1.
Perbedaan
proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden sebelum perubahan UUD 1945
dan sesudah perubahan UUD 1945
Proses
Pemberhentian Presiden/ Wakil Presiden menurut UUD 1945
Sebelum
Amandemen
UUD 1945 sebelum
perubahan jelas tidak memberikan aturan terperinci mengenai pemakzulan
presiden. Satu-satunya ketentuan implisit mengatur kemungkinan pemberhentian
presiden di tengah masa jabatannya ada pada Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika
Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.”
Yang hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil
presiden.
Tidak adanya pengaturan
mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan
terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal
tersebut dalam UUD 1945.
Dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII Alinea ketiga,
ditentukan: “Jika Dewan menganggap bahwa
Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis
itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta
pertanggungan jawab Presiden.” Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Sidang Istimewa ini diatur dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 1978 Jo. Ketetapan
MPR No. VII Tahun 1973.
Impeachment tersebut
dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa Presiden
telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap
politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR
untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk
membicarakan impeachment presiden. Bila MPR setuju, presiden harus
berhenti.
Akan tetapi, tidak ada
aturan di bagian manapun dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa
konsekwensi dari sidang istimewa adalah pemberhetian Presiden. Dasar alasan
pemberhentian ini, menurut pendapat beberapa ahli hukum tata negara mengandung
pengertian Presiden diberhentikan karena adanya alasan politik bukan yuridis.
Sesudah
Amandemen
Pasal
7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Pasal 7A Undang-Undang Dasar
1945 ini merupakan payung konstitusional bagi alasan pemberhentian Presiden,
Dari ketentuan tersebut
nyatalah bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Di samping itu
pasal tersebut mengatur secara limitatif jenis pelanggaran apa yang dapat
menyebabkan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan. Keberadaan
Pasal 7A bertujuan untuk menghilangkan multitafsir dalam pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Prosedur pemberhentian Presiden
melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan : “…………………….”
Setelah amandemen,
proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih panjang, yakni dengan
adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang namanya “Mahkamah
Konsitusi”, lembaga mana tidak terdapat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum
diamandemen. Dengan adanya MK di maksud, menunjukkan bahwa di Indonesia dalam
perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menganut sistem campuran,
yaitu sistem “impeachment” dan “forum previlegiatum”.
2.
a.
Apabila MPR bukan dijadikan institusi tersendiri, tetapi hanya badan “ad-hoc”
yang baru aktif manakala DPR dan DPD melakukan “joint session” maka konsekuensinya
adalah:
MPR
tidak mempunyai pimpinan sendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada
sidang gabungan tersebut. Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru,
MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga
tidak lagi bersifat permanen. MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai
institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya
tidak lagi terus menerus atau rutin. Kegiatan MPR yang bersifat rutin hanya
satu yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali.
Sedangkan kegiatan lainnya terkait dengan tugas dan kewenangan yang tidak
terjadwal secara rutin.
Jika
MPR tidak lagi bersifat rutin atau permanen, sudah seyogyanya MPR tidak
memerlukan alat-alat kelengkapan yang bersifat permanen. Misalnya, MPR tidak
memerlukan Badan Pekerja yang bersifat tetap, dan juga MPR tidak memerlukan
perangkat Sekretariat Jenderal yang tetap. Demikian pula dengan organ Pimpinan
MPR yang bersifat permanen juga tidak lagi diperlukan.
Struktur yang tidak
permanen ini juga berpengaruh pada beban anggaran yang tidak terlalu membebani
APBN (penghematan).
Dengan demikan
Indonesia menganut sistem bicameral penuh atau murni di Parlemen kita, tinggal
DPR dan DPD saja. MPR dibubarkan dan dianggap sebagai joint session setiap 5
tahun sekali saja.
Konsekuensi lain yang
akan terjadi apabila perubahan terhadap kelembagaan MPR adalah juga akan bersinggungan dengan lembaga lain,
misalnya hubungan antara MPR dengan Presiden dan Wakil Presiden; MPR dengan
DPD; MPR dengan DPD dan DPR.
b.
Bila
hal di atas terjadi, maka resiko terhadap kedudukan DPR dan DPD serta rumusan
UUD 1945 sendiri adalah
DPD menjadi kamar baru di dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kedua
kamar yang ada yaitu DPR dan DPD mempunyai wewenang konstitusional yang
berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD.
Dengan sistem dua
kamar, sesungguhnya, DPR mewakili rakyat melalui partai, DPD mewakili daerah
melalui individu. DPR adalah perwakilan politik, DPD adalah perwakilan ruang.
Peran dan fungsi MPR
yang mewakili kekuasaan Negara berubah menjadi majelis permusyawaratan DPR dan
DPD, yang mewakili kepentingan Rakyat. Sedangkan Kedudukan DPR dan DPD masih
tetap sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Dengan kejadian tersebut,
Indonesia jelas menganut weak bicameralism. Alasannya adalah wewenang
konstitusional antara DPR dan DPD itu berbeda. DPR mempunyai wewenang yang
lebih besar daripada DPD. Selain itu, DPD merupakan wakil dari utusan daerah. Sedangkan
seluruh persidangan joint session akan dipimpin secara bergantian oleh pimpinan
DPR dan DPD.
UUD 1945 sendiri juga
tidak mengamanatkan MPR dibentuk sebagai lembaga permanen. Oleh karena itu
untuk mengubah posisi MPR tidak memerlukan amandemen melainkan cukup hanya
merubah UU Susduk (UU Susunan dan Kedudukan) MPR, DPR, DPD dan DPRD saja.
c.
Jika DPR dan DPD setara, seperti halnya
fungsi badan di Amerika Serikat, konsekuensi logis terhadap wewenang MK untuk
menguji produk hukum MPR (yang bukan UUD) adalah:
Dengan setaranya fungsi DPR dan DPD
berarti Indonesia menganut sistem strong bicameral seperti Amerika Serikat yang
hanya mengganggap berlakunya dua kamar yaitu DPR dan DPD yang mempunyai fungsi
yang sama. Dengan demikian secara konstitusional MPR tak bisa lagi menerbitkan
produk hukumya yang dalam hal ini adalah TAP MPR. MPR secara konstitusional
tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat instrumen hukum yang bersifat
mengatur (regelling) karena kedudukan MPR dalam hal ini hanya sebagai badan ad hoc saja.
Dengan demikan, MK
tidak mempunyai konsekuensi terhadap hal ini. Sedangkan terhadap produk
hukumnya yang sudah berlaku berupa Ketetapan MPR dapat dilakukan pengujian oleh
lembaga Negara lainnya yang berwenang sebagai pengawal konstitusi, dalam hal
ini adalah MK.
Pengujian UU terhadap
TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga
tempat pengujian UU terhadap UUD (pasal 23 UUD 1945) karena TAP MPR dan
UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka
pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi.
No comments:
Post a Comment