Choose the categories.!

Friday, 27 July 2012

Analisis Surat Tilang

ANALISIS SURAT TILANG
Tilang No. Reg : 6015171 

A.    Rincian Surat Tilang
· Tilang No. Reg                        : 6015171
· Nama                                       : Togia. FSH. R
· Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 28– 3– 1987
· SIM Gol                                   : A
· No Register Kendaraan           : B 1573 BFL
· Jenis                                         : Roda 4
· Pada hari Selasa tanggal 7 bulan 2 tahun 2012 dalam wilayah hukum POLRESTABES BANDUNG
· Barang Bukti                           : SIM A atas nama Togia. FSH. R
· Pasal yang dilanggar                : Pasal 289 UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ
· Cap                                          : SATLANTAS POLRESTABES BANDUNG

Dasar Hukum Tilang
·          Paragraf 2 Bagian Keenam Bab XVI, Pasal 211-216 KUHAP;
·          UU No.14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 22 Tahun 2009;
·          PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan;
·          PP No. 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan di Jalan;
·          PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan;
·          PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.
·          SEMA No.22 Tahun 1983 tentang pidana denda dalam perkara cepat harus segera dilunasi;
·          SEMA No. 3 Tanhun 1989 tentang pidana kurungan dalam perkara lalu lintas;
·          SEMA No. 4 Tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan tata cara penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas tertentu;


B.     Analisis
          Tilang, singkatan dari Bukti Pelanggaran merupakan tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas yang menjadi salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri. Penyelesaian atas pelanggaran itu berada dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang melibatkan kejaksaan dan pengadilan. Pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Mengacu pada Pasal 211 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993, terdapat 28 jenis pelanggaran yang dapat dikenakan tilang.
            Termasuk wewenang peradilan dengan acara pemeriksaan lalu lintas adalah perkara-perkara lalu lintas yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1992 yang sesuai dengan Penjelasan Umum KUHAP Pasal 211 dari huruf a s/d h, yaitu:
a.   Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b.   Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda Uji Kendaraan yang sah atau tanda bukti yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkan tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa;
c.   Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memilki SIM;
d.  Tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain;
e.   Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK ybs;
f.   Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugab pengatur lalu lintas jalan dan/ atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan;
g.  Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang izinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan atau cara memuat dan membongkar barang;
h.   Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan;
Setelah Pelanggar dinyatakan bersalah karena melanggar Peraturan Lalu Lintas, oleh Petugas ( POLISI/POLANTAS) pelanggaran tersebut dicatat dalam Berita Acara Singkat yang namanya TILANG (BUKTI PELANGGARAN). Dalam Surat Tilang No. Reg. 6015171, pasal yang dilanggar oleh Togia. FSH. R adalah pasal 289 UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”.
Surat tilang yang menjadi objek analisis adalah kopian surat yang berwarna biru. Surat TILANG semuanya ada 5 ( lima) rangkap :
·          Lembar 1 warna MERAH diperuntukan untuk pelanggar ( sidang di Pengadilan Negeri )
·          Lembar 2 warna BIRU diperuntukan untuk pelanggar ( bukti untuk bayar denda TILANG di Bank ).
·          Lembar 3 warna HIJAU untuk arsip di Pengadilan Negeri.
·          Lembar 4 warna KUNING untuk arsip di Kepolisian.
·          Lembar 5 warna PUTIH untuk arsip di Kejaksaan Negeri
Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, atau langsung bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi. Pilihan-pilihan ini sudah berlangsung sama, sesuai Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/ 1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998).
Apabila Pelanggar menghendaki untuk Datang sendiri ke Pengadilan untuk sidang maka kepadanya diberikan Surat TILANG warna Merah untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri.
Untuk Pelanggar yang karena kesibukannya tidak mungkin bisa hadir di Pengadilan untuk sidang dimaksud diberikan Surat TILANG warna Biru, kemudian datang ke BRI membayar Denda Tilang seperti yg tercantum di Surat TILANG, lalu kembali pada Petugas yang Menindak tadi dengan membawa resi Pembayaran Denda TILANG dari BRI, kemudian Barang Bukti yang disita bisa diambil lagi, dan berkas Tilang yang tadi diserahkan ke Bagian TILANG di Kantor Satlantas untuk dicatat di buku Besar Pelanggaran dan didistribusikan sesuai dengan peruntukannya tadi.
Pada kasus ini, pelanggar bernama Togia. FSH. R menghadiri sendiri sidangnya, sehingga kepadanya diberikan surat yang berwarna merah.

