BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi
merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan
Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia
menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang
diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar
sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada
tahun 2002.
Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat
kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang
secara eksplisit mengatur mengenai pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/ atau
Wakil Presiden tersebut disebutkan secara terbatas dalam konstitusi, yaitu
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau
Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan
Ketiga UUD 1945.
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifay yuridis dan hanya mengacu pada ketentaun normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Mekanisme
pemberhentian presiden dalam UUD 1945 setelah perubahannya yang keempat
mempunyai beberapa tingkatan dalam pelaksanaannya.
Mekanisme pemberhentian Presiden yang berdasarkan UUD 1945 setelah perubahannya
yang keempat mungkin masih belum dipahami secara seksama oleh masyarakat.
Masyarakat masih terpaku pada konsep kekuasaan presiden sebelum adanya
perubahan dalam UUD 1945.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis membuat makalah berjudul “Mekanisme
Pemberhentian Presiden”.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana mekanisme pemberhentian
Presiden dan atau Wapres sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945?
1.2.2 Bagaimana peran DPR dan DPD sebagai anggota dari MPR dalam proses impeachment?
1.2.3 Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya yang sesuai dengan
sistem ketatanegaraan Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Lembaga Kepresidenan
Sebelum perubahan,
struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap kelembagaan
kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga
puluh tujuh pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan
(pasal 4-15 dan pasal 22). Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan lain
yang tidak mungkin terlepas dari Presiden. Setelah perubahan (empat kali
perubahan), jumlah pasal yang secara langsung mengenai lembaga kepresidenan
menjadi 19 pasal dari 72 pasal (diluar tiga pasal Aturan Peralihan, dan dua
pasal Aturan Tambahan). Secara kualitatif jumlah ketentuan baru berkurang
dibandingkan ketentuan lama. Walaupun demikian, mengingat berbagai macam
alat kelengkapan negara dan hal-hal lain yang diatur dalam UUD, pengaturan
mengenai jabatan kepresidenan tetap dominan dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan lain.
UUD 1945 memberikan
kedudukan yang kuat kepada kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah
penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden
juga menjalankan kekuasaan membentuk
peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum
(grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi)dan lain sebagainya.
2.2 Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebelum
adanya Perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan
hanya mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dengan
suara terbanyak [Pasal 6 ayat (2)] dan tentang penggantian jabatan Presiden oleh
Wakil Presiden dalam hal Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8).
Ketentuan
tentang pemberhentian terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 tetapi hanya terkait
dengan Presiden, sedangkan untuk Wakil Presiden tidak ada ketentuan dalam
Penjelasan UUD 1945. Penjelasan angka VII paragraf ke-3 UUD 1945 sebelum
perubahan menyatakan:
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat.
Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer).
Kecuali anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan
Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan
menganggap bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan
oleh Undang Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis
itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar bisa memininta
pertanggungjawaban dari Presiden.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai persidangan istimewa diatur dengan Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/1978 yang menyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya dengan alasan “Presiden sungguh melanggar haluan negara yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”.[2]
2.3
Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Sesudah
Perubahan UUD 1945
Impeachment berbeda-beda
di setiap negara. Sesuai dengan sistem ketatanegaraan masing-masing dan
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang menghantarnya pada pilihan konsep
yang diterapkan saat ini. Di Amerika misalnya,
impeachment dapat diajukan terhadap seluruh pejabat publik.
Filipina, konstitusinya secara limitatif menyebutkan bahwa yang dapat
di-impeach adalah Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota (Hakim)
Mahkamah Agung, anggota Komisi Konstitusi, dan ombudsman.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa yang dapat di-impeach adalah
Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Selengkapnya Pasal ini berbunyi:
“Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.” [3]
Dengan demikian ada beberapa alasan yang menyebabkan
Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia dapat di-impeach, antara lain:
·
Terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa; pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.
·
Melakukaan perbuatan tercela.
·
Terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan Pasal 7A diatas, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapatnya. Pendapat DPR ini adalah dalam rangka melaksanakan fungsi
pengawasan yang dimilikinya.
Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkahah
Konstitusi ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Paling lama sembilan puluh hari setelah
permintaan DPR diterima, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan
memutus permintaan tersebut.
Dan apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti telah melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal7A,
maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut
kepada MPR.
