BAB
I
PENDAHULULUAN
1.1 Latar Belakang
Delik percobaan bukanlah kejahatan yang sejak dahulu kala
dikenal karena masyarakat yang masih dalam stadium primitif atau sangat
sederhana barulah beraksi jikalau perbuatan seseorang nyata-nyata merugikan
masyarakat atau orang seorang. Dalam hal demikian, timbullah reaksi masyarakat,
yaitu kepala-kepala suku, untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan
kejahatan. Kualifikasi kejahatan ditentukan semata-mata oleh apa yang nyata
terjadi dan belum diperhitungkan niat pembuat (dader) untuk melakukan perbuatan yang tercela.
Hal dapat dipidananya pembuat percobaan pada hakikatnya
berdasarkan kehendak jahatnya. Dengan kata lain, berdasarkan uraian subjektif,
tetapi sekaligus berdasarkan ukuran objektif karena kesengajaan itu telah
mengambil arah yang mebahayakan kepentingan hukum yang harus dilindungi, yang
secara objektiftelah membuahkan permulaan melakukan kejahatan tertentu
Dewasa ini banyak
sekali terdapat kasus percobaan yang terjadi di masyarakat kita, baik kasus
percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, sampai percobaan pemerkosaan
terjadi. Masyarakat seringkali keliru dalam mengartikan apa itu percobaan.
Dalam kenyataannya, masyarakat masih memiliki tanda tanya besar mengapa
percobaan harus dipidana. Padahal, tindak pidana yang dimaksud tidak sempat
terjadi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai percobaan
secara rinci agar tidak terjadi kekeliruan lebih lanjut saat memahami apa itu
percobaan.
1.2 Identifikasi Masalah
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan percobaan?
1.2.2
Dimana ketentuan mengenai percobaan
diatur?
1.2.3 Apakah syarat-syarat untuk mengatakan
bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan percobaan kejahatan?
1.2.4
Apakah pengertian dari syarat-syarat
tersebut?
1.2.5
Contoh kasus percobaan dan analisisnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Percobaan (Poging)
2.1.1 Percobaan
Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu
tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan
54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan
Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama
dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak
dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang
dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini
disebut dengan percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan
itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada
hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai.
Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang
hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.[1]
Satu-satunya penjelasan
yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah
bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar
niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van
uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk
melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai,
ataupun suatu kehendak untuk melakukan
suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di
dalam suatu permulaan pelaksanaan).[2]
2.1.2 Percobaan
Menurut RUU KUHP Nasional
Ada perbedaan terminologi antara percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
53 KUHP
yang berlaku saat ini, dengan percobaan yang diatur
menurut RUU KUHP
nasional yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan
1999-2000, Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundangundangan, Direktorat Perundang-undangan. Terminologi percobaan
seperti yang diatur di dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini adalah
percobaan melakukan kejahatan, sedangkan menurut RUU KUHP Nasional berubah
menjadi percobaan melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi karena RUU KUHP
Nasional tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana
(delik) pelanggaran. Artinya untuk keduanya
dipakai istilah tindak pidana. Dengan
demikian, KUHP Nasional ini nantinya hanya terdiri dari 2
(dua) buku yaitu Buku Kesatu memuat tentang aturan umum dan Buku Kedua yang
memuat aturan tentang tindak pidana dengan
tidak lagi membedakan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran. Adapun Buku Ketiga KUHP yang berlaku saat ini, yang
mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam
Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.
2.2
Syarat-syarat Percobaan
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan
itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar seorang pelaku
dapat dihukum karena bersalah telah melakukan
suatu percobaan. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari
niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan
karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut
harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika
memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang
diatur dalam KUHP yang berlaku
saat ini menentukan, bahwa yang dapat
dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan
terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan pidana
khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba
melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam UU (drt)
No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
dapat dipidana.
Menurut Loebby
Loqman pembedaan antara kejahatan
ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja.
Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka
hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi.[3]
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya
tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)),
percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding
(Pasal 184 ayat (5)).[4]
2.3
Pengertian Niat / Kehendak (Voornemen)
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran
pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan
(MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari
KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan
bahwa sengaja (opzet) berarti : ‘de (bewuste) richting van den will op een
bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu).[5]
Beberapa sarjana beranggapan bahwa
niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk
kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan berinsyaf kepastian, dan
kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van
Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.
