sebelum maupun dalam masa perkawinan,
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut “guna pembujangan” kalau yang memperoleh itu suaminya dan disebut “harta penantian” kalau yang memperoleh itu isterinya.
Di pulau Bali barang-barang itu tanpa melihat siapa yang memperoleh disebut “guna kaya”. Barang-barang yang diperoleh secara demikian ini tetap mejadi milik suami atau isterinya yang bersangkutan, demikian juga hutang.
Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan, pada umumnya jatuh ke dalam harat perkaawinan, milik bersama suami isteri. Harta ini menjadi suatu bagian dari kekayaan keluarga dan apabila ada perceraian, maka suami dan isteri masing-masing dapat menuntut bagiannya.
Dibentuknya milik bersama suami-isteri ini menunjukkan suatu gejala dalam hukum adat, bahwa proses perkembangan seterusnya memperlihatkan dengan jelas tumbuhnya dan makin kuatnya kedudukan somah (keluarga terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak) dalam masyarakat.
Kekayaan milik bersama suami isteri ini disebut “harat suarang” (Minangkabau), “barang perpantangan” (Kalimantan), “cakkara” (Bugis), “druwe gabro” (Bali), “Barang-gini”, “gonogini” (Jawa), “guna kaya”, “barang sekaya”, “campur kaya”, “kaya reujeung” (Pasundan).
Terhadap azas umum ini terdapatjuga pengecualian-pengecualian.
a. Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isteri tidak memberi suatu dasar materiil- yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman- bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan.
b. Di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri. Sebaliknya dalam perkawinan manggih kaya (suami kaya dan isteri miskin) penghasilan diperoleh semasa perkawinan menjadi milik suami.
c. Di Kudus-Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan para pedagang maka suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan.


5. BARANG-BARANG YANG DALAM MASA PERKAINAN DIPEROLEH SUAMI DAN ISTERI SEBAGAI MILIK BERSAMA
Di lain-lain daerah yang mengenal adanya milik bersama suami isteri, menganggap termaksud milik bersama suami isteri segala kekayaan yang selama berlangsungnya perkawinan, diperoleh suami atau isteri, asal saja dua-duanya bekerja untuk keperluan somah.
Demikian juga pendapat jurisprudensi, yaitu Keputusan Mahkamah Agung pada tanggal 7 November 1956, majalah “HUKUM” 1957, 5-6 halaman 31, yang menetapkan “semua harta yang diperoleh selama berjalannya perkawinan, termaksud “gono-gini”, biarpun mungkin hasil kegiatan suami saja.
Wirjono Prodjodikoro S.H mengemukakan beberapa peraturan umum, yang berlaku di banyak daerah tentang hal pengurusan ini sebagai berikut. “Tentang hal mengurus barang-barang kekayaan suami dan isteri masing-masing, dapat dikatakan, bahwa seperti halnya dalam hukum Islam, barang-barang si suami dan si isteri yang terpisah satu dari yang lain, diurus oleh mereka masing-masing secara merdeka. Pun dalam hukum adat seorang isteri dapat bertindak terhadap kekayaannya secara yang seluas-luasnya, dengan tidak perlu dibantu atau dikuasakan oleh si suami.
Tentang pengurusan barang-barang milik bersama, Wirjono menunjuk kepada apa yang dikemukakan oleh Ter Haar dalam bukunya, yaitu bahwa suami dan isteri masing-masing leluasa untuk memakai atau menjual barang-barang itu. Kalau salah seorang dari mereka melakukan perbuatan terhadap barang itu, maka ia dianggap selalu dengan persetujuan pihak yang lain. Akan tetapi bagi seorang ketiga yang mengadakan suatu perjanjian mengenai barang milik bersama ini, adalah lebih aman, terutama mengenai barang-barang yang berharga tinggi dengan banyak resiko, apabila seorang ketiga itu menuntut, supaya suami dan isteri dua-daunya turut campur tangan dalam perjanjian itu.
Meskipun pada prinsipnya baik suami maupun isteri, masing-masing dapat melakukan transaksi sendiri terhadap barang-barang milik bersama itu, namun hemat kami sangat tepat apa yang dinyatakan oleh Ter Haar yang juga dikemukakan oleh Dr. Soekanto yaitu bahwa transaksi-transaksi yang agak penting sebaiknya dilakukan bersama. Tetapi sering juga suami secara sendirian melakukan suatu transaksi, dalam hal mana persetujuan isteri dianggap sudah ada. Bilamana isteri dengan terang-terang menentang perbuatan suami tiu, maka perbuatan suami tersebuttidak mempunyai daya mengikat; yang berkepentingan wajib mengetahui hal tersebut.
Harta milik bersama ini juga dapatdipergunakan untuk membayar kembali segala hutang dari suami atau isteri. Dan apabila harta milik bersama ini tidak mencukupi, maka pelunasan hutang itu dapat dibebankan atasa barang asal dari pihak (suami atau isteri) yang mengadakan hutang itu. Tetapi terhadap hutang-hutang suami atau isteri yang dibuatnya sebelum perkawinan, maka pelunasannya pertama-tama harus dibebankan atas barang asal pihak yang mempunyai hutang itu dan baru kemudian apabila itu tidak cukup dapat kekurangannya diambilkan dari barang-barang milik bersama.
Barang-barang milik bersama ini dibagi antara kedua belah pihak suami dan isteri, masing-masing pada umumnya menerima separuh. Tetapi ada beberapa daerah yang mempunyai kebiasaan membagi sedemikian rupa, sehingga suami mendapat dua-pertiga dan isteri mendapat sepertiga, seperti halnya di beberapa daerah di Jawa Tengah disebut asas “sagen dong sapikul”. Di Bali asas ini disebut “sasuhun sarembet”. Juga di kepulauan Bangkai, ada asas ini.
Keputusa Mahkamah Agung, tanggal 25 Februari 1959 Reg. No.374 K/Sip./1958 mengatakan bahwa menurut hukum adat yang belaku di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separuh dari harta “gono-gini”
Keinsyafan masyarakat Indonesia, bahwa harus ada persamaan hak antara wanita dan pria ini, dalam kwartal keduan tahun 1960 telah dinyatakan dalam keputusan Mahkamah Agung, tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip./1960 yang menetapkan, bahwa harta pencarian itu harus dibagi sama rata antar suami isteri.
Kalau salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua milik bersama itu tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak yang masih hidup itu berhak untuk mengunakan barang-barang milik bersama itu guna keperluan hidupnya, tetapi apabila untuk keperluan ini ternyata sudah disediakan secara pantas sejumlah harta tertentu yang diambilkan pula dari harta milik bersama itu, maka kelebihan dapat dibagi oleh para ahli waris. Kalau ada anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya sebagai barang asal.
Sedangkan kalau tidak ada anak, maka, sesudah meninggalnya suami atau isteri yang hidup paling lama, barang-barang tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat isteri menurut ukuran pembagian yang sama dengan ukuran pembagian yang dipergunakan suami isteri seandainya mereka masih hidup serta membagi barang-barang itu.
Menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 Reg. No. 258 K/Sip./1959, pembagian gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain daripada anak atau isteri (suami) dari yang meninggal gono-gini.