Paling lama tiga puluh hari sejak usul DPR diterima,
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul tersebut.
Keputusan MPR diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dengan terlebih
dahulu memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna tersebut.
2.4
Peran DPR dan DPD Sebagai Anggota MPR dan Dalam Proses Impeachment
Mekanisme impeachment di Indonesia
harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda.
Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan
fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari hak menyatakan pendapat yang
dimiliki oleh setiap anggota DPR. Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam
alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 maka DPR
setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya mengajukan tuntutan
impeachment tersebut kepada MK.
Mengenai 3 alasan yang terdapat
dalam pasal 8 UUD 1945 juga masih terdapat berbagai pendapat. Alasan yang
pertama yakni apabila seorang Presiden mangkat atau meninggal, ia akan
digantikan oleh Wakil Presiden. Mengenai alasan ini sudah jelas, seseorang yang
dinyatakan mangkat atau meninggal secara umum sudah dapat dimengerti karena
meninggal merupakan suatu keadaan alamiah. Meninggalnya seseorang memang
merupakan peristiwa hukum, sebagaimana diketahui dalam teori, pristiwa hukum
dapat dibagi atas dua hal yakni ada yang merupakan perbuatan subyek hukum dan
ada yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum. Meninggalnya sesorang
merupakan peristiwa hukum yang bukan merupakan perbuatan subyek hukum atau
suatu keadaan tertentu.
Alasan yang kedua jika seorang
Presiden berhenti. Pengertian berhenti mengandung konotasi atas kemauan sendiri
bukan dipaksakan. Jika dilihat pendapat Jimly Asshidiqqie pengertian berhenti
jika dikaitkan dengan berhentinya Presiden Soeharto dapat diartikan sebagai
tindakan atau pernyataan mengundurkan diri sepihak karena alasan-alasan yang
dapat dipertanggung jawabkan.[10]
Sedangkan yang ketiga jika seorang
Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya maka ia diganti oleh Wakil
Presiden. Mengenai pengertian tidak dapat melakukan kewajibannya menimbulkan suatu
permasalahan, apa yang membuat seorang Presiden tidak dapat melakukan
kewajibannya. Dalam Penjelasan UUD 1945 tidak terdapat apa yang dimaksud dengan
tidak dapat melakukan kewajibannya. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak
dapat melakukan kewajibannya mengandung pengertian[11]:
1.
Jika Presiden karena suatu
sebab mengajukan permintaan berhenti/mengundurkan diri kepada MPR. Jadi dasar
hukum pemberhentiannya dari jabatan Presiden adalah Presiden tidak dapat lagi
melaksanakan kewajibannya.
2.
Jika Presiden dalam suatu
keadaan kesehatan atau keadaan lainnya yang sedemikian rupa, sehingga atas
dasar pertimbangan atau penilaiaan Dokter atau pihak yang berkompeten yang
dapat bertanggung jawab secara hukum keadaan tidak dapat dipulihkan kembali.
3.
Jika terjadi perubahan dalam
kemampuan Presiden untuk melaksanakan kewajibannya.
Alasan tidak dapat melaksanakan
kewajibannya pada beberapa negara merupakan salah satu alasan dari
pemberhentian Presiden dalam arti luas. Tetapi, walaupun termasuk dalam alasan
pemberhentian Presiden bukan merupakan pendakwaan terhadap presiden hanya
merupakan penggantian Presiden. Memang pada alasan Presiden tidak dapat
melasanakan kewajibannya diperlukan pembuktian terhadap presiden, tetapi
pembuktian tersebut bukan merupakan pendakwaan Presiden, seperti yang terjadi
apabila presiden melanggar hukum .
Banyak dimensi-dimensi berpikir yang
melingkupi arti tanggungjawab dan pertanggungjawaban, termasuk didalamnya
hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis. Oleh karena itu, timbul kesulitan
untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Hal
terpenting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung
jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia.[12]
Berdasarkan apa yang telah
dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Pasal 8 UUD 1945 tidak
mengatur pemberhentian Presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur penggantian
presiden, yakni hal terjadinya kekosongan jabatan Presiden, dengan asumsi bahwa
apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden pada masa jabatannya diganti dengan
Wakil Presiden dengan alasan seperti yang dijelaskan di atas.