Profesor van Hattum mengatakan antara lain sebagai
berikut:
“Simons, Van
Hamel, Zevenberen en Pompe nemen aan dat voornemen geheel gelijk staat met
opzet.[6],
zodat van een voornemen des daders kan worden gesproken wanneerde dader
opzethad zoals door de delichtsomschrijving gevorded”.
Yang artinya : “Simons,
van Hamel, Zevenbergens dan Pompe berpendapat bahwa voornemen atau maksud itu
adalah sama sekali sama dengan opzet
sehingga orang hanya dapat berbicara mengenai suatu maksud dari seseorang
pelaku, apabila pelaku tersebut mempunyai opzet
sebagai yan telah disyaratkan dalam rumusan delik yang bersangkutan”.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama
dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat
adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu
dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung
bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang
tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana
tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula
menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian
ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).[7]
Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan pembunuhan
dengan memberikan roti yang mengandung
racun kepada seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa
kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut
menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi korban termasuk pula apa
yang disebut sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan.[8]
Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad
tanggal 6 Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal
dengan automobilist-arrest yang pada
tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti bersalah telah
melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap
seorang anggota polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut: Seorang
anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan pengemudi mobil
tersebut untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah
yang diberikan oleh anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan mobil yang dikendarainya
langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya karena anggota polisi
tersebut pada saat yang tepat sempat
menyelamatkan dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia
dari kematian.[9]
Menurut Hazewinkel-Suringa[10]
dalam Hoge Raad mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara sepintas mungkin
tidak ada rencana untuk membunuh anggota
polisi itu. Tetapikemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini
niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus
eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn).
Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan
bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja.[11]
Pendapat dari Vos di atas ternyata tidak dapat diterima oleh para penulis yan
lain pada zamannya.[12]
Sedangkan
Mulyatno memberikan pendapat
hubungan niat dan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a.
Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial
bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan menjadi perbuatan
yang dituju. Dalam hal semua perbuatan
yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang
tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya
dalam delik yang telah selesai.
b.
Akan tetapi apabila niat itu belum semua
diwujudkan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan
merupakan sifat bathin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu
“subjektif onrechts-element”.
c.
Oleh karena niat tidak dapat disamakan
dengan kesengajaan, maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan
apabila kejahatan timbul. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi
yang tertentu tadi juga sudah ada sejak
niat belum diwujudkan menjadi perbuatan.[13]
Jika diperhatikan
ternyata niat (kehendak) yang merupakan
salah satu unsur dari percobaan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, tidak lagi disebutkan secara
eksplisit sebagai salah satu unsur dari melakukan percobaan seperti yang diatur
dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional.
2.4
Pengertian Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
2.4.1 Permulaan Pelaksanaan
Menurut Pasal 53 KUHP dan Pendapat Para Ahli Hukum
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu
perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi
seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya
kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui
dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil
apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan.
Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan
kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.[14]
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang
dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP
adalah unsur niat yang ada itu harus
diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan
(begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk
menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum.
Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang
dikehendaki,biasanya terdiri dari suatu
rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara
perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah
permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan
tentang apa sebenarnya yang dimaksud
dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini
apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan
dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak
ada keraguan baik menurut MvT
maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan
pelaksanaan dari kejahatan.[15]
Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal
53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan[16]
yaitu antara lain:
a.
Batas antara percobaan yang belum
dapat dihukum dengan percobaan
yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen
(tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan
uitvoeringshandelingen itu
adalah tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan
telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak
bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen
seperti dimaksud di atas. [17]
(Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1)
KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum
dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan
persiapan) dengan uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).
Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan
pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan
yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud
untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
Menurut MvT batas yang
tegas antara perbuatan persiapan
dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang).
Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam
undang-undang.[18]
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan
persiapan dari kapankah perbuatan itu
telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik
percobaan.
Hal senada juga
dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk
dapat memastikan batas-batas antara
tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan
pelaksanaan, sebab undang undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman.[19]
Memang sulit untuk
menentukan perbuatan mana dari
serangkaian perbuatan yang dianggap sebagai
perbuatan permulaan pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya dapat
diketahui bahwa permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering) berada di antara tindakan-tindakan persiapan (uitvoeringshandelingen). Oleh
karena itu untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian perbuatan
yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan kepada 2 teori yaitu teori
subjektif (subjectieve pogingstheori)
dan teori objektif (objectieve
pogingstheori).
Para penganut paham subjektif menggunakan subjek
dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang
melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham
mereka itu disebut sebagai paham
subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan
dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka
juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut para penganut paham objektif seseorang
yang melakukan percobaan untuk melakukan
suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum,
sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan
percobaan untuk melakukan suatu
kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan
perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya.[20]
Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan
perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian
perbuatan.
Teori Subjektif
Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP bahwa “...apabila niat itu telah terwujud dari adanya permulaan
pelaksanaan ... Jadi dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan adalah semua
perbuatan yang merupakan perwujudan dari
niat pelaku. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.
Menurut teori subjektif
dasar patut dipidananya percobaan
(strafbare poging) itu
terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap bathin
itulah yang merupakan pegangan bagi teori ini.[21]
(Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17).
Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan
pelaksanaan dalam Pasal 53
KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu
bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan
menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang menunjukkan
bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya.[22]
Menurut van Hammel tidak tepat pemikiran mereka yang
mensyaratkan adanya suatu rectstreeks
verband atau suatu hubungan yang
langsung antara tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat
dihukum itu hanyalah tindakan-tindakan
yang menurut sifatnya secara
langsung dapat menimbulkan akibat.[23]
Menurut van Hammel aliran subjektiflah
yang benar. Bukan saja karena aliran ini sesuai dengan nieuwere strafrechtsleer
(ajaran hukum pidana yang lebih
baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan sampai kepada akarnya, yaitu
manusia yang berwatak jahat (demisdadige mens) akan tetapi juga
karena dalam mengenakan pidana menurut rumus
umum (algemene formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur
kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya yang memberi pegangan kepada kita. Oleh karena
kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan
adalah lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika
tetapi kemudian menjadi hilang. Dan juga justru dengan adanya kesengajaan
(niat) itu perbuatan terdakwa lalu menjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan
dipandang tersendiri dan terlepas dari hal- ikhwal yang mungkin akan timbul
sama sekali tidak berbahaya. Apabila dengan
kesengajaan untuk membunuh orang
mengarahkan senapan kepada sasaran,
padahal pelatuk senapan tidak
terpasang, maka perbuatan tersebut hanya bersifat berbahaya karena
perbuatan dilakukan oleh orang yang mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka
menurut van Hammel jika ditinjau dari sudut niat si pembuat, dikatakan ada
perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa
yang telah dilakukan sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan
kejahatan tadi.[24]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan
hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah diwujudkan menjadi
suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.
Teori Objektif
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek
dari tindak pidana, yaitu perbuatan.. Menurut teori ini seseorang
yang melakukan suatupercobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan
hukum.
Ajaran yang objektif
menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih
sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari
berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum,
dan menamakan perbuatan
pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum.[25](Sahetapy,
1995 : 216).
Jika mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh
Loebby Loqman di atas, dari contoh pertama peristiwa yang menjadi tujuan A
adalah membunuh B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan
pelaksanaan agar orang meninggal dunia.
Perbuatan yang paling mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam
teori objektif dalam kasus ini adalah
pada saat A menarik pelatuk pistol untuk membunuh B. Demikian pula pada kasus
P. P menyelinap ke kamar kecil
bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap
perbuatan yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari mencuri
adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan tangannya untuk
mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut teoriobjektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan (Loqman, 1996: 20-21).
Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham
subjektif itu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah
mengabaikan syarat tentang harus adanya
suatu permulaan pelaksanaan untuk
melakukan kejahatan dan telah membuat segala sesuatunya menjadi tergantung pandangan yang bersifat
subjektif hakim (Lamintang, 1984 : 534). Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering)
ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Me
1906, W. 8372, yang menyatakan bahwa perkataan
begin van uitvoering” di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering van hetmisdrijf(pelaksanaan dari
kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan pelaksanaan” itu
terutama harus diartikan sebagai
“permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk melakukan kejahatan”. (Lamintang,
1984 : 539).
Sebagian besar dari
arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat dihukum sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP
itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons.
Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum
yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para
anggota Hoge Raad antara lain :
a. Ajaran
yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang
oleh undang-undang telah
dirumuskan secara formil, suatu permulaan
pelaksanaan untuk melakukan suatu
kejahatan dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut mulai
dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest
tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara
lain: perbuatan menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas
yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud untuk
melakukan suatu pemalsuan,
menurut arrest ini merupakan suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang dapat
dihukum.
b. Ajaran
yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang
oleh undang-undang telah
dirumuskan secara materil, suatu percobaan
yang dapat dihukum dianggap telah
terjadi yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu,
menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan
akibat yang terlarang oleh
undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan suatu tindakan yang
lain.[26]
Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu antara lain dalam arrest yang
terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J.
1934 halaman 450, W. 12731[27],
yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran
rumah di kota Endhoven.
c.
Ajaran yang mengatakan bahwa pada
delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa untuk
melakukan delik-delik tersebut harus
dipergunakan alat atau cara-cara tertentu, ataupun dimana penggunaan
alat atau cara-cara semacam itu oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat
dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi,
yaitusegera setelah pelakunya
menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan
kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang
dapat kita lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya
masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J.
1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941 No. 883[28]
yang pada dasarnya mengatakan bahwa:
pembongkaran, perusakan, atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan
itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan.
Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu
telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang
disesuaikan dengan keadaan yang konkrit.[29]
Khusus terhadap arrest Hoge Raad dalam Eindhovense Brandstichting, mendapat
tantangan dari beberapa penulis. Menurut van Bemmelen berdasarkan putusan Hoge
Raad terhadap kasus Eindhovense
Brandstichting itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa objectieve pogingsleer (paham objektif dan paham subjektif) telah
dilaksanakan secara menyimpang sehingga keluar dari
batasbatas semestinya. Walaupun cara
memandang suatu masalah oleh kedua paham (paham objektif dan paham
subjektif) itu berbeda, tetapi dalam memecahkan masalah apakah seseorang dapat dihukum atau tidak
seharusnya jawabannya mengarah kepada hasil yang sama.[30]
Van Veen memberikan catatan tentang putusan ini, bahwa
pada delik yang dikwalifikasikan lebih banyak terdapat permulaan
pelaksanaan daripada delik pokoknya.
Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya, dengan kata lainbersenjata,
bertopeng dan membunyikan bel adalah permulaan pelaksanaan dari suatu kejahatan
pencurian dengan kekerasan, tetapi jika
tidak bersenjata, tidak bertopeng dan membunyikan bel dianggap bukan sebagai
permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa .
Menurut bentuk perwujudannya dari
luar mengebel demikian belum tentu tertuju
pada penyelesaian kejahatan.[31]
Menurut van Bemmelen,
kedua metode baik metode objektif
maupun metode subjektif, jika
diberlakukan secara terlalu kaku akan menjurus kepada ketidakbenaran. Karena
paham subjektif itu telah mengartikan
hubungan kausal secara terlalu luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang pelaku atau
dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan percobaan. Padahal
hubungan antara tindakan mereka dengan akibat akhirnya itu terlalu jauh atau
tindakan mereka itu tidak
mendatangkan bahaya yang begitu besar
untuk dapat menimbulkan suatu akibat
itu. Sebaliknya paham objektif murni tidak akan menghukum mereka
yang telah menunjukkan adanya sifat berbahaya dan telah diwujudkan
dengan tindakan-tindakan nyata. Dalam
hal ini van Bemmelen memberikan contoh
seperti kasus Eindhovense Brandstichting.[32]
Pandangan Moeljatno
tentang Permulaan Pelaksanaan
Menurut Moeljatno,
suatu perbuatan dianggap sebagai
permulaan pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi
tiga syarat. Syarat pertama
dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat
yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap
delik. Adapun syaratsyarat tersebut adalah:
a. Secara objektif apa yang telah
dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata
lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik
tersebut.
b.
Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan
lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan
kepada delik yang tertentu tadi.
c.
Bahwa apa yang telah
dilakukan oleh terdakwa merupakan
perbuatan yang bersifat melawan hukum.[33]
Menurut Loebby
Loqman, sebenarnya pandangan Moeljatno adalah campuran antara kedua teori yakni
campuran antara teori objektif dan teori subjektif. Hal
terpenting bagi Moeljatno adalah sejauhmana sifat melawan hukum dari
perbuatan yang dipermasalahkan sebagai perbuatan
permulaan pelaksanaan.[34]
Suatu hal yang dapat
diketahui dalam hal ini bahwa untuk menentukan telah adanya suatu
perbuatan permulaan pelaksanaan adalah sangat sulit. Adanya permulaan
pelaksanaan itu tidak dapat diketahui hanya
dengan mengetahui niat seorang pelaku yang telah terwujud dalam suatu perbuatan
(tindakan) yang adanya suatu
perbuatan (tindakan) yang sedemikian
langsung (dekat) dengan delik yang akan
dituju. Selain kedua hal tersebut
perlu kiranya diperhatikan keadaan
atau situasi yang terjadi pada
saat seorang pelaku itu mewujudkan niatnya ke dalam suatu bentuk perbuatan,
sehingga perbuatan tersebut nantinya dapat disebut sebagai perbuatan permulaan.
2.4.2 Permulaan
Pelaksanaan Menurut RUU KUHP Nasional
Pasal 17 ayat (2) menyebutkan : Dikatakan ada permulaan
pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. perbuatan
melawan hukum;
b. secara
objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya tindak
pidana; dan
c. secara
subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan
yang dilakukan itu diniatkan atau
ditujukan pada terjadinya tindak pidana.
Menurut Penjelasan Pasal 17 RUU KUHP Nasional, permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan
yang sudah sedemikian rupa berhubungan dengan tindak
pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai.
Permulaan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika perbuatan
yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak
dipidana.
Untuk dapat
dikatakan bahwa telah ada permulaan
pelaksanaan pasal 17 RUU KUHP Nasional pada dasarnya telah mengabsorbsi
pandangan Moeljatno tentang masalah permulaan pelaksanaan. Hanya saja terhadap
pandangan Moeljatno tersebut dilakukan penyempurnaan bahasa berupa beberapa
perubahan redaksi yang disesuaikan dengan istilah dan maksud yang terdapat di
dalam RUU KUHP Nasional.
2.5
Pelaksanaan Itu Tidak Selesai Bukan Semata-Mata Disebabkan Karena Kehendak
Pelaku
2.5.1 Menurut
KUHP
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah
melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai
bukan semata-mata disebabkan karena
kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika
seseorang yang semula telah
berkeinginan untuk melakukan suatu
tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan
permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan
oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang
secara suka rela mengundurkan diri dari
niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu
bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya
untuk mengurungkan niatnya semula.
Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan
kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut:
a.
Adanya penghalang fisik. Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan
orang sehingga tembakan menyimpang
atau pistolnya terlepas. Termasuk
dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal
pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b.
Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya
itu disebabkan karena akan adanya
penghalang fisik. Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuritelah
diketahui oleh orang lain.
c.
Adanya penghalang yang
disebabkan oleh faktor-faktor / keadaankeadaan khusus padaobjek yang
menjadi sasaran. Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga
tidak mati atau yang tertembak bagian
yang tidak membahayakan; barang yang
akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya
sekuat tenaga.[35]
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka
dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan
bahwa ada pengunduran diri
sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan
perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori
Penjelasan (Memorie van Toelichting)
tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1)
adalah untuk :
a.
Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara
sukarela tidak dapat dihukum. Apabila
ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai
keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan
b. Karena jaminan semacam itu
merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu
kejahatan yang sedang berlangsung.[36]
Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang
percobaan ada suatu istilah yang disebut dengan Ondeugelijke Poging. Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun
telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu
hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu
perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa
itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai
dengan harapannya.[37]Ondeug-delijke
Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah
dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau
akibat yang terlarang menurut undang-undang
tidak timbul.[38]
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya
percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak
sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara
mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif).
Mengenai percobaan
yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum
percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syaratpercobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk
terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan
melakukan kejahatan itupun harusada
objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka
juga tidak ada
percobaan.
2.5.2 Menurut RUU
KUHP Nasional
Berdasarkan ketentuan RUU KUHP Nasional diatur tentang
percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan
itu atas
kemauan (kehendak) pembuat sendiri. Namun jika percobaan itu telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan
suatu tindak pidana tersendiri, maka
tetap dipidana.
Di dalam Pasal 18
RUU KUHP Nasional disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum
karena percobaan melakukan tindak
pidana jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan,
pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya
karena kehendaknya sendiri secara
sukarela, Selain itu jika setelah permulaanpelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri
mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat juga tidak
dipidana. Namun jika perbuatan permulaan pelaksanaan itu telah menimbulkan
kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak
pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Selain itu di dalam Pasal 20 RUU KUHP Nasional diatur secara
khusus tentang ketidakmampuan alat yang digunakan dan ketidakmungkinan
objek yang dituju, dimana perbuatan
pelaksanaan telah dilakukan tetapi delik
yang ditujutidak selesai atau akibat terlarang menurut undang-undang tidak
timbul (Ondeugdelijk Poging). .
Di dalam Penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa
ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmungkinan objek tindak pidana
yang dituju dapat terjadi secara relatif
atau mutlak. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmungkinan objek secara
relatif, percobaan itu telah
membahayakan kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana
tidak terjadi. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmungkinan objek secara
mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan
hal
tersebut maka yang
dipergunakan adalah teori percobaan subjektif.
2.6
Contoh Kasus Percobaan
Sumber
: Inilah.Com, Denpasar
Kasus Percobaan
pembunuhan yang menyeret I Nengah Suwela sebagai terdakwa dan Kajari Denpasar
(kala itu), Heru Sriyanto sebagai korban, kembali bergulir di PN Denpasar. Ini
terjadi lantaran perlawanan atau verset yang dilakukan jaksa penuntut umum
(JPU) Denny Iswanto ke Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar membuahkan hasil.
Dalam amar putusannya,
majelis hakim PT Denpasar yang diketuai I Wayan Sugawa bersama anggotanya
Sonhaji dan Hartono Abdul Murad akhirnya membatalkan putusan sela yang
dijatuhkan majelis hakim PN Denpasar yang diketuai Puji Harian yang sebelumnya
menyatakan dakwaan jaksa kabur karena tidak jelas, tidak cermat dan tidak
lengkap.
Di tingkat PT malah sebaliknya, hakim
menyatakan surat dakwaan penuntut umum No Reg Perkara PDM. 753/Denpa/06/2011
atas nama terdakwa I Nengah Suwela telah memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2)
huruf a dan b KUHAP.
“Memerintahkan
pengadilan tingkat pertama untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini dengan
memeriksa terdakwa, bukti-bukti dan saksi-saksi hingga putusan akhir,” kata
Humas PN Denpasar Amzer Simanjuntak mengutip isi putusan dari PT Denpasar,
Senin (10/1).
Amzer mengatakan, putusan itu dijatuhkan
oleh majelis hakim PT Denpasar pada Selasa 20 April 2011 yang lalu dan baru
diterima oleh kepaniteraan PN Denpasar sekitar lima hari yang lalu.
Tak hanya itu, majelis
hakim PT Denpasar juga menilai uraian dakwaan JPU adalah sah karena dibuat
berdasarkan uraian perbuatan yang dilakukan terdakwa Suwela yang memenuhi unsur
pasal yang didakwakan yakni terdakwa diduga melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 338 KUHP jo pasal 53 ayat (1) KUHP.
Majelis hakim
berpendapat alasan copy paste tidaklah dapat dijadikan dasar dakwaan menjadi
kabur yang berarti batal demi hukum. Dakwaan adalah dasar pemeriksaan suatu
perkara sehingga yang perlu dipertimbangkan adalah formalitas dakwaan itu
memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) KUHAP atau tidak memenuhi syarat tanggal,
tanda tangan, harus menyebut identitas, menyebut locus delecti dan tempus
delicti, jelas, cermat dan lengkap mengenai uraian mengenai tindak pidana yang
didakwakan.
Apabila semua itu telah
tercermin didalam dakwaan maka persidangan harus dilanjutkan memeriksa
saksi-saksi dan bukti-bukti yang diakhiri dengan kesimpulan apakah dakwaan
terbukti atau tidak yang selanjutnya menjadi dasar putusan.
Ketika ditanya kapan perkara itu akan
dibuka kembali, Amzer menyatakan semua itu tergantung dari jaksa penuntut umum
kapan mereka akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pengadilan.
Seperti diwartakan
dulu, terdakwa Suwela diajukan meja hijau karena diduga telah meracuni
majikannya sendiri, Heru Sriyanto yang saat itu masih menjabat sebagai Kajari
Denpasar dengan air aki yang dicampur dengan air mineral di dalam dispenser
gallon yang ada di rumah dinas Heru Sriyanto di Jalan Mawardi No 45 Denpasar
Timur, pada 24 Maret silam. Aksi nekat terdakwa tersebut dipicu karena dia
merasa dendam dan sakit hati terhadap Heru Sriyanto karena tidak diajak bicara.
Beruntung bagi mantan
Kajari yang kini bertugas di Kejati DKI Jakarta itu, lolos dari maut. Pasalnya,
pembantunya, Eko Mardyanto lebih dulu mengetahui jika ada yang tidak beres
dengan air tersebut dan melaporkanya ke majikan.
Analisis
Pada kasus di atas,
diterangkan bahwa tersangka bermaksud membunuh korban. Akan tetapi, korban
ternyata tidak meninggal seperti yang diharapkan oleh tersangka. Oleh karena
itu, kasus tersebut tidak memenuhi unsur dalam pasal 338 KUHPidana mengenai
pembunuhan. Karena pembunuhannya tidak terselesaikan, maka perbuatan ini
tergolong pada tindak pidana percobaan pembunuhan sebagaimana termuat dalam
pasal 53 jo 338 KUHP.
Pasal 53 mengenai
percobaan berbunyi ”mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, buka semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Sementara pasal 338 memuat mengenai
pembunuhan, yang berbunyi ”barangsiapa merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Karena korban tidak meninggal dan tidak
mengalami luka berat, percobaan ini memenuhi unsur Pasal 338 jo. 53 KUHP
mengenai percobaan pembunuhan. Lama pidananya adalah 15 tahun (total hukuman
maksimum untuk pembunuhan) dikurangi 1/3.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Percobaan adalah suatu
usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi.
Percobaan dimuat dalam pasal 53 dan 54 KUHP . Syarat-syarat suatu tindakan
termasuk ke dalam tindak percobaan adalah adanya niat, adanya permulaan
pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendak
sendiri. Lembaga hukum percobaan diperlukan untuk menjamin adanya ketentraman
individu.
Ada beberapa perbuatan
yang seolah – olah atau mirip dengan percobaan, perbuatan tersebut adalah
ondeugdelijke poging (percobaan tidak mampu), mangel am tatbestand (kekurangan
isis delik), putatief delict (delik putatif), delik manque (percobaan selesai),
geseharste poging (percobaan tertunda) dan gequalificeerde poging (percobaan
yang dikualifisir).
Pada hakikatnya pasal
53 dan 54 selalu dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang merujuk pada
perbuatan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Z. Abidin Farid dan
A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum
Penitensier, 2008, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. , Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997, Citra
Aditya : Jakarta.
Drs. Adami Chazawi, S.H , Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3.
2002, PT Raja Grafindo : Jakarta.
Moeljatno, Delik-Delik Percobaan Delik-delik Penyertaan,
1985, Bina Aksara : Jakarta.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008,
PT Bumi Aksara : Jakarta
[1]
Soesilo, 1950:59.
[2]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 536.
[3]
(1996:3).
[4]
Susilo, 1980:61.
[5]
Hamzah, 1991:84.
[6]
Van Hatttum, Hand-an Leerboek I, hal 491
[7]
Santosa, 2000:153
[8]
Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, 1996:16
[9]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 544-545.
[10]Logman,
1996:17.
[11]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 545-546.
[12]
Hazewinkel Suringa, Inleiding, hal 212; Van Hattum, Hand-en Leerboek I, hal 492;
Pompe, Handboek, hal 207,not 4.
[13]
Logmen, 1995:17
[14]
1995:18.
[15]
1985:21.
[16]
Noyon-Langemeijer,Het Wetboek I, hal 290.
[17]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 553.
[18]
Sudarto dan Wonosutatno, 1987:17.
[19]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 556.
[20]
Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hal 260.
[21]
Sudarto dan Wonosutatno, 1987:17.
[22]
Sahetapy, 1995:215.
[23]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 559-560.
[24]
Moelyatno,1985:22.
[25]Sahetapy,
1995:216.
[26]
Simons, Leerboek I, hal 171.
[27]
Lamintang-Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hal 36.
[28]
Simons, Lerboek I, Hal 171; Lamintang-Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hal 152.
[29]
Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana , 1996:20-29.
[30]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 568.
[31]
Sahepaty, 1995:226.
[32]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya Bakti,1996),
hal. 569.
[33]
Moeljatno, 1985:28-29.
[34]
Logman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana , 1996:22.
[35]
Arief, 1984:15.
[36]
Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1996), hal. 571.
[37]
Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana , 1996:35
[38]
Arief, 1984:18
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBacksoundnya bagus, ini instrumen apa?
ReplyDeleteSaya mau tau & minta backsound ini..
Terimakasih bgt ya mbak Yessysca Sari Debby.
^_^