6. BARANG-BARANG HADIAH PADA WAKTU PERNIKAHAN
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan mempelai berdua; oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama suami isteri.
Di pulau Madura barang-barang demikian ini disebut “barang bawaan”. Tetapi ada kalanya pada saat pernikahan itu terjadai pemberian barang atau kadang-kadang juga uang kepada isteri, mempelai perempuan, dari bakal suami atau dari anggota family; barang-barang ini biasanya tetap menjadi milik isteri sendiri. Barang-barang pemberian perkawinan kepada isteri adalah misalnya jinamee di Aceh, hook di Minahasa, sunrang di bagian terbesar Sulawesi Selatan.




BAB X
HUKUM ADAT WARIS


1. PENGERTIAN HUKUM ADAT WARIS
Prof. Soepomo dalam “Bab-bab tentang hukum Adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta-benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya”.
Ter Haar dalam “Beginselen en stelsel van het adat recht” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil, dan imateriil dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam “Hukum Warisan di Indonesia” memberi pengertian “warisan” sebagai berikut: “warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah, bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan unsur esensilia (mutlak), yakni:
a. seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan.
b. seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.
c. harta warisan atau harta peninggalan, yakni kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.
Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa kita wajib mengadakan pemisahan yang jelas antara proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan pada masa pemiliknya masih hidup dan proses pada waktu sesudah pemiliknya meninggal dunia. Proses yang pertama itu lazimnya disebut “penghibaan” (Prof. Soepomo memakai istilah “pewarisan”; Ter Haar memakai istilah “toesheiding” umumnya disebut “warisan” (Prof Soepomo “hibah wasiyat”, “wekasan” atau “welingan” (Jawa), Ter Haar “vereven”; Wirjono Prodjodikoro “warisan”).


2. SIFAT HUKUM ADAT WARIS
Hukum Adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum Adat Waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia.
Hukum adat waris sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu.
Hukum adat waris juga mendapatkan pengaruh tidak hanya dari perubahan-perabuhan sosial, misalnya yang disebabkan makin kuatnya hubungan kekeluargaan “somah” dan makin lemahnya ikatan clan dan kerabat, tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asaing sejenis yang oleh para hakim agama selalu ditetapkan in concreto walaupun pengaruhnya itu sanagt kecil.


3. SISTEM KEWARISAN ADAT
Di Indonesia ini kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut:
a. Sistem kewarisan individual.
Cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa.
b. Sistem kewarisan kolektif.
Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut harat pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat
Ciri harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah-Semendo di Sumatera Selatan di mana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.
Ketiga sistem kewarisan ini, masing-masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana sistem kewarisan itu berlaku, sebab sesuatu sistem tersebut di atas dapat diketemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud di atas.


4. HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini, berdasarkan atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:
a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi (misalnya barang-barang milik suatu kerabat atau famili).
b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/jabatan tertentu (contohnya misalnya barang-barang keramat keraton Kesepuhan Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi Sultan Sepuh serta barang-barang itu tetap disimpan di keratin Kesepuhan).
c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon.
d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak dijumpai di Jawa, misalnya apabila terdapat anak-anak yang ditinggalkan masih belum dewasa, maka demi kepentingan janda beserta anak-anaknya supaya tetap mendapat nafkah untuk hidup terus harta peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap tuntutan untuk membagi-bagi dari ahli waris yang menurut hakim akan mengakibatkan terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu akan ditolak oleh hakim.
e. Karena hanya diwariskan oleh seorang saja (sistem kewarisan mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi.
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya yang memang tidak memberi kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama, dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimakdsud merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi, atau barang itu merupakan lambang persatuan serta kesatuan daripada keluarga yang bersangkutan.
Sebagai contoh daripada harta peningglaan semacam ini dapat disebut:
a. harta-pusaka di Minangkabau.
b. tanah-dati di semenanjung Hitu (Ambon).

Harta-pusaka di Minangkabau
Sifat kekeluargaan di Minangkabau yang matriarchaal ini memperlihatkan adanya barang-barang keluarga seperti tanah-pertanian, pekarangan dengan rumah dan ternak, perkebunan, keris dan lain sebagainy, yang merupakan harta-pusaka milik suatu keluarga. Barang-barang demikian ini hanya dapat dipakai saja (“genggam bauntuiq”) oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak boleh dimiliki oleh mereka masing-masing.
Harta-pusaka itu mempunyai tingkatan yang sesuai dengan tingkatan-tingkatan keluarga, artinya sebagai berikut:
a. harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau kerabat (Ter Haar menyebut “familie”) yang dipimpin oleh seorang “penghulu andiko”.
b. “harta pusaka rendah” dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil, yang terdiri atas isteri dengan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-saudara sekandung beserta keturunan saudaranya perempuan yang sekandung.
Ada kalanya suatu kerabat menjadi terlalu besar jumlah anggotanya. Dalam hal ini ada kemungkinan kerabat itu dipecah menjadi dua dan dengan ini harta-pusaka yang dimiliki kerabat itu dipecah juga menjadi dua; peristiwa demikian ini disebut “gadang menyimpang”.
Tetapi juga di daerah Minangkabau ini Nampak dengan jelas adanya suatu perubahan dalam perkembangan sosialnya yanga menujukkan gejala umum yang memperlihatkan hubungan kekeluargaan somah makin lama makin mendapatkan tempat yang lebih penting sehingga kekuasaan serta pengaruh kerabat dengan sendirinya makin hari makin menjadi kurang. Harta-pencarian suami yang semula menurut hukum adat tidak diwaris oleh anak-anaknya tetapi oleh saudara-saudara sekandungnya sebagai harta-pusaka, maka dengan pergeseran tersebut di atas menjadi milik somah dan kemudian akan diwaris oleh anak-anaknya sendiri.

Tanah- dati di semenanjung Hitu (Ambon)
Sifat kekeluargaan di daerah ini adalah patriarchaal. Tanah-tanah yang didapat seorang secara membeli atau membuka hutan, lama-lama menjadi miliknya keluarga dan kemudian menjadi milkinya famili keturunan pemilik semula. Jadi sepeninggalannya pemilik semula tanah-tanah dengan tanamannya tetap tinggal tidak dibagi-bagi.
Selain dua contoh tersebut di atas, dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya memang lazim adanya harta peninggalan yang tetap tinggal tidak dibagi-bagi
Seperti di Minahasa, barang kelakeran adalah juga milik famili yang juga tidak boleh dibagi-bagi, kecuali jikalau semua anggota famili yang berhak menghendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagi. Di Minahasa terdapat juga suatu bidang tanah yang selalu dipertahankan menjadi milik bersama famili, yaitu yang disebut “tanah wawakes unu teranak”.


5. PENGHIBAAN ATAU PEWARIS (TER HAAR: “TOESCHEIDINGEN”)
Merupakan kebalikan daripada harta-peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi adalah perbuatan penghibaan atau pewarisan, yaitu pembagian keseluruhannya ataupun sebagian daripada harta-kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.
Agar supaya didapat gambarang yang jelas mengenai masalah penghibaan ini, maka di bawah ini diuraikan beberapa contoh penghibaan yang terjadi di ketiga daerah sifat kekeluargaan yang ada, yaitu parental, patriarchaat, dan matriarchaat.

a. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan parental.
Penghibaan sebagian dari harta-keluarga kepada seorang atau beberapa orang anak, kemudian setelah meninggalnya orang tua yang menghibahkan itu dan akan dilakukan pembagian harta peninggalan kepada para ahli waris, diperhatikan serta diperhitungkan dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan andaikan mereka itu belum menerima bagian dari harta-keluarga secara hibah.
Apabila seorang anak telah mendapat pemberian semasa hidup bapaknya demikan banyaknya, sehingga boleh dianggap ia telah mendapat bagian penuh dari harta-peninggalan bapaknya, maka anak itu tidak berhak lagi atas barag-barang lainnyang dibagi-bagi setelah bapaknya meninggal dunia. Tetapi, apabila setelah banyaknya barang-barang harta-peninggalan, ternyata yang telah diterima oleh anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya menjadi sama dengan bagiab saudara-saudaranya yang lain. (Prinsip persamaan hak antara semua anak). \

b. Pada suatu keluarga dengan sifat kekeluargaan matriarchaat.
Menurut hukum adat waris yang berlaku di daerah Minangkabau, maka harta-pencarian seorang suami, tidak akan diwariskan oleh anak-anknya sendiri, melainkan oleh saudara-saudaranya sekandung beserta keturunan saudara-saudara perempuan sekandung.
Ketentuan adat ini mungkin sekali kini, mengingat akan kenyataan adanya perkembangan-perkembangan yang sangat menguntungkan bagi hubungan kekeluargaan somah (=suami-isteri dan anak) di dalam masyarakat Minangkabau, sudah berubah.

c. Pada suatu keluarga dengan sifat kekeluargaan patriarchaat.
Pada suku Batak di daerah Toba, ketentuan hukum adat warisnya adalah, bahwa hanya anak-anak laki-laki sajalah yang akan mewarisi harta peninggalan bapaknya. Ketentuan-ketentuan demikian ini dalam prakteknya diperlunak.
Barang-barang yang dihibahkan secara demikian ini disebut: “saba bangunan”, pauseang atau indahan arian.
Sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 Agustus 1960 Reg. No. 225 K/Sip/1960 tentang hibah ditetapkan sebagai berikut:
a. Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris.
b. Hibah tidak mengakibatkan ahli waris dari sipenghibah tidak berhak lagi atas harta peninggalan dari sipenghibah.




