“Newmont”
FAKTA HUKUM
Kekayaan emas yang ditambang Newmont Minahasa Raya (NMR)
itu berada di Desa Ratatotok dan Desa Buyat yang berjarak sekitar 165 km arah
Barat Daya dari Kota Manado. Tahun 1800-an ditemukan emas di Lobongan yang
berjarak sekitar 2 km ke arah Timur Laut dari Desa Ratatotok.
Tahun 1850 mulai banyak orang berdatangan di tempat itu
untuk menambang emas dan menjadi warga di situ. Tahun 1887 korporasi Belanda
bernama Nederland Mynbouw Maschapai (NMM) mengambil-alih kawasan Lobongan dari
masyarakat. Setelah NMM meninggalkan kawasan itu maka masyarakat kembali
melakukan penambangan emas secara tradisional. Masyarakat juga memanfaatkan
hutan sekitarnya untuk bertani cengkeh, kelapa, buah-buahan, padi dan jagung.
Di antara mereka juga sebagai nelayan.
Selanjutnya pada zaman Orde Baru pemerintah mulai
melarang para penambang tradisional beroperasi, berkaitan dengan
ditandatanganinya kontrak karya pertambangan emas yang dilakukan pemerintah
dengan Newmont tanggal 2 Desember 1986. PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR)
adalah perusahaan tambang emas penanaman modal asing (PMA) yang merupakan anak
perusahaan Newmont Gold Company, Denver, (USA).
Kontrak Karya Newmont tersebut ditandatangani melalui
surat persetujuan Presiden RI No. B-3/Pres/11/1986. Jenis bahan galian yang diijinkan
untuk di olah adalah emas dan mineral lain kecuali migas, batubara, uranium,
dan nikel, untuk masa pengolahan selama 30 tahun terhitung mulai 2 Desember
1986.
Kontrak Karya NMR semula dengan wilayah seluas 527.448
hektar di desa Ratotok, kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara meski
selanjutnya mengalami penyusutan. Setelah dilakukan eksplorasi Newmont
menemukan deposit emas pada tahun 1988. Dari luas wilayah Kontrak Karya
tersebut - dalam sengketa pajak antara Pemerintah (Dirjen Pajak) dengan NMR -
terungkap pengakuan pihak Newmont yang menerangkan bahwa luas wilayah Kontrak
Karya yaitu 402.748 hektar dan 124.700 hektar yang merupakan luas wilayah cagar
alam (Putusan Pengadilan Pajak No. Put.04584/BPSP/M.III/18/2001).
Ketika memulai kegiatan eksplorasi tahun 1987-an NMR
belum mempunyai studi analisis mengenai dampak lingkungan (ANDAL). Pemerintah
baru mengesahkan dokumen ANDAL Newmont pada tanggal 17 Nopember 1994. Setelah
banyak pihak yang protes lalu Newmont baru merevisi dokumen pengelolaan dan
pemantauan lingkungan (RKL dan RPL) pada tahun 1999. Tahap produksi diawali
pada Juli 1995 dan pengolahan bijih dimulai Maret 1996.
Sejak tahun 1987 Newmont telah melakukan eksplorasi
dengan merusak tanah dan tanaman warga setempat. Ketika warga korban melawan
tindakan sewenang-wenang itu Newmont meminta bantuan Tim Pengendali dan
Pengawasan Investasi Daerah dan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional
Daerah (Bakorstanasda Sulawesi Utara).
Dalam melakukan penguasaan tanah warga yang menjadi area
Kontrak Karya, Newmont dibantu oleh tentara, polisi dan birokrasi sipil untuk
mengambil-alih paksa tanah yang ganti-ruginya masih menjadi sengketa, sejak
1988 sampai dengan 1994.
Sejak produksi tahun 1996, Newmont melakukan pembuangan
limbah tailing sekitar 2000 ton per hari ke dasar laut pada kedalaman 82 meter.
Tailing merupakan batuan dan tanah yang
tersisa dari suatu proses ekstraksi bijih logam, seperti bijih emas dan bijih
tembaga. Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin.
Sistem ini disebut submarine tailing disposal (STD). Namun berdasarkan catatan
departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) izin pembuangan tailing
tersebut baru diperoleh Newmont pada tahun 2000 . Di kemudian hari izin tahun
2000 itu disebut izin sementara (tafsir Newmont yang disetujui pengadilan).
Kasus pencemaran Buyat oleh NMR diawali oleh pengaduan
warga Dusun Buyat Pante, Bolaang Mongondow ketika warga mengalami gangguan
kesehatan diantaranya penyakit kulit (gatal-gatal), kejang-kejang,
benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapa bulan. Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai
ikan mati mengapung dan terdampar di pantai. Kematian misterius ikan-ikan ini
berlangsung sampai Oktober 1996. Kasus ini terulang pada bulan juli 1997.