Pemberhentian Presiden tidak hanya
dapat terjadi karena alasan pidana tetapi dapat pula terjadi karena alasan tatanegara.
Jika di lihat konstitusi beberapa negara, pelanggaran tatanegara (Violations of
Constitutions) merupakan alasan terjadinya impeachment berarti impeachment
tidak selalu identik dengan alasan pidana tetapi juga tatanegara. Oleh
karenanya, menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan yang dianut dalam Penjelasan UUD
1945 dan ketentuan impeachment sama-sama merupakan prosedur pemanggilan
persidangan parlemen yang terkait dengan dakwaan yang dilakukan oleh kepala
pemerintahan. Hanya saja, proses penilaian (judgment) yang mendasari pemangilan
berbeda. Jadi dapatlah dikatakan bahwa pelanggaran tatanegara dapat pula
dijadikan alasan pemberhentian Presiden seperti yang diatur dalam Penjelasan
UUD 1945.
Minimal harus ada 17 (tujuh belas)
orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya
tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar
nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat
Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.
Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR
dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah
untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan
Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna
tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan
untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.
Dalam Rapat Paripurna yang telah
ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan
pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden
diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi
diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut.
Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment
diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.
Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan
apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima
atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak
menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa
Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan
pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
Pengambilan keputusan dalam hal
tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat
Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh
Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus
didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir
dalam rapat tersebut. Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan
impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk
mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR,
DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Tahap kedua berada di tangan MK.
Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah
membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada
di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan
pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan
pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses
impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang
paripurna DPR. MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya
(kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman
pemecatan (op straffe van ontslag).[13]
Apabila MK menjatuhkan putusan
membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR
setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan
DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima
usulan tersebut. Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV
(pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI).
Di Indonesia, lembaga negara yang
mengakomodasi impeachment menurut UUD NKRI 1945 adalah DPR, MK, dan MPR. Namun
jika ditelaah lebih dalam, masih ada lembaga negara yang sebenarnya memiliki
peran dalam impeachment yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD sebagai kamar
perwakilan rakyat dalam kekuasaan legislatif negara memiliki wewenang yang jauh
di bawah/lebih lemah dari DPR, padahal kedudukan DPR dan DPD dalam konstitusi
seimbang. DPD memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya
sidang istimewa MPR dan memberikan suara terhadap penentuan berhenti atau
tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses impeachment dilakukan
di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak dapat terbentuk apalagi
untuk menyelenggarakan sidang istimewa. MPR terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[14]
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap
merupakan lembaga yang tersendiri di samping fungsinya sebagai rumah penjelmaan
rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah harus dibedakan
hakikatnya dan prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota kedua dewan itu.
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berdiri sendiri, di samping
terdiri atas kedua lembaga perwakilan itu menyebabkan struktur parlemen
Indonesia, terdiri atas tiga pilar yaitu MPR, DPR dan DPD (trikameral) yang
sama-sama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden dan pelaksana
kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.[15]
DPR melakukan pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan, termasuk segala tindakan-tindakan Presiden dalam rangka
pelaksanaan Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden telah
melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat 2 Tap MPR No.III/MPR/1978,
DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya
ditegaskan bahwa apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan
memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila
dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan oleh Presiden,
maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat meminta Majelis mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Sebenarnya lembaga negara yang
mengakomodasi impeachment tidak hanya DPR, MK, dan MPR tetapi juga DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) yang harus diberikan wewenang oleh konstitusi. DPD memiliki
peran untuk menyetujui pendapat DPR untuk diselenggarakan Sidang Istimewa MPR.
Peran DPD yang menurut penulis sangat penting ialah ketika diambil suara
mayoritas yakni 2/3 suara dari ¾ anggota MPR yang hadir dalam Sidang Istimewa.
Kita tahu bahwa MPR merupakan lembaga negara yang secara normatif berdiri
sendiri sejajar dengan DPR dan DPD, namun dalam kesehariannya MPR tidak
melakukan tugas apapun karena anggota MPR ada jika anggota DPR dan DPD
bergabung untuk menyelanggarakan sidang.
Apabila Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan
tersebut, MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan
memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi
yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil
presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah
terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk
menilai pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil
presiden tersebut.