6. HIBAH-WASIAT, WEKASAN, (JAWA), UMANAT (MINANGKABAU), PENUNESAN, (ACEH), NGENDESKAN (BATAK)
Hibah-wasiat merupakan juga suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia.
Hibah-wasiat ialah terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harat peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya. Maksud kedua ialah untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi harta peninggalannya di kemudian hari di antara para ahli waris.
Selain dari pada itu, dengan hibah-wasiat peninggalan warisan menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang-barang yang akan menjadai harta warisan, seperti; barang pusaka, barang yang disewa, barang yang dipegang dengan hak-gadai dan lain sebagainya.
Hibah-wasiat ini, seperti juga pewarisan atau penghibaan, menurut Prof. Soepomo mempunyai dua corak sebagai berikut:
a. Mereka yang meneriam barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu isteri dan anak-anak.
b. Orang tua yang mewariskan itu- meskipun terikat oleh peraturan, bahwa segala anak harus mendapat bagian yang layak, demikian, hingga tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris sesuatu anak adalah bebas di dalam menetapkan barang-barang.
Lagi pula pewarisan atau hibah-wasiat mempunyai fungsi lain, yaitu: “mengadakan koreksi di mana perlu, terhadap hukum waris abintestato menurut peraturan-peraturan tradisional atau agama, yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh peninggal warisan.


7. HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA PENINGGALAN
Harta peninggalan keluarga tidak merupakan suatu kumpulan atau pun kesatuan harta benda yang semacam atau seasal.
Oleh karena itu, maka pelaksanaan pembagiannya kepada para ahli waris yang berkepentingan tidak dapat begitu saja dilakukan melainkan wajib diperhatikan sepenuhnya sifat (macam), asal dan kedudukan hukum daripada barang-barang itu masing-masing.
Di dalam harta-benda kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan itu terdapat barang asal dari suami, barang asal dari isteri dan barang gono-gini. Perbedaan sifat dari barang-barang ini, sama sekali tidak berarti, apabila suami-isteri bersangkutan mempunyai anak.
Di samping perbedaan sifat tersebut di atas, menurut kedudukan hukumnya di dalam harta peninggalan itu terdapat barang-barang yang masih terikat oleh kerabat atau famili (barang asal); ada barang yang termaksud barang pusaka yang keramat, ada barang somah atau keluarga; barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan ataupun hak ulayat desa.

Barang-barang kerabat ataupun barang-barang family
Barang-barang ini biasanya dibawa ke dalam harta kekayaan keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang diperolehnya secara warisan dari orang tuanya dan orang tuanya ini memperoleh barang-barang itu dulu juga secara warisan dan begitu seterusnya.
Apabila peninggal warisan tidak mempunyai anak, maka barang-barang famili demikian ini, kembali lagi kepada famili yang bersangkutan.

Barang-barang pusaka yang keramat
Barang-barang keramat ini kadang-kadang terikat kepada kualitas yang memegangny, misalnya barang-barang keramat dari keratin Kesepuhan di Cirebon akan tetap selalu diwaris oleh yang akan mengganti jadi Sultan Sepuh.
Barang-barang somah atau barang-barang keluarga
Hubungan kekeluargaan di dalam somah (suami-isteri-anak-anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap barang-barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama, bagi anak-anak dari perkawinan kedua, dan seterusnya.

Barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat desa
Seperti sawah “Kasikepan” di Cirebon yang tidak bebas dari hak pertuanan itu, apabila pemegangnya meninggal dunia, maka sawah itu tidak boleh jatuh kepada orang yang:
a. bukan warga desa yang bersangkutan.
b. tidak bertempat tinggal di desa di dalam daerah mana sawah kasikepan dimaksud terletak.
c. telah memiliki sawah kaikepan yang lain.

Barang-barang dengan wujud tertentu
Peraturan sendiri yang mengatur tentang pengoperan barang-barang dengan wujud tertentu ini (“fetelijk bepaalde goederen”) bukan merupakan peraturan yang melarang atau mewajibkan, melainkan merupakan suatu anjuran yang seberapa boleh supaya diturut.

Hutang-hutang
Dalam hukum adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang sipeninggal warisan. Dan dikebanyakan daerah di Indonesia, terutama di Jawa, hutang-hutang itu harus dibayar oleh para ahli waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan serta kewajiban mereka membayar itu adalah sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka masing-masing.

Biaya mengubur mayat (khusus untuk Bali = biaya membakar mayat)
Biaya untuk menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkan (membakarnya, “mengabeni mayat” di Bali) memang bukan termasuk bagian dari pada harta peninggalan. Malahan harta yang masuk menjadi harta peninggalan harus dipakai terutama sekali untuk membiayai penyelenggaraan upacara mayat beserta penguburannya (pembakarannya).
Selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal pada umumnya diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak diperhitungkan pada waktu pembagian harta peningggalan di kemudian hari.


8. PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
Pembagian harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersam-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama daripada para ahli waris.
Apabila ternyata tidak terdapat permufakatan dalam penyelenggaraan pembagian harta peninggalan ini, maka hakim (hakim adat/hakim perdamaian desa atau hakim pengadilan Negeri) berwenang, atas permohonan para ahli waris, untuk menetapkan cara pembagiannya serta memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya.
9. PARA AHLI WARIS
Dalam hukum adat anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris, apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak. Sedangkan tentang pembagiannya, menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179 K/Sip/1961, anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.
Tetapi seperti juga telah dijelaskan di muka, maka ikatan hubungan kekeluargaan somah di beberapa lingkungan hukum adat diterobos oleh ikatan hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yakni matriarchaat atau patrisrchaat.
Akibat dari aliran pikiran, bahwa harta kekayaan somah itu dari semula disediakan sebagi dasar materiil kehidupan somah dan turunannya, ialah adanya peraturan penggantian waris.
Jika seorang anak meninggal, sedang orang tuanya masih hidup, maka anak-anak orang yang meninggal itu bersama-sama menggantikan bapaknya sebagai waris di dalam harta peninggalan kakek-nenenknya.

Anak yang lahir di luar perkawinan
Menurut hukum adat waris di Jawa, anak yang lahir di luar perkawinan itu hanya menjadi waris di dalam harta peninggalan ibunya saja serta juga di dalam harta peninggalan kerabat ataupun famili dari pihak ibu.

Anak angkat
Kedudukan hukum anak angkat ini, di beberapa daerah di lingkungan hukum adat di Indonesia ternyata tidak sama. Di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya parental, dan di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya patriarchaat, kedudukan anak angkat adalah berbeda.
Akhirnya perlu pula ditambahkan beberapa keputusan dari Mahkamah Agung dalam waktu akhir-akhir ini tentang anak angkat sebagai berikut:
Putusan tanggal 15 Juli 1959 Reg. No. 182 K/Sip/1959 menyatakan bahwa anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.

Anak tiri
Anak tiri yang hidup bersama di dalam satu rumah dengan ibu kandung dan bapak tiri atau sebaliknya adalah warga serumahtangga pula. Terhadap ibunya atau bapak kandungnya, anak itu adalah ahli waris, tetapi terhadap ibunya atau bapak tirinya, anak itu bukan ahli waris, melainkan hanya warga serumahtangga saja.

Kedudukan janda
Di Indonesia ini, di mana terdapat adanya tiga macam sifat hubungan kekeluargaan, sudah barang tentu kedudukanseorang janda itu tidak sama.
Mahkamah Agung dalam Keputusan tanggal 2 November 1960, Reg. No. 302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa:
“Hukum Adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan dapat dirumuskan sedemikian rupa, bahwa seorang janda perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti. Bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di tangan janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah di Indonesia di samping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, si janda perempuan berhak atas sebagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak kandung dari si peninggal warisan.

Kedudukan janda laki-laki atau “duda” (Jawa)
Juga kedudukan janda laki-laki atau “duda” (Jawa) ini di masing-masing daerah itu tidak sama. Bagi seorang duda pada umumnya tidak mempunyai alasan yang kuat dan mendesak seperti halnya dengan janda perempuan, untuk menahan pmbagian harta peninggalan, sebab kehidupan selanjutnya tidak semata-mata tergantung dari nafkah harta peninggalan isterinya.

Ahli waris-ahli waris lainnya (selain anak dan janda)
Ahli waris-ahli waris lain ini baru berhak atas harta peninggalan, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak.


10. BEBERAPA HAL LAIN SEKITAR HUKUM ADAT WARIS
Menurut Djojodigoeno Tirtawinata di Jawa Tengah sering terjadi hadiah kepada bukan waris. Pemberian hadiah ini tidak digangu, kecuali jikalau peristiwa itu akan menyebabkan para ahli waris kehilangan bagian warisannya.

Dapatkah penghibaan itu dicabut?
Putusan Raada Justisi Jakarta tanggal 31 1939 dalam Indisch Tijdscrift van Het Recht 151 berbunyi, bahwa penghibaan dapat dicabut kembali atas alasan-alasan berdasar adat, sebagai misalnya kurang hormat atau tabiat lain yang membuktikan kelalaian anak terhadap orang tua.




BAB XI
HUKUM TANAH


1. KEDUDUKAN TANAH DALAM HUKUM ADAT SANGAT PENTING
Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu:
a. Karena sifatnya:
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.
b. Karena faktanya
Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu:
- merupakan tempat tinggal persekutuan.
- memberikan penghidupan kepada persekutuan.
- merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan.
- merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.


2. HAK PERSEKUTUAN ATAS TANAH
Hubungan erat dan bersifat religio-magis menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ. Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.
Yang menjadi objek hak ulayat ini adalah :
a. Tanah (daratan)
b. Air (perairan)
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar
d. Binatang yang hidup liar.
Persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya yaitu dengan cara :
1. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah kekuasaannya itu.
2. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas menguasai wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
Hak ulayat sendiri dipengaruhi juga oleh kekuasaan kerajaan-kerajaan dan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Pengaruh-pengaruh ini menurut sifatnya ada yang menguntungkan (positif) dan ada yang merugikan (negatif). Pengaruh menguntungkan pada umumnya berwujud sebagai perlindungan ataupun penegakkan hak ulayat suatu persekutuan terhadap tanah wilayahnya, sedangkan pengaruh yang merugikan dijumpai dalam tiga wujud, yaitu:
a. Perkosaan
b. Perlunakan
c. Pembatasan

3. Hak Perseorangan Atas Tanah
Harus diperhatikan, bahwa hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh hak ulayat. Sebagai seorang warga persekutuan tiap individu mempunyai hak untuk :
a. mengumpulkan hasil-hasil hutan.
b. memburu binatang liar.
c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.
e. mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
Hak milik atas tanah dari seorang warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah, bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati:
a. Hak ulayat desanya.
b. Kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah.
c. Peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain masuk dalam tanah pertaniannya selama tanah itu tidak dipergunakan dan tidak dipagari.
Prof. Supomo dalam Het Adatprivaatrecht van West Java menyebut adanya Hak usaha atas sebidang tanah. Dan yang dimaksud dengan hak usaha ini adalah suatu hak yang dimilki seseorang untuk menganggap sebidang tanah tertentu sebagai tanah miliknya, asal saja ia memenuhi kewajiban-kewajiban serta menghormati pembatasan-pembatasan yang melekat pada hak itu berdasarkan peraturan untuk tanah partikelir di sebelah Barat sungai Cimanuk, Staa.tsblad 1912 No. 422 yo. 613
Hak usaha ini oleh Van Vollenhoven dinamakan hak menggarap (“bouw of bewerkings recht”). kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pemilik hak usaha terhadap tuan tanah
yang mempunyai hak eigendom atau tanah partikelir itu adalah :
a. Membayar semacam pajak yang dinamakan cukai.
b. Melakukan macam-macam pekerjaan untuk keperluan tuan tanah.
Hukum adat mengenai juga “hak wenang pilih” bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah ataupun yang menetapkan tanda-tanda pelanggaran (pagar dan lain sebagainya)pada tanah yang bersangkutan.


4. Transaksi-Transaksi Tanah
Kita mengenal dua macam transaksi tanah, yaitu:
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak
a. Pendirian suatu desa.
b. Pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan

Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak
Inti dari pada transaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga.
Pada umumnya yang menjadi sebab seseorang pemilik tanah melakukan transaksi itu adalah kebutuhan akan uang. Apabila tidak dapat memperoleh pinjaman uang, maka dilakukan transaksi tanah.
Transaksi jual menurut isinya dapat dibedakan dalam 3 macam sebagai berikut:


a. Menjual gadai
Yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah itu serta untuk memungut penghasilan dari tanah itu. Ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya ditebus oleh yang menjual gadai.
b. Menjual lepas
Yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya. Pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan.
c. Menjual tahunan
Ini merupakan suatu bentuk menyewakan tanah. Transaksi tanah ini di luar Jawa tidak begitu dikenal. Lamanya tidak tertentu.


5. TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN TANAH
Dalam adat dikenal transaksi-transaksi yang ada hubungannya dengan tanah yang berikut:
a. Memperduai (Minangkabau), Maro (Jawa), Toyo (Minahasa), Tesang (Sulawesi Selatan), Nengah (Priangan), Mertelu (Jawa) atau Jejuron (Priangan).
Transaksi di atas terjadi, apabila pemilik tanah memberikan izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan sebagian (separuh kalau memperduai atau maro serta sepertiga kalau mertelu atau jejeron) hasil tanahnya kepada pemilik tanah.
Fungsinya ialah hak milik atas tanah dijadikan produktif tanpa bekerja sendiri. Objeknya adalah bukan tanah, tetapi tenaga dan tanaman.

b. Sewa
Sewa adalah suatu transaksi yang mengizinkan orang lain untuk mengerjakan tanahnya atau untuk tinggal di tanahnya dengan membayar sesudah tiap panen atau sesudah tiap ulan atau tiap tahun uang sewa yang tetap.

c. Tanggungan atau jonggolan di Jawa, Makantah di Bali, Tahan di Tapanuli.
Transaksi macam ini terjadi, apabila seseorang yang hutang kepada orang lain berjanji kepada yang memberi pinjaman tadi, bahwa ia selama belum melunasi hutangnya ia tidak akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi hutang.

d. Numpang atau Magersari di Jawa atau lindung di Priangan.
Apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di tanah itu (=mempunyai rumah di atas tanah itu) memberi izin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian ditempati olehnya di atas tanah itu juga, maka terdapat suatu transaksi yang disebut numpang.

e. “Memperduai” atau “sewa” bersama-sama dengan “gadai”.
Merupakan transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan transaksi yang berhubungan dengan tanah. Dapat terjadi, apabila A (yang menerima tanah yang digadaikan) memberi izin kepada B (pemilik tanah= yang menggadaikan tanah) untuk mengerjakan tanah itu dengan perjanjian memperduai atau sewa.

Titip adalah suatu transaksi yang memberi izin kepada orang yang tidak berhak untuk menggunakan tanahnya, sekaligus memelihara untuknya. Adapun sebab untuk mengadakan transaksi ini adalah biasanya:
a. Untuk sementara meninggalkan tempat kediamannya di mana tanah itu berada, sehingga tidak dapat sendiri menggunakan tanah tersebut.
b. Tanah milik keluarga/family, misalnya sawah harta peninggalan yang tidak dapat dibagi; karena tidak mungkin semua anggota kelurga yang memilki tanah tersebut (ahli waris) mengerjakan dan memelihara tanah yang dimaksud.




BAB XII
HUKUM HUTANG PIUTANG


Dalam adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi ataupun mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkutkan masalah kredit perseorangan saja, tetapi juga masalah-masalah yang menyangkut:
1. Hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
2. Sumbang-menyumbang, sambat-sinambat, tolong-menolong.
3. Panjer.


1. HAK ATAS PERUMAHAN, TUMBUH-TUMBUHAN, TERNAK DAN BARAN
Perbedaan prinsipal antara hak ini dengan hak-hak atas tanah adalah, bahwa terhadap hak ini berlaku terutama hak milik perseorangannya, sedangkan pada hak atas tanah hak persekutuanlah yang lebih diutamakan.
Dalam prinsipnya hak milik atas rumah dan tumbuh-tumbuhan terpisah daripada hak milik atas tanah dimana rumah atau tumbuh-tumbuhan itu berada. Jadi ini artinya bahwa sesorang dapat memiliki rumah dan atau pohon di atas pekarangan orang lain.
Terhadap prinsip ini terdapat pengecualian-pengecualian sebagai berikut:
a. Dalam transaksi-transaksi tentang pekarangan termasuk praktis selalu rumah dan tumbuh-tumbuhan yang ada di situ.
b. Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak milik atas tanahnya.
c. Hak milik atas tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang ada di situ, satu dan lain karena rumah tembok itu tidak mudah untuk dipindahkan seperti rumah yang dibuat dari bambu atau kayu.
Hak milik atas tumbuh-tumbuhan dapat pula digadaikan (misalnya pohon-pohon jeruk dan lain-lain, pohon buah-buahan).
Hak milik atas ternak kadang-kadang terikat oleh peraturan-peraturan khusus tentang memotongnya dan menjualnya; tetapi dengan ikatan yang sedemikian ini tidaklah berarti, bahwa hak milik atas ternak itu tidak ada.

Hak milik atas barang
Peralihan hak milik atas barang-barang yang mempunyai kekuatan magis hanya dapat dilakukan dengan transaksi jual. Barang-barang dapat pula digadaikan.

Tentang benda bergerak dan benda tidak bergerak
1. tanah adalah barang yang pasti tidak bergerak.
2. ternak dan barang-barang lain adalah barang yang pasti dapat bergerak.
3. rumah dan tumbuh-tumbuhan adalah barang yang ada kepastiannya termasuk bergerak atau tidak, untuk ini wajib dilihat keadaannya.



2. SUMBANG-MENYUMBANG, SAMBAT-SINAMBAT, TOLONG-MENOLONG
Tolong menolong yang kita jumpai dalam adat, ternyata ada yang mempunyai dasar:
“Gotong-royong”, artinya tanpa adanya pikiran supaya di kemudian hari dapat menerima balasan pertolongan sekarang memberikan satu pertolongan.
Ada pula tolong menolong yang bermotif: supaya di kemudian hari menerima pertolongan pula atau oleh karena telah menerima pertolongan merasa berkewajiban untuk membalas memberi pertolongan yang sepadan.
Dengan dasar sumbang menyumbang ini timbul perkumpulan-perkumpulan yang asas dan tujuannya, selain mempererat ikatan persaudaraan juga memberikan bantuan kepada para anggotanya tersebut secara bergilir.
Apabila diteliti secara mendalam, maka dapat pula digolongkan dalam perbuatan-perbuatan yang dasarnya juga tolong menolong yaitu :
a. Transaksi maro, mertelu tanah.
b. Memberi kesempatan kepada warga persekutuan yang tidak memiliki ternak untuk memelihara ternaknya dengan perjanjian hasil penjualan atas kembang biak ternak akan dibagi.
c. Kerjasama yang dilakukan pada penangkapan ikan oleh pemilik perahu dengan nelayan.


3. PANJER (TANDA YANG KELIHATAN)
Perjanjian dengan panjer lazimnya mengandung janji untuk mengadakan perbuatan kontan. Dalam perjanjian itu sama sekali tidak ada paksaan dan apabila ada salah satu pihak yang dirugikan, maka pihak yang lain seringkali membayar kerugian itu.


4. KREDIT PERSEORANGAN
Dalam praktek, hutang itu dapat berwujud hutang barang, hutang makanan dan sebagainya; ada pula hutang uang dengan perjanjian mengembalikan dalam natura, berwujud misalnya hasil bumi, hasil peternakan dan lain sebagainya.

Tanggung Menanggung
Perasaan kesatuan dan persatuan yang kuat sekali dalam persekutuan, menyebabkan timbulnya kewajiban adat yang menganggap hutang dari salah satu warga persekutuan atau clan adalah hutang persekutuan atau clan, sehingga kewajiban melunasi hutang tersebut dapat diminta kepada salah satu warga persekutuan yang bersangkutan dan tidak perlu terbatas kepada warga yang melakukan pinjaman tersebut.

Borg atau Jaminan
Hutang dengan jaminan terjadi, apabila ada orang ketiga yang bersedia menanggung pinjaman tersebut.

Kempitan
Semacam perjanjian dengan komisi, terdapat di Jawa.



Ngeber
Transaksi ini dijumpai di Jawa Barat serta berupa suatu transaksi menjualkan barang orang lain.

Ijon atau Ijoan
Ijon adalah perbuatan menjual misalnya tanaman padi yang masih muda. Hasil panen ini menjadi milik yang membeli pada waktu masih muda. Kalau membeli pada tersebut pada waktu sudah masak dan sudah waktunya untuk dipanen, maka perbuatan itu disebut tebasan.

Ngaran atau mengara anak
Di Minahasa dikenal suatu perjanjian yang istimewa, suatu kontrak yang isinya adalah: pihak pertama (A) mewajibkan diri untuk memelihara pihak kedua (B) pada waktu hidupnya dan mengatur harta bendanya setelah ia meninggal dunia. Pihak pertama (A) berhak menerima sebagian dari harta peninggalan pihak kedua (B), lazimnya sebesar bagian seorang anak.

Makidihang raga
Mirip ngaranan di Minahasa adalah yang dijumpai di Bali, yaitu mengikatkan diri sendiri berserta segala harta kekayaannya di bawah asuhan orang lain dan orang ini wajib mengurus segala sesuatu setelah ia meninggal dunia, misalnya pengurusan pembakaran mayat dan sebagai imbalannya ia berhak mewarisi harta peninggalannya.




BAB XIII
HUKUM ADAT DELIK


1. PENGERTIAN DELIK ADAT
Menurut pengertian Ter Haar, untuk dapat disebut delik perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Van Vollenhoven mengartikan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Prof. Soepomo tidak mengemukakan suatu definisi bagi suatu adat delik. Hanya dijelsakan bahwa juga di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan tergangunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu, maka terjadi reaksi-reaksi adat.


2. SIFAT PELANGGARAN HUKUM ADAT
Sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan; satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun untuk penututan secara kriminil.
Petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum, petugas hukum hanya akan bertindak, apabila diminta oleh orang yang terkena.