Tanggal 9 Maret 2005, Kementerian Lingkungan Hidup RI
mengerahkan 7 (tujuh) orang Jaksa Pengacara Negara dan 3 (tiga) advokat dari
Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates untuk menggugat NMR melalui
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register perkara nomor
94/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel. Pemerintah menilai NMR telah melakukan perbuatan
melawan hukum sehingga mencemari lingkungan hidup. Disamping tindakan
pemulihan, pemerintah menggugat NMR ganti kerugian materiil sebesar
117.680.000,- USD dan imateriil sebesar Rp. 150 miliar.
Pemerintah dalam gugatannya menyatakan NMR telah
melakukan pembuangan limbah tailing tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup
sebagaimana disyaratkan pasal 18 ayat (1) PP No. 19 / 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, terhitung sejak Pebruari 2001. Berdasarkan
hasil evaluasi laporan pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan
Lingkungan (RKL/RPL) yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup pada triwulan
III/2000 dan triwulan I, III dan IV/2001, serta triwulan I/2002 ditemukan fakta
pelanggaran oleh NMR terhadap syarat mutu limbah yang dibuang ke media
lingkungan hidup berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup No.
B-1456/BAPEDAL/07/2000. Mengenai detoksifikasi, tailing NMR sebelum dibuang ke
laut juga mengandung logam berat (As, Fe, Cu, dan CN) di atas standar yang
diizinkan menurut Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000
tersebut.
Menteri Lingkungan Hidup telah melakukan evaluasi laporan
periodik pelaksanaan RKL/RPL NMR triwulan I/1999 sampai dengan triwulan IV/2001
dan menemukan fakta diantaranya: hasil analisis kualitas air tanah pada sumur
penduduk menunjukkan parameter kimiawi yang melebihi baku mutu yang telah
ditetapkan. Lokasi ‘tercemar’ tersebut disebutkan dengan kode lokasi B.09,
SP01, SP02, WB07, SW9, SW10, SW12, SW17, SW19, B, SP.
Tim penanganan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan
Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok
Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara yang dibentuk Menteri
Lingkungan Hidup yang melibatkan BPPT, Puslabfor Mabes Polri, akademisi dari
UI, Unpad, IPB, serta Universitas Sam Ratulangi, setelah melakukan penelitian
dan menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas air sumur gali, udara,
sedimen, bentos, plankton, phitoplankton dan ikan laut yang melebihi baku mutu
lingkungan sehingga berakibat pada kualitas lingkungan serta kesehatan manusia.
Tim Penanganan Kasus tersebut menemukan kadar Arsen total
rata-rata pada ikan sebesar 1,37 mg/kg yang melebihi baku mutu kadar total
Arsen yang ditetapkan Dirjen POM sebesar 1 mg/kg. Kandungan merkuri pada ikan
yang dikonsumsi penduduk Desa Buyat Pante mengakibatkan asupan merkuri harian
sebesar 82,82 % dari Tolerable Daily Intake (TDI) per-60 kg, sedangkan pada
anak-anak berbobot badan 15 kg sebesar 80,98 % dari TDI. Tingginya kadar Arsen
dan merkuri tersebut jika terus-menerus masuk terakumulasi dalam tubuh manusia
tentu akan menimbulkan penyakit bagi manusia.
Atas dasar itu pemerintah Indonesia kemudian mengajukan
gugatan hukum secara perdata maupun pidana terhadap PT. NMR dan presiden
direkturnya, Richard Bruce Ness. Mereka dituntut untuk memenuhi kewajiban clean
up selama 30 tahun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Nomor
23 Tahun 1997, juga dituntut membayar ganti rugi materiil US$ 117 juta (sekitar
Rp 1,058 triliun) dan ganti rugi imateriil Rp 150 miliar, selain tindak
penegakan hukum.
PERMASALAHAN
HUKUM
·
Bagaimana
munculnya kasus Buyat?
·
Apa
yang menjadi kendala terselesaikannya kasus Buyat?
·
Bagaimana putusan pengadilan dalam kasus
ini?
·
Mengapa pengadilan kita memilih seperti
itu? Apakah putusan pengadilan demikian itu memenuhi standard keadilan ekologis
dan sosial?
·
Apakah memang benar bahwa Newmont tidak
bersalah dan karenanya tidak layak diberikan hukuman?
PUTUSAN
Dengan ‘transaksi’ 30 juta USD antara NMR dengan
pemerintah tersebut maka gugatan pemerintah kepada NMR berhenti. Kasus publik
yang menyangkut kepentingan rakyat berubah menjadi urusan ‘perdata privat’
antara pemerintah dengan NMR.
Dalam kasus pidananya, hakim Pengadilan Negeri Manado
membebaskan terdakwa Richard B Ness dan kawan-kawan dengan pertimbangan yang
intinya bahwa asas subsidiaritas harus diterapkan dan hakim menyatakan tidak
terbukti bahwa Teluk Buyat tercemar.
Isi putusan Pengadilan Negeri
Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mnd yang membebaskan terdakwa pencemaran Teluk
Buyat tersebut menggunakan beberapa hasil riset lembaga-lembaga luar negeri,
termasuk WHO, CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organization). Hasil penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian WHO dan
National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004)
dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang dikeluarkan pada
19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk
Buyat. (Unofficial Transcript of the Ruling Read Out in Manado Court on
24-April-2007, dari Richardness.org; sesuai dengan Sