Choose the categories.!

Wednesday, 6 March 2013

UJIAN TENGAH SEMESTER POLITIK HUKUM


1.      Politik penegakan hukum (law enforment policy) adalah kebijakan yang bersangkutan dengan:
a.    Kebijakan dibidang peradilan
b.   Kebijakan dibidang pelayanan hukum. Praktis lebih banyak dijalankan oleh Polisi.
            Kasus pengadaan alat simulator SIM merupakan kebijakan penegakan hukum di bidang pelayanan hukum yang seharusnya ditangani oleh POLRI. Tetapi karena kasus tersebut melibatkan anggota POLRI itu sendiri maka masalah tersebut perlu ditangani oleh pihak lain yang dalam hal ini adalah KPK.
        Sebelumnya memang untuk penyidikan kasus-kasus korupsi di negeri ini diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan Polri, kini ada pihak ketiga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemberantasan korupsi, yaitu KPK. Kehadiran ‘pihak ketiga’ ini tentunya menimbulkan kecemburuan dari segi kewenangan maupun prestasi, sebab KPK mampu melakukan tindakan-tindakan penangkapan maupun penyadapan kepada para tersangka koruptor, yang tentunya akan mempermudah proses penyelesaian kasus-kasus korupsi di negeri ini, baik yang berskala daerah maupun nasional.
      Perbenturan fenomena di atas inilah yang menghasilkan adanya konflik antara lembaga penegak hukum sekelas Polri dengan lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, yaitu KPK. Sejak awal kehadiran KPK, seharusnya Presiden dan perangkat hukum lain di Istana Negara mampu memberikan dukungan KPK dengan lebih pro-aktif lagi, sehingga Polri dan jajaran penegak hukum lainnya memberikan ‘ruang’ dan mampu mengambil sikap legowo terhadap kehadiran dan kinerja KPK.


2.  Politik pembentukan hukum (law making policy) adalah kebijakan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum, yang mencakup:
c.       Kebijakan pembentukan peraturan per-UU-an
d.      Kebijakan pembentukan hukum yurispudensi atau putusan hakim.
e.       Kebijakan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.
Kebijakan pembentukan hukum lebih tampak memprioritaskan hukum tertulis daripada tidak tertulis karena:
·         Hukum di Indonesia masih diwarisi oleh kebiasaan hukum Eropa Kontinental. Dengan menganut sistem hukum Eropa Kontinental maka Negara Indonesia mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sehingga politik hukum Indonesia lebih didominasi peraturan-peraturan tertulis, yang mengakibatkan tidak ada tempat bagi yurispudensi dan peraturan tidak tertulis untuk dapat berkembang. Hakim hanya sebagai terompet UU, tanpa memperhatikan nilai-nilai dan perasaan keyakinan hukum di masyarakat.
·         Hukum adat hanya dijadikan politik hukum permanent, artinya hukum adat hanya dijadikan acuan.
Contoh: UU No. 5/ 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria) à Tap MPR No. IX / 2002 à kebijakan Land Reform atau reformasi lahan. Dikenal sebagai Politik hukum bidang agraria / tanah, dengan meninggalkan peraturan warisan kolonial yang cenderung diskriminan, dan memuncul-kan konsep tanah ulayat dan hak masyarakat adat. Apabila terjadi permasalahan menyangkut tanah selama telah diatur dalam UU No. 5/ 1960 secara jelas, maka tanpa alasan apapun undang-undang tersebut harus ditegakkan karena dialah hukumnya, walaupun dalam masyarakat adat mempunyai hukumnya tersendiri.


 3. Lawrence M. Friedman, melalui pendekatan sistem hukum, menyebutkan materi muatan politik hukum ada tiga, yaitu : 
1. Struktur Hukum (Legal Structure). Khusus dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, struktur hukum meliputi : badan peradilan, badan penuntut umum (kejaksaan), badan penyidik (kepolisian), lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum, konsultan hukum, dan badan-badan penyelesaian sengketa hukum diluar badan peradilan. Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan bangunan hukum dengan wujud utamanya adalah lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum berikut sumber daya manusianya.
2. Substansi hukum(legal substance). Berkenaan dengan isi / materi hukum, termasuk sumber-sumber yang membentuk isi hukum. Substansi hukum (legal substance) adalah aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem.
3. Budaya hukum(legal culture). Berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat tentang hukum. Persepsi dan apresiasi masyarakat sangat ditentukan oleh tata nilai, keyakinan, atau sistem sosial, politik atau ekonomi yang hidup dalam masyarakat. Budaya hukum juga merupakan unsur yang penting dalam sistem hukum, karena budaya hukum memperlihatkan pemikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana hukum tersebut ditaati, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.
Ketiga komponen tersebut membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut dengan sistem.
Contoh:
Untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedman dengan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu “proses produksi” dengan menempatkan:
a) struktur diibaratkan sebagai mesin;
b) substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu; dan
c) kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
            Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang dibuat tanpa didukung dengan budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak berjalan secara efektif. Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi.
            Penjelasan Friedman tersebut menunjukan bahwa meskipun diakui bahwa struktur hukum dan substansi hukum merupakan komponen inti dari sistem hukum, namun tanpa kultur hukum sebuah sistem hukum, sekalipun dapat berjalan, namun akan terasa ‘hambar’ karena tidak disertai ‘ruh’. Kultur hukum menjadi ‘jiwa’ dalam sebuah sistem hukum, demikian sebaliknya sebuah sistem hukum dengan kultur hukum saja tanpa adanya struktur hukum dan substansi hukum tidak dapat berjalan, kerena struktur hukum dan substansi hukum adalah komponen inti dari hukum. Hal ini berarti struktur hukum dan substansi hukum merupakan ‘raga’ atau  ’badan’ dari sistem hukum dan kultur hukum menjadi ‘jiwa’ atau ’ruh’ sistem hukum.



1 comment:

Search