Dalam pengambilan keputusan di
tingkat MPR ini, anggota DPD memiliki otoritas untuk menyetujui atau tidak
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya. Jika
anggota DPD yang tergabung dalam Rapat Paripurna tidak menyetujui, maka
pendapat DPR dapat dimentahkan dan proses impeachment gagal untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden dari jabatannya.
2.5 Peran
Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment
Tahapan kedua proses impeachment
berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib
memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam
persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki
inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Yang menjadi fokus perhatian dalam
proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat
DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili
Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi
obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan
memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam
rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses
impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi
peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang
dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
Dalam ayat yang berbeda dari 4
kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat
(1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan
diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat
DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Amar putusan MK atas pendapat DPR
tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu :
1.
Amar putusan MK menyatakan
bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat.
2.
Amar putusan MK menyatakan
membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan tindakan yang dituduhkan.
3.
Amar putusan MK menyatakan
bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[16]
Proses pemberhentian tersebut hanya
dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah
Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeahcment) sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia. Karena
melalui impeachment Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari jabatannya oleh Parlemen
tanpa dasar/alasan yang konstitusional. Hal ini berbeda dengan mekanisme
pemberhentian sebelumnya (pra perubahan), yakni Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan jika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Atau dengan kata lain Presiden dan/atau
Wakil Presiden kala itu dapat diberhentikan jika pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kebijakan-kebijakannya tidak diterima oleh MPR. Mekanisme
semacam ini jelas sangat kontradiktif dengan sistem presidensiil yang menghendaki
terjaminnya stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, mekanisme impeachment yang digulirkan melalui perubahan keempat Undang-Undang
Dasar merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang
stabil.
Prinsip
negara hukum yang menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang
tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim
dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran seolah dikesampingkan
dalam mekanisme impeachments sebagaimana diatur dalam Pasal 7A
sampai Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam mekanisme impeachment, putusan Mahkamah Konstitusi yang
membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat. Tidak ada satu klausul pun dalam
Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur secara eksplisit kekuatan putusan Mahkamah dalam hal ini. Ditambah
lagi dengan masih diberikannya kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna di MPR. Artinya,
putusan hukum dapat saja “dibatalkan” oleh putusan politik.
3.2 Saran
1 Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebaiknya
tidak mengutamakan keputusan politik belaka melainkan juga keputusan hukum
mengingat Indonesia merupakan negara hukum.
2. Dengan adanya putusan MK
yang tidak mengikat menunjukkan bahwa politik masih lebih diutamakan sedangkan
hukum justru dikesampingkan, sehingga sebaiknya hukum harus diletakkan sebagai
hal yang utama dan putusan MK haruslah bersifat final dan mengikat sehingga MPR
yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia hanya merupakan lembaga yang
menetapkan putusan MK tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly,
Pemberhentian dan Penggantian Presiden, 2000, Pusat Studi HTN: Jakarta.
Manan , Bagir, 2006, Lembaga
Kepresidenan, Edisi Revisi, 2006, FH UII Press: Yogyakarta.
___________, Teori dan
Politik Konstitusi, 2004, FH-UII PRESS: Yogyakarta.
Suny, Ismail,
Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, 1981, Fakultas Hukum USU: Medan.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Yusril Ihza Mahendra,
Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, 1996, Gema Insani Press: Jakarta.
[1] Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
[2] Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/1978
[3] Pasal7 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
[4] Pasal7B ayat (2) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[5] Pasal7B ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[6] Pasal7B ayat (4) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[7] Pasal7B ayat (5) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[8] Pasal7B ayat (6) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[9] Pasal7B ayat (7) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[10] Jimly Asshiddiqie,
“Pemberhentian dan Penggantian Presiden” Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000, hlm.
130.
[11] Jimly Asshiddiqie,
“Pemberhentian dan Penggantian Presiden”, Jakarta: Pusat Studi HTN, 2000 , hlm.
131-132.
[12] Ismail Suny,
Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981,
hal. 30-31.
[13] Yusril Ihza Mahendra,
Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.
102.
[14] Pasal 2 ayat (1) 1945
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[15] Jimmly Asshiddiqie,
2005:86-90
[16] Pasal 83 ayat (1), (2),
dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.