C.    Prosedur Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
·         Penyidik/polisi tidak perlu membuat berta acara pemeriksaan (BAP), pelanggaran hanya dicatat sebagaimana dimaksud dalam pasal 207 Ayat (1) huruf a KUHAP dalam lembar kertas bukti pelanggaran/TILANG dan harus segera dilimpahkan kepada pengadilan negeri setempat selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Biasanya satu minggu setelah penangkapan tilang;
·         Pelanggar/Terdakwa dapat hadir sendiri di persidangan atau dapat menunjuk seorang dengan surat kuasa mewakilinya (Pasal 213 KUHAP);
·         Jika pelanggar/terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang yang telah ditentukan, maka perkaranya tetap diperiksa dan diputuskan tanpa hadirnya pelanggar (VERSTEK) (Pasal 214 Ayat (1) KUHAP);
·         Dalam hal dijatuhkan putusan tanpa hadirnya terdakwa (verstek), surat amar putusan segera disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register (Pasal 214 Ayat (3) KUHAP);
·         Dalam hal putusan verstek berupa pidana penjara atau kurungan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan terhadap verstek (verzet), yang diajukan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa (Pasal 214 Ayat (4) (5) KUHAP);
·         Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik adanya perlawanan/verzet, hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu, jika putusan setelah verzet tetap berupa pidana penjara/kurungan, terhadap putusan itu dapat diajukan banding (Pasal 214 Ayat (8) KUHAP);
            Disudut kiri atas surat tilang terdapat kata “Pro Justitia”, arti dari “pro justitia” ini adalah demi hukum, dengan kata lain juga adalah demi Undang-Undang untuk menegakkan keadilan.
Secara umum, surat tilang memuat :
1.      identitas pelanggar, yang terdiri dari : NamaJenis Kelamin, Alamat ,PekerjaanPendidikan, UmurTempat tanggal Lahir.
2.      identitas mengenai surat – surat kelengkapan serta ciri – ciri kendaraan, terdiri dari : No. KTPSIM Golongan, No. SIMSat Pas, Tanggal, Kendaraan nomor PolisiJenis, MerekNomor Rangka , Nomor Mesin
3.      tanggal serta tempat wilayah terjadinya pelanggaran
4.      identitas petugas
5.      pasal yang dilanggar
6.      denda sesuai pasal
7.      tanda tangan petugas dan pelanggar
8.      keberatan.
9.      Barang Bukti
            Pada surat tilang yang menjadi objek analisis, hampir semua hal yang ada di surat tilang telah diisi. Hanya saja ada beberapa kolom yang tidak diisi.  Ini mengakibatkan surat tilang tersebut menjadi kurang sempurna.
            Sementara itu, sesuai dengan pasal 16 Sub a dan e UU no. 2/2002 dan pasal 38 ayat (2) UU no. 8/1981 serta pasal 260 UU no. 22 tahun 2009 tentang LLAJ, barang yang dititipkan (ditahan sebagai jaminan) adalah surat ijin mengemudi (SIM). Dalam surat tilang ini, SIM A milik Togia. FSH. R adalah barang bukti yang hanya bisa diambil kembali setelah persidangan.
            Hal selanjutnya yang timbul adalah mengenai siapa yang akan hadir di persidangan. Sidang tilang Togia. FSH. R dilaksanakan tanggal 17 Februari 2012, dan ia tidak menguasakan kepada orang lain. Padahal, bisa saja ia menguasakan pada petugas khusus polantas karena surat tilang dapat berkedudukan sebagai surat kuasa. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Polisi (Mahkejapol) .
Menurut Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang (Lampiran SKEP KAPOLRI Skep/443/IV/ 1998), terdakwa berkewajiban untuk :
1.      Menandatangani Surat Tilang (Lembar Merah dan Biru) pada kolom yang telah disediakan apabila menunjuk wakil di sidang dan sanggup menyetor uang titipan di Bank yang ditunjuk.
2.      Menyetor uang titipan ke petugas khusus bila kantor Bank (BRI) yang ditunjuk untuk menerima penyetoran uang titipan terdakwa (pelanggar-red) tutup, karena hari raya/libur, dan sebagainya.
3.      Menyerahkan lembar tilang warna biru yang telah ditandatangani/ dicap petugas kepada penyidik yang mengelola barang titipan tersebut.
4.      Menerima tanda bukti setor dari petugas khusus (Polri) apabila peneyetor uang tititpan terpaksa dilakukan diluar jam kerja Bank (BRI).
5.      Menerima penyerahan kembali barang titipannya dari penyidik/petugas barang bukti/pengirim berkas perkara berdasarkan bukti setor dari petugas khusus atau lembaran tilang warna biru yang telah disyahkan oleh petugas Bank (BRI).
6.      Menerima penyerahan barang sitaannya dari petugas barang bukti setelah selesai melaksanakan vonis hakim (dengan bukti eksekusi dari Eksekutor/Jaksa dan melengkapi kekurangan-kekurangan lainnya (SIM, STNK/kelengkapan kendaraan) (bila memilih sidang).

D.    Pemidanaan dalam Sidang Acara Cepat Tilang
            Pidana Denda, pasal 273 Ayat (1) KUHAP “jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat (Tipiring dan Lantas) yang harus seketika dilunasi”, yang dalam SEMA No.22 Tahun 1983 disebutkan harus diartikan:
1.      Apabila terdakwa atau kuasanya hadir, maka pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan diucapkan;
2.      Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan diberitahukan oleh jaksa kepada terpidana;
            Pidana Kurungan, guna mendukung usaha POLRI menekan kecelakaan lalu lintas yang umumnya berawal dari pelanggaran lalu lintas, memberikan dampak yang lebih nyata terhadap kebutuhan masyarakat, dan timbulnya efek jera, SEMA No.3 Tahun 1989 mengamanatkan untuk memperhatikan dan memperhitungkan penjatuhan pidana kurungan sebagaiman diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU No.3 Tahun 1965 tentang LLAJR, terhadap pelanggaran lalu lintas tertentu, yaitu:
1.      Pelanggaran berulang, yaitu pelanggaran yang dilakukan pengemudi dimana saat melanggar masih memegang formulir tilang atau form L.101/L.102 (menunggu proses peradilan);
2.      Pelanggaran yang berbahaya, yang mengancam keamanan dan meresahkan pemakai jalan lainnya;
3.      Pelanggaran oleh pengemudi angkutan umum, kendaraan bermotor yang membahayakan keselamatan penumpang dan barang;
4.      Pelanggaran lalu lintas lain yang menurut pertimbangan hakim patut dijatuhi kurungan.
            Untuk mencegah kesulitan dalam eksekusi, setiap putusan mencantumkan pidana denda hendaknya selalu disertai dengan alternatif pidana kurungan penganti denda. (Mekehjapol 1992:37)  

E.     Teknik Pemeriksaan di Persidangan Tilang
1.            Sidang dipimpin oleh hakim tunggal dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum tanpa dihadiri Jaksa;
2.            Terdakwa dipanggil masuk satu persatu, lalu diperiksa identitasnya;
3.            Beritahukan/ jelaskan perbuatan pidan yang didakwakan kepda terdakwa dan pasal undang-undang yang dilanggarnya (dapat dilihat dari bunyi surat pengantar pelimpahan perkara Penyidik maupun dalam lembar surat tilang);
4.            Hakim setelah menanyakan pelanggaran apa yang dilakukan terdakwa lalu mencocokkan dan memperlihatkan barang bukti (berupa SIM, STNK, atau ranmor) kepada pelanggar;
5.            Sesudah selesai, hakim memberitahukan ancaman pidana atas tindak pidana yang didakwakan kepda terdakwa; (hali ini dilakukan karena tidak ada acara tuntutan/ Requisitoir dari Jaksa Penuntut Umum)
6.      Hakum harus memberi kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan (atau permohonan) sebelum menjatuhkan putusan;
7.      Selanjutnya hakim menjatuhkan putusannya berupa pidana denda atau kurungan yang besarnya ditetapkan pada hari sidang hari itu juga.
      Jika dihukum denda, maka harus dibayar seketika itu juga disertai pembayaran biaya perkara yang langsung dapat diterima oleh petugas yang mewakili kejaksaan sebagai eksekutor. Karena sesuai dengan Pasal 1 butir 6, Pasal 215, dan 270 KUHAP, pelaksanaan putusan dilaksanakan oleh Jaksa;
·         Pengembalian barang bukti dalam sidang acara cepat dapat dilakukan dalam sidang oleh hakim seketika setelah diucapkan putusan setelah pidana denda dan ongkos perkara dilunasi/dibayar.
·         Semua denda maupun ongkos perkara yang telah diputusakan oleh Hakim seluruhnya wajib segera disetorkan ke kas Negara oleh Kejaksaan selaku eksekutor.

F.     Proses Persidangan
            Sidang tilang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit. Daftarkan diri sebagai peserta sidang dengan menyerahkan kartu tilang ke loket panitia tilang. Setelah memberikan surat tilang ke loket dan memilih untuk ikut sidang, maka setelah itu akan mendapat kartu nomor urut. Ketika persidangan dimulai, setiap surat tilang yang dikumpulkan petugas dipanggil satu per satu. Kemudian didudukan dibangku terdakwa, dibacakan jumlah denda oleh hakim dan persidangan pun selesai. Di luar ruang sidang hanya tinggal membayar denda di loket pembayaran.


Kesimpulan
            Tilang, singkatan dari Bukti Pelanggaran merupakan tindakan langsung terhadap pelanggaran lalu lintas yang menjadi salah satu bentuk penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan Polri. Pelanggaran lalu lintas (tilang) merupakan kasus dalam ruang lingkup hukum pidana yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Setelah Pelanggar dinyatakan bersalah karena melanggar Peraturan Lalu Lintas, oleh Petugas ( Polisi/Polantas) pelanggaran tersebut dicatat dalam Berita Acara Singkat yang namanya TILANG (Bukti Pelanggaran). Sidang tilang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit.


Monday, 9 July 2012

Lirik Lagu

With All I Am


Into your hand
I commit again
With all I am
For you Lord

You hold my world
In the palm of your hand
And I'm yours forever

CHORUS
Jesus I believe in you
Jesus I belong to you
You're the reason that I live
The reason that I sing
with all I am

I'll walk with you
Wherever you go
Through tears and joy
I'll trust in you

And I will live
In all of your ways and
Your promises forever

CHORUS

I will worship I will worship you forever

SOAL UAS HTLN

1.                  Perbedaan proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden sebelum perubahan UUD 1945 dan sesudah perubahan UUD 1945
Proses Pemberhentian Presiden/ Wakil Presiden menurut UUD 1945
Sebelum Amandemen
UUD 1945 sebelum perubahan jelas tidak mem­berikan atu­ran ter­perinci mengenai pemakzulan presiden. Satu-satunya keten­tuan implisit mengatur ke­mung­kinan pemberhentian presiden di tengah masa jaba­tannya ada pada Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewa­ji­ban­nya dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jaba­tannya.” Yang hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden.
Tidak adanya pengaturan mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 1945.
Dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII Alinea ketiga, ditentukan: “Jika De­wan menganggap bahwa Presiden sungguh me­lang­gar haluan nega­ra yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Maje­lis Permu­sya­waratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa memin­ta pertanggungan jawab Presiden.” Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Si­dang Istimewa ini diatur dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 1978 Jo. Ketetapan MPR No. VII Tahun 1973.
Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa Presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan impeachment presiden. Bila MPR setuju, presiden harus berhenti.
Akan tetapi, tidak ada aturan di bagian manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa konsekwensi dari sidang istimewa adalah pemberhetian Presiden. Dasar alasan pemberhentian ini, menurut pendapat beberapa ahli hukum tata negara mengandung pengertian Presiden diberhentikan karena adanya alasan politik bukan yuridis.
Sesudah Amandemen
Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 ini merupakan payung konstitusional bagi alasan pemberhentian Presiden,
Dari ketentuan tersebut nyatalah bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Di samping itu pasal tersebut mengatur secara limitatif jenis pelanggaran apa yang dapat menyebabkan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan. Keberadaan Pasal 7A bertujuan untuk menghilangkan multitafsir dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
            Prosedur pemberhentian Presiden melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan : “…………………….”
Setelah amandemen, proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih panjang, yakni dengan adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang namanya “Mahkamah Konsitusi”, lembaga mana tidak terdapat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen. Dengan adanya MK di maksud, menunjukkan bahwa di Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menganut sistem campuran, yaitu sistem “impeachment” dan “forum previlegiatum”.

2.                  a. Apabila MPR bukan dijadikan institusi tersendiri, tetapi hanya badan “ad-hoc” yang baru aktif manakala DPR dan DPD melakukan “joint session” maka konsekuensinya adalah:
MPR tidak mempunyai pimpinan sendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada sidang gabungan tersebut. Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru, MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga tidak lagi bersifat permanen. MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya tidak lagi terus menerus atau rutin. Kegiatan MPR yang bersifat rutin hanya satu yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali. Sedangkan kegiatan lainnya terkait dengan tugas dan kewenangan yang tidak terjadwal secara rutin.
Jika MPR tidak lagi bersifat rutin atau permanen, sudah seyogyanya MPR tidak memerlukan alat-alat kelengkapan yang bersifat permanen. Misalnya, MPR tidak memerlukan Badan Pekerja yang bersifat tetap, dan juga MPR tidak memerlukan perangkat Sekretariat Jenderal yang tetap. Demikian pula dengan organ Pimpinan MPR yang bersifat permanen juga tidak lagi diperlukan.
Struktur yang tidak permanen ini juga berpengaruh pada beban anggaran yang tidak terlalu membebani APBN (penghematan).
Dengan demikan Indonesia menganut sistem bicameral penuh atau murni di Parlemen kita, tinggal DPR dan DPD saja. MPR dibubarkan dan dianggap sebagai joint session setiap 5 tahun sekali saja.
Konsekuensi lain yang akan terjadi apabila perubahan terhadap kelembagaan MPR adalah  juga akan bersinggungan dengan lembaga lain, misalnya hubungan antara MPR dengan Presiden dan Wakil Presiden; MPR dengan DPD; MPR dengan DPD dan DPR.

b.  Bila hal di atas terjadi, maka resiko terhadap kedudukan DPR dan DPD serta rumusan UUD 1945 sendiri adalah
DPD menjadi  kamar baru di dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kedua kamar yang ada yaitu DPR dan DPD mempunyai wewenang konstitusional yang berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD.
Dengan sistem dua kamar, sesungguhnya, DPR mewakili rakyat melalui partai, DPD mewakili daerah melalui individu. DPR adalah perwakilan politik, DPD adalah perwakilan ruang.
Peran dan fungsi MPR yang mewakili kekuasaan Negara berubah menjadi majelis permusyawaratan DPR dan DPD, yang mewakili kepentingan Rakyat. Sedangkan Kedudukan DPR dan DPD masih tetap sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Dengan kejadian tersebut, Indonesia jelas menganut weak bicameralism. Alasannya adalah wewenang konstitusional antara DPR dan DPD itu berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD. Selain itu, DPD merupakan wakil dari utusan daerah. Sedangkan seluruh persidangan joint session akan dipimpin secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD.
UUD 1945 sendiri juga tidak mengamanatkan MPR dibentuk sebagai lembaga permanen. Oleh karena itu untuk mengubah posisi MPR tidak memerlukan amandemen melainkan cukup hanya merubah UU Susduk (UU Susunan dan Kedudukan) MPR, DPR, DPD dan DPRD saja.

c. Jika DPR dan DPD setara, seperti halnya fungsi badan di Amerika Serikat, konsekuensi logis terhadap wewenang MK untuk menguji produk hukum MPR (yang bukan UUD) adalah:
Dengan setaranya fungsi DPR dan DPD berarti Indonesia menganut sistem strong bicameral seperti Amerika Serikat yang hanya mengganggap berlakunya dua kamar yaitu DPR dan DPD yang mempunyai fungsi yang sama. Dengan demikian secara konstitusional MPR tak bisa lagi menerbitkan produk hukumya yang dalam hal ini adalah TAP MPR. MPR secara konstitusional tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat instrumen hukum yang bersifat mengatur (regelling) karena kedudukan MPR dalam hal  ini hanya sebagai badan ad hoc saja.
Dengan demikan, MK tidak mempunyai konsekuensi terhadap hal ini. Sedangkan terhadap produk hukumnya yang sudah berlaku berupa Ketetapan MPR dapat dilakukan pengujian oleh lembaga Negara lainnya yang berwenang sebagai pengawal konstitusi, dalam hal ini adalah MK.
Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD (pasal 23 UUD 1945) karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi.


Makalah ASPID "Penghapusan Pidana dan Penuntutan"

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak terdapat sesuatu unsur schuld.
            Keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan “penuntutan”  sedang keadaan- keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut ”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman. Keadaan-keadaan khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar dalam kalangan masyarakat. Apa yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan tersebut harus disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan atau dasar dari penghapusan penuntutan dan alasan atau dasar dari penghapusan pidana.

1.2 Identifikasi Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan alasan penghapusan pidana dan penghapusan penuntutan?
1.2.2 Apakah perbedaan dari keduanya?
1.2.3 Apakah alasan dari penghapusan pidana dan penghapusan penuntutan?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Perbedaan Alasan Penghapusan Kewenangan Pemidanaan dan Penghapusan Kewenangan Penuntutan
Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: Seandainya penuntut umum tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 KUHP.
            Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti disebut di muka, jika suatu perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut umum tetap dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan menjadi terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsver volging).[1]
            Di sinilah letak perbedaan antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan pidana, yaitu pada putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking). Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah kasasi. Sebaliknya, upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa suatu tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).
            Menurut Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu merupakan dasar peniadaan penuntutan ataukah dasar peniadaan pidana, karena istilah yang dipakai oleh pembuat undang-undang tidak selalu jelas.
            Sering pula sulit untuk dibedakan apakah sesuatu di dalam rumusan merupakan unsur (element) ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau feit d’excuse.
            Kalau dasar peniadaan pidana menghilangkan “melawan hukum” maka disebut dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), kalau hanya menghilangkan pertanggungjawaban atau kesalahan disebut alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
            Jonkers memberikan tanda perbedaan, bahwa strafuitsluitingsgronden adalah pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum.

2.2 Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
            Alasan-alasan peniadaan pidana (strafuitsluitingsgronden) adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumasan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana.
            Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok, yaitu yang tecantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin.
            Yang tercantum di dalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang khusus, tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku utuk rumusan-rumusan delik itu saja.
Rincian yang umum terdapat di dalam:
1.       Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan.
2.       Pasal 48: daya paksa.
3.       Pasal 49: ayat (1) pemebelaan terpaksa.
4.       Pasal 49: ayat (2) pemebelaan terpaksa yang melampaui batas.
5.       Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah.
6.       Pasal 51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.
7.       Pasal 51: ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu dengan itiket baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
            Yang khusus, yaitu yang tercantum di dalam pasal-pasal terkait seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk delik dalam Pasal 164 dan 165, Pasal 221 ayat (2).
            Hazewinkel – Suringa menyebutkan pula adanya dasar peniadaan pidana yang murni. Ia memberi contoh Pasal 163 bis ayat (2) KUHP (Artikel 134 bis ayat (2) N. WvS).
            Ia menyebutkan pula dasar peniadaan pidana yang murni yang tidak tertulis, yaitu putusan B. R.V. C 24 Juni 1946, yang mengenai “hal tidak dipidana” didasarkan – bukan pada daya paksa atau avas – tetapi pada keharusan menghindari “berkelebihannya hukum pidana” (overspanning van het strafrecht).[2]
            Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang juga dapat dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya “tiada pidana tanpa kesalahan” dan “tiada melawan hukum secara materiel”.
            Yang khusus, mengenai kewenagan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu) misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain.
            Alasan peniadaan pidana di luar undang-undang atau yang tidak tertulis dapat dibagi pula atas “yang merupakan dasar pembenaran (tidak ada melawan hukum) merupakan segi luar dari pembuat atau faktor objektif dan “yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan) merupakan segi dalam dari pembuat atau faktor subjektif.
   Kedua istilah “dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), dan dasar pemaaf” (schulduitsluitingsgronden) sangat penting bagi acara pidana, sebab apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum.
            Pembedaan antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini berasal dari sarjana Jerman Von Liszt dan sarjana Perancis Mariauel.[3]
            MvT (Memori Penjelasan) tidak mengadakan pembagian seperti itu, semuanya dari Pasal 48-51 KUHP dasar segi luar tidak dapat dipertanggungjawakan dan sebagai lawannya merupakan segi dalam (terdapat dalam bathin terdakwa) hal tidak dipertanggungjawakan seperti pasal 44 KUHP.
            Tetapi dalam teori pembagian yang dilakukan MvT ini tidak ada yang memakainya, sebab tidak tepat, yaitu di antara alasan-alasan yang di luar ada yang lebih tepat jika dimasukkan dalam alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa.
            Jadi, semuanya merupakan dasar pemaaf (Schulduitsluitingsgronden). Vos menyatakan itu kurang tepat, karena pasal 50 KUHP pasti bukan menghapus hal dapat dipertanggungjawabkan pembuat terhadap perbuatan tetapi juga menghapus hal melawan hukum.
            Menurut Pompe yang disebut di dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan Pasal 51 ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang, sevagai dasar pembenar (rechtvaardingsgronden) maupun dasar pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
            Oleh karena itu, Vos mengatakan barang kali hal itu jangan disebut dasar pemaaf, tetapi peniadaan pidan yang subjektif (subjektieve strafuitsluitingsgrond) yang mencakup Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (2).[4]
            Meskipun belum terdapat kesatuan pendapat , akan tetapi dapat dibuat inventarisai daripada ojectieve/sujectieve strafuitsluitingsgronden seperti pada susunan berikut di bawah ini:
Rechtvaardigingsgronden (alasan pembenar) diperinci menjadi:
1.      Di dalam aturan umum (algemene deel strafuitsluitingsgronden) yang terdiri atas, overmacht jenis noodtoestand pasal 48; noodweer pasal 49 ayat 1; wettelijk voorschrift pasal 50; evoegd gegeven amtelijk evel (berwenang) pasal 51 ayat 1;
2.      Di dalam ketentuan delict khusus (ijzondere deel strafuitsluitingsgronden) yang terdiri atas, saksi dan dokter perkelahian tanding pasal 186 ayat 1; pencemaran pasal 310 ayat 3; fitnah pasal 314;
3.      Di luar kita undang-undang, yang terdiri atas, tuch trecht oleh orang-tua/guru/wali; beroepsrecht oleh dokter; ontreken (negatieve) van materiele weder rechtelijkheid oleh veeart-arrest 1933.
Schulduitsluitingsgroden (alasan pemaaf) diperinci menjadi:
1.      Di dalam aturan hukum yang terdiri atas, ontoerekkeningsvataarheid pasal 44; overmacht jenis noodtoestand-exces pasal 48; noorweerexces pasal 49 ayat 2; onevoegd gegeven amtelijk evel (tidak wenang) pasal 51 ayat 2;
2.      Di dalam ketentuan delict khusus yang terdiri atas, pasal 110 ayat 4; 163 bis ayat 2; 221 ayat 2; 464 ayat 2.
3.      Di luar kita undang-undang yang terdiri atas, afwezigheid van alle schuld (a.v.a.s.); putative strafuitsluitingsgronde.

      2.2.1 Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan
            Pasal 44 yang dikaitkan dengan hal tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaarheid), terjemahan pasal itu sebagai berikut:
” Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
            Dapat dipertanggungjawabkan terdakwa berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam Pasal 44 itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum.
            Menurut Pompe selanjutnya dapat dipertanggungjawakan bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel) tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana.[5]
            Dari pendapatnya itulah ia mengatakan jika terjadi keraguan tentang ada tidaknya hal tidaka dapat dipertanggungjawabkan, terdakwa tetap dijatuhi pidana. Ia mengatakan bahwa jika orang setelah melakukan pemeriksaan tetap ragu tentang dapatnya dipertanggungjawabkan, maka pembuat tetap dapat dipidana.
            Pendapat Pompe ini berlawanan dengan pendapat Van Hamel (hlm, 326) , Simon I (hlm, 209), Zevenbergen (hlm, 141), Langemaijer TvS XLI (hlm, 89), Noyon – Langemaijer I (hlm, 215),  Vos (hlm, 85), Van Hattum (hlm, 339).
            Jalan pikiran Pompe mungkin didasarkan atas hal dapat dipertanggungjawabkan itu bukan bagian inti delik sehingga dianggap ada sampai dibuktikan sebaliknya, misalnya dengan keterangan psikiater.
            Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, ia berpendapat sesuai dengan ajaran dua tahap dalam hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea), kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur kesalahan.[6]
            Ia mengikuti pendapat Van Hattum bahwa jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana.
            Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi:
1.      Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.
2.      Mengerti tujuan nyata perbuatan.
3.      Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.
            Di samping Pasal 44 KUHP, yang menyebutkan dasar tidak dapat dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum dewasa) berada di bawah hypnose, tidur sambil berjalan dan lain-lain.[7]
            Tidak dapat dipertanggungjawabkan dipandang sebagai unsur kesalahan dalam arti luas atau merupakan unsur diam-diam suatu delik. Hoge Raad menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan bukanlah bagian inti (bestanddeel) delik, tetapi jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka itu menghapuskan atau meniadakan dapatnya dipidana sesuatu perbuatan. Kalau melawan hukum yang tidak ada, berarti perbuatan tidak dapat dipidana tetapi kalau tidak dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan itu tetap dapat dipidana, hanya orangnya yang tidak dapat dipidana. Yang pertama unsur subjektif dapatnya dipidana suatu perbuatan.
            Menurut pasal 44 ayat 2 hakim dapat memasukkan ke rumah sakit jiwa selama satu tahun jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa karena kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya.
            Sebelum berkembangnya psikiatri yang mulai pada tahan 1800 untuk menentukan ada tidaknya pertumuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit pada akal sehat seseorang, maka hal itu ditentukan dengan:
1)      Mungkinkah dibedakan antara baik dan buruk (the right and wrong test).
2)      Apakah hal dapat menahan dorongan hati (the irresistible impulse test) sebagai kriteria untuk menentukan dapat dipertanggungjawabkan?
3)      Dapatkah diterima bahwa orang yang hanya kurang daya pikirnya untuk membedakan dan menahan (godaan) juga dikurangi pertanggungjawabkan dan dengan dekurangi pidananya.[8]
                        Menurut Pompe, secara yuridis menurut Pasal 44 KUHP, mabuk tidak termasuk, mabuk berkaitan dengan sengaja atau kelalaian. Orang memikirkan kemabukan sebagai Culpa in Causa.[9]

2.2.2 Daya Paksa (overmacht)
            Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa.
            Menurut penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.[10]
            Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak, bisa disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama sekali.
            Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adala berlebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu sebenarnya tidak berbuat.
            Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa (overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang karena ancaman terpaksa melakukan delik. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul siva.
            Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia.
            Nootoestand (keadaan darurat) pada umumnya ada tiga bentuk, yaitu:
1)      Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2)      Pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum
3)      Pertentangan antara dua kewajiban hukum
            Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf. Ada yang mengatakan bahwa daya paksa, baik dalam arti sempit maupun dalam keadaan darurat termasuk dasar pemaaf. Alasannya ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan hukum; hanya orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian diikuti oleh Moeljatno.
            Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para ahli ini daya paksa yang tercantum di dalam pasal 48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut keadaan darurat sebagai dasar pembenar sedangkan daya paksa dalam arti sempit termasuk dalam dasar pemaaf. Termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer, hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.
            Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan darurat tidak selalu berupa dasar pembenar, kadang-kadang berupa dasar pemaaf.
            Pompe berpendapat lain lagi, yaitu daya paksa dimasukkan sebagai dasar pembenar semuanya.
            Dalam Rancangan KUHP 1991/1992 keadaan darurat itu dimasukkan sebagai alasan pembenar (Pasal 32), sedangkan daya paksa dimasukkan sebagai alasan pemaaf (Pasal 42).

2.2.3 Pembelaan Terpaksa
             Dalam rumusan Pasal 49 (1) KUHP dapat ditarik unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer) tersebut:
1)      Pembelaan itu bersifat tepaksa.
2)      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3)      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4)      Serangan itu melawan hukum.
            Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan atau keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas (subsidiariteit).
            Perbedaan antara keadaan darurat (noodtoestand) dengan bela paksa (noodweer) ialah:
1)      Dalam keadaan darurat terdapat pertentangan antara hak (recht) dengan hak (recht) sedangkan dalam bela paksa terdapat pertentangan antara hak (recht) dengan ukan hak (onrecht).
2)      Dalam keadaan darurat tidak diisyaratkan adanya serangan atau ancaman serangan, sedangkan dalam bela paksa harus ada serangan atau ancaman serangan.
3)      Dalam keadaan darurat, kepentingan hukum yang dibela tidak dibatasi sedangkan dalam bela paksa kepentingan hukum yang dibela dibatasi.
4)      Sifat dari keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari para sarjana, ada yang berpendapat sebagai alasan pembenar dan ada pula yang berpendapat sebagai alasan pemaaaf, sedangkan dalam bela paksa para sarjana memandang sebagai alasan pembenar.

2.2.4 Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
            Diatur dalam pasal 49 ayat (2).
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan tepaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain.
            Perbedaannya ialah:
-          pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
-          maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
-          Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
            Melampaui batas pembelaan yang pelu ada dua macam. Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat diserang. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.

2.2.5 Menjalankan Ketentuan Undang-undang
            Pasal 50 KUHP menyatakan (terjemahan):
            “Barang siapa yang malakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”
            Mula-mula Hoge Raad mengartikan undang-undang dalam arti formal kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang menurut UUD atau undang-undang (HR 26 Juni 1899 W7307; 30 Nov. 1914, N.J. 1915, 282, W9747).
            Menurut Pompe, ketentuan undang-undang meliputi peraturan (verordening) dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang untuk itu menurut undang-undang.
            Ada pula yang menyatakan antara lain Hazewinkel-Suringa, bahwa ketentuan pasal 50 ini sebagai dasar pembenaran berkelebihan (overbodig), karena bagi orang yang menjalankan ketentuan undang-undang dengan sendirinya tidak melawan hukum.
            Menurut Hoge Raad14 Oktober 1940, 1961 No.165 untuk penerapan Pasal 50 KUHP diisyaratkan pelaksanaan kewajiban berdasarkan undang-undang.
            Menurut Hazewinkel-Suringa, kata feit (perbuatan) di dalam pasl 50 berarti perbuatan yang memenuhi isi delik.
            Mengenai arti perkataan “ketentuan/ peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam jurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formil maupun materiel, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pemuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang wenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.
            Perbuatan seseorang yang melaksanakan ketentuan undang-undang itu tidak bersifat melawan hukum, maka ketentuan Pasal 50 KUHP itu adalah sebagai alasan pembenar.

2.2.6 Menjalankan Perintah Jabatan
            Pasal 51 menyatakan:
(1)   Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2)   Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenag dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.
Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila ,e,enuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan suordinasi. Hubungan itu harus bersifat hukum publik.
2)      Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat publik tersebut.
3)      Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
            Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1)      Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu dating dari yang berwenang.
2)      Syarat objektif: pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
            Pasal 51 ayat (1) termasuk dasar pembenar, karena unsur melawan hukum tidak ada sedangkan pasal 51 ayat (2) masuk dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak bersalah karena ia beritikad baik menginra menjalankan perintah pejabat yang berwenang, padahal tidak.

2.2.7 Pembagian Lain dari Alasan Penghapusan Pidana
            Alasan penghapusan dapat pula terjadi karena hal-hal di luar ketentuan undang-undang yang sudah diakui oleh ilmu pengetahuan hukum pidana. Dasar alasan penghapusan pidana di luar undang-undang semacam itu dapat diadakan pembagian yaitu:
a.       Alasan penghapusan pidana yang sudah dikenal dalam jurisprudensi, terdiri atas:
1)      Het ontbreken van de materiele wederrechtelijkheid (sifat melawan hukum materiel fungsi negatif) seperti veeart arrest 1933.
2)      Afwezigheid va alle schuld (tiada kesalahan/alasan pemaaf), seperti water en melk-arrest 1916.
b.      Alasan penghapusan pidana yang mempergunakan dasar; rechtvaardigingsgronden, terdiri atas:
(1)   Tuchtrecht (hukum disiplin pendidikan)
(2)   Toestemming (persetujuan antara pihak)
(3)   Boreeprecht (hukum karena jabatan)

2.3 Dasar Peniadaan Penuntutan
            Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas :
I.       Tidak ada pengaduan pada delik aduan.
II.    Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang sama (ne is in idem) tercantum dalam pasal 76 KUHP
III. Terdakwa meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP.
IV. Lewat waktu (verjaring), tercantum dalam pasal 78 KUHP.
V.    Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process).
VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (undang-undang peradilan anak).

I.       Tidak Ada Pengaduan pada Delik Aduan
            Beberapa pasal di dalam KUHP dan di luar KUHP, mensyaratkan adanya pengaduan untuk dilakukan penuntutan. Beberapa pasal di dalam KUHP yang merupakan delik aduan, antara lain: penghinaan atau pencemaran nama baik Pasal 310 KUHP dan seterusnya. Akan tetapi jika penghinaan dilakukan terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan jabatannya bukan delik aduan berdasarkan pasal 319 jo. Pasal 316 KUHP, permukahan (overspel) Pasal 284 KUHP, dan pengancaman Pasal 369 KUHP. Delik aduan diluar KUHP misalnya pelanggaran terhadap hak cipta.
            Delik aduan ada dua macam, delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Delik aduan mutlak artinya pada dasarnya delik itu memang delik aduan, misalnya Pasal 310 KUHP dan Pasal 284 KUHP. Delik aduan relatif artinya pada dasarnya delik itu bukan delik aduan, misalnya pencurian.
            Pada delik aduan yang berhak mengadu ialah orang yang terhadapnya delik dilakukan atau korban. Ada pengecualian dalam hal ini, misalnya pada Pasal 332 KUHP (melarikan perempuan).
            Pengaduan termasuk pada delik penyertaan. Misalnya dalam hal pembantu (Pasal 56 KUHP) melakukan pembantuan pada delik aduan, maka penuntutan atasnya juga harus dengan adanya pengaduan.
            Pengaduan dapat dilakukan oleh orang lain (diwakili) yang tercantum di dalam pasal 72 KUHP.
            Selanjutnya Pasal 73 mengatur, dalam hal yang berhak mengadu meninggal dunia dalam tenggang waktu pengaduan, maka yang berhak mengadu ialah orang tuanya, anaknya atau suami (istri) yang masih hidup kecuali kalau yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.
            Tenggat waktu pengaduan ialah enam bulan sejak yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan (Pasal 74).
            Pengaduan dapat ditarik dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan  diajukan.

II.    Tidak Dua Kali Penuntutan Atas Orang dan Perbuatan yang Sama (Ne Bis In Idem)
Ne bis in idem diatus dalam Pasal 76 KUHP. Ne bis in idem berkaitan dengan putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
            Ada beberapa dasar ne is in idem. Dasar sosialnya ialah jaminan kepastian hukum kepada terdakwa sebagai anggota masyarakat. Yang pertama ialah mencegah pertanggungjawaban ganda (nemo debet bis in idem puniri). Mencegah penuntutan ganda.
            Yang menjadi kata kunci dalam hal ini ialah apa yang dimaksud dengan perbuatan itu juga (hetzelfde feit).
           
III. Terdakwa Meninggal Dunia
            Berdasarkan pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia. Ada tiga kemungkinan kata Remmelink menyangkut tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Apabila tersangka meninggal dunia pada saat pemriksaan pendahuluan ( vooronderzoek), maka penuntut umum (OM) atau Rechter Commissaris (RC) menghentikan campur tangan. Jika dakwaan terlanjur diajukan, maka dakwaan dianggap gugur. Jika terlanjur pemeriksaan pengadilan telah dimulai, maka penuntut umum berusaha untuk mengakhiri perkara dengan menetapkan tidak dapat diterimanya dakwaan.[11]
            Di Indonesia (dan Nederland) ada pengecualian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 16 UU No. 7 (drt) Tahun 1955 (Pasal 16 WED Nederland 1950), bagi terdakwa yang meninggal dunia dapat dikenakan perampasan arang yang telah disita.
            Begitu pula dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 38 Ayat (5).

IV. Lewat Waktu (Verjaring)
            Pasal 78 KUHP mengatur tentang lewat waktu:
Ke-1: mengatur semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun.
Ke-2: mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau pidan penjara paling lama tiga tahun sesudah enam tahun.
Ke-3: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun sesudah dua belas tahun.
Ke-4: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
            Ada pengecualian dalam Statuta Roma mengenai International Criminal Court, tidak ada lewat waktu (limitation) bagi empat jenis kejahatan: genosida, pelanggaran berat HAM, agresi dan kejahatan perang.
            Menurut Remmelink, jika dikaitkan dengan jenis jus puniendi ( kewenangan mengajukan penuntutan) yang diberikan kepada penuntut umum pada tenggat waktu sebenarnya bukan kondisi serta merta.
            Pasal 79 mengatur tentang mulai berlakunya tenggat lewat waktu, yaitu pada hari sesudah perbuatan dilakukan. Ada pengecualian, yaitu mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggat waktu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang palsu atau mata uang yang dirusak digunakan. Mengenai kejahatan terhadap kemerdekaan orang (Pasal 329-330, dan tenggat waktu mulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena (korban) oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
            Tenggat lewat waktu delik pelanggaran ( Pasal 556 sampai dengan Pasal 558) diatur sendiri.
            Lewat waktu berhenti jika ada tindakan penuntutan, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah di beritahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum.