3. LAHIRNYA DELIK ADAT
Lahirnya delik adat itu tidak berbeda dengan lahirnya tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Dan dengan timbulnya pelanggaran hukum adat itu, lahirlah sekaligus juga delik adat, sehingga pencegahannya menjadi pencegahan delik adat.
Hukum adat tidak mengenal sistem peraturan statis. Jika dalam hukum adat delik adat itu tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru.


4. KEDUDUKAN INDIVIDU DALAM MASYARAKAT
Dunia Barat dengan rasionya itu, tidak dapat mengerti akan hubungan-hubungan serta pengertian-pengertian religio-magis yang hidup dalam aliran pikiran dunia Timur, tidak dapat menggambarkan dan menangkap hubungan hukum dunia materiil dengan dunia hukum alam batin.
Alam pikiran tradisional Indonesia, bersifat kosmis, meliputi segala-galanya sebagai kesatuan (totaliter). Umat manusia menurut aliran pikiran kosmis itu adalah sebagian dari alam, tidak ada pemisah-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup. Dunia manusia berhubungan erat dengan segala hidup kosmis ini merupakan latar belakang hukum adat delik.
Menurut tanggapan hukum adat, kehidupan indiividu ialah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Jadi pergaulan hukum mengharap dari individu, bahwa ia akan menjalankan kekuasaan hukumnya sesuai dengan tujuan sosial.


5. LAPANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT DELIK
Perkara delik adat itu dapat bersifat:
a. melulu delik adat.
b. di samping delik adat, juga bersifat delik menurut KUH Pidana.
Reaksi-reaksi adat sebagai koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai-bagai lingkaran atau lingkungan hukum adat dimaksud adalah misalnya:
a. Penggantian kerugian “immaterial” dalam berbagai rupa.
b. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena yang berupa benda yang sakti sebagai penggantian kerugian rohani.
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf.
e. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.


6. PETUGAS HUKUM UNTUK PERKARA ADAT
Menurut Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Staatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.
Di dalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganmgap sebagai sutu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.


7. BEBERAPA PERBEDAAN POKOK ALIRAN ANTARA SISTEM HUKUM PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM ADAT DELIK
Terdapat perbedaan-perbedaan pokok antara sistem hukum pidana ex. KUH Pidana dan sistem hukum adat delik, misalnya:
a. Suatau pokok dasar kitab hukum kriminil tersebut adalah, bahwa yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia tidak mempunyai tanggung jawab kriminil terhadap delik yang diperbuat oleh seorang warganya. Alirang pikiran Indonesia adalah berlainan, terhadap orang asing diwajibkan membayar denda atau kerugian kepada kerabat orang yang dibunuh atau yang kecuruan itu.
b. Seorang hanya dapat dipidana, apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dalam kekhilafan. Dalam hukum adat unsure kesalahan ini tidak menjadikan syarat mutlak.
c. Sistem KUH Pidana mengenal serta membedakan-bedakan masalah membantu perbuatan delik (“medeplichtigheid”), membujuk (“uitlokking”) dan ikut berbuat (“mededaderschap”). Sistem hukum adat, semua orang yang ikut serta membuat delik, harus ikut bertanggung jawab.
d. Sistem KUH Pidana menetapkan “percobaan” sebagai tindak pidana (pasal 53). Sistem hukum adat tidak menghukum seseorang karena mencoba melakukan suatu delik.
e. Sistem KUH Pidana berlandaskan kepada sistem “pra-existente regels” (pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu). Hukum adat tidak mengenal sistem ini.


8. ALASAN-ALASAN YANG DAPAT MENUTUP KEMUNGKINAN UNTUK DIPIDANA, DAPAT MERINGANKAN DAN DAPAT MEMBERATKAN PIDANA
Dalam KUH Pidana – Titel III, dimulai dengan pasal 44, ditetapkan alasan-alasan untuk menutup kemungkinan seseorang dapat dipidana, alsan-alasan untuk memberatkan pidana.
Dalam hukum adat dijumpai juga alasan-alasan yang semcam.


9. KEWAJIBAN PETUGAS HUKUM ADAT
Para petugas hukum di dalam masyarakat adat melahirkan di dalam penetapan-penetapannya, apa yang hidup sebagai rasa keadilan tersebut di tuangkan di dalam betuk yang konkrit. Di dalam rangka sistem hukum adat, hakim berwenang, malahan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada peraturan hukum positif, memberi putusan yang mencerminkan rasa keadailan rakyat yang bertumbuh baru, wajib memberi konkretisasi, wajib menuangkan menjadi konkrit di dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai dengan alairan masyarakat.
Peradilan menurut hukum adat adalah:
a. Meneruskan dengan rasa tanggung jawab, pembinaan segala hal yang telah terbentuk sebagai hukum di dalam masyarakat.
b. Jika tidak ada penetapan-penetapan terhadap soal yang serupa atau jika penetapan-penetapan pada waktu yang lampau tidak dapat dipertahankan, maka hakim harus memberi keputusan hukum di dalam daerah hukumnya hakim itu.
Peradilan berdasarkan hukum adat membutuhkan hakim-hakim yang besar rasa tanggung jawabnya, yang berbudu luhur.
Pepakem Cirebon melukiskan hakim sebagai Candra, Tirta, Sari, dan Cakra.
Candra = bulan yang menyinari segala tempat yang gelap.
Tirta = air yang membersihkan segala tempat yang kotor.
Sari = bunga yang harum baunya, sehingga hawa sekelilingnya menjadi sedap.
Cakra = Dewa yang mengawasi berlakunya keadilan di dunia.

Search