V.    Penyelesaian di Luar Acara (Afdoening Buiten Process) Tenggat Lewat Waktu Baru
            Yang dikenal dalam KUHP hanya afkoop (Pasal 82 KUHP) yang mengatakan jika suatu delik diancam dengan pidana hanya denda, maka dapat dihindari penuntutan dengan membayar langsung maksimum denda.  
            Ada dua bentuk yaitu submissie dan compotitie. Dengan atau melalui submissive terdakwa dan organ penuntut umum memaparkan persoalan ke hadapan hakim. Submissive tercantum dalam Pasal 74 Ned. WvS (KUHP Belanda). Tidak terdapat pidananya dalam KUHP Indonesia.
            Bentuk kedua adalah compositie yaitu penghentian penuntutan dengan membayar uang tertentu.
            Penghentian penuntutan dengan syarat ganti kerugian kepada korban termasuk peradilan restorative (restorative justice). Ini berarti dipentingkan pemulihan keadaan akibat kejahatan yang terjadi.

VI. Anak yang Belum Berumur 8 Tahun Tidak Dapat Dituntut
            Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 4 ayat (1) mengatakan: “batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur mencapai umur 18 tahun dan belum menikah.”

 Alasan Penghapusan Penuntutan Diluar Undang-Undang
            Alasan yang tersebut di atas ini adalah alasan-alasan yang dicantumkan dalam KUHPidana. Di luar KUHPidana masih ada beberapa alasan-alasan semacam itu, yaitu:
a.       Grasi – menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman.
b.      Abolisi – menggugurkan hak menuntut hukuman.
c.       Amnesti – menggugurkan baik hak menuntut hukuman maupun menjalani hukuman.
            Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain:
a.       kepentingan keluarga dari yang terhukum.
b.      yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
c.       yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
d.      yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.           
            Amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-undang Darurat tentang Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan abolisi itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.  Mengenai rehabilitasi, yaitu mengembalikan yang terhukum pada kedudukan sosial yang semula, belum ada peraturan. 

2.4 Dasar Peniadaan Pelaksanaan Pidana
1.      Terpidana Meninggal Dunia
            Hal ini diatur dalam Pasal 83 KUHP. Denda dan penyitaan (perampasan) tetap dieksekusi dengan cara dikompensasikan dengan benda-benda terpidana yang mati tersebut.
            Ada pengecualian, yaitu dalam perkara tindak pidana ekonomi berdasarkan Pasal 16 UUTPE walaupun di situ orang yang tidak dikenal dan meninggal dunia artinya belum ada putusan hakimtentu eksekusi perampasan tetap dapat dilakukan begitu juga dengan delik korupsi.

2.      Lewat Waktu (Verjaring)
            Pasal 84 KUHP mengatur tentang lewat waktu pelaksanaan pidana. Tenggat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun.
            Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun. Untuk kejahatan lain sama dengan tenggat waktu penuntutan ditambah dengan sepertiga.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan “penuntutan”  sedang keadaan- keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut ”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Alasan penghapusan pidana yang umum terdapat di dalam: Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan; Pasal 48: daya paksa; Pasal 49: ayat (1) pembelaan terpaksa; Pasal 49: ayat (2) pemebelaan terpaksa yang melampaui batas; Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah; Pasal 51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang; Pasal 51: ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika awahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
            Yang khusus, yaitu yang tercantum di dalam pasal-pasal terkait seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 166 untuk delik dalam Pasal 221 ayat (2).
            Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang juga dapat dibagi atas yang umum dan yang khusus. Yang umum misalnya “tiada pidana tanpa kesalahan” dan “tiada melawan hokum s
            Yang khusus, mengenai kewenagan-kewenangan tertentu (menjalankan pencaharian tertentu) misalnya pekerjaan dokter, olahraga seperti tinju dan lain-lain.
            Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas : Tidak ada pengaduan pada delik aduan; Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang sama (ne is in idem) tercantum dalam pasal 76 KUHP; Terdakwa meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP; Lewat waktu (verjaring), tercantum dalam pasal 78 KUHP; Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process); Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (undang-undang peradilan anak).
            Alasan penghapusan penuntutan di luar KUHPidana yaitu :Grasi, Abolisi dan Amnesti.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya : Jakarta.
E.Y. Kanter, S.H. & S.R. Sianturi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 2002, Storia Grafika : Jakarta
Hamzah, Andi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, PT Rineka Cipta : Jakarta.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, PT Asdi Mahasatya: Jakarta.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, PT Bumi Aksara : Jakarta.
Poernomo, Bambang, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, 1978, Ghalia Indonesia: Yogyakarta.
R. Achmad Soema Di Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982, Alumni : Bandung.
Sastrawidjaja, Sofjan, S.H., Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Penghapusan Pidana), 1995, CV Armico : Bandung.




[1] J.M. van Bemmelen, op.cit., hlm. 170.
[2] D. Hazewinkel-Suringa, op.cit., hlm.201.
[3] J.M. van Bemmelen, op.cit., hlm 149.
[4] H. B. Vos, op.cit., hlm. 150.
[5] W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191.
[6] Moeljatno, op.cit., hlm.
[7] J.E. Jonkers, op.cit., hlm.65.
[8] Van Bemmelen, op.cit., hlm. 210-211.
[9] W.P.J. Pompe, op.cit., hlm. 191 dan seterusnya.
[10] D. Hazewinkel-Suringa, op.cit., hlm. 234-235.
[11] J. Remmelink, op.cit. hlm 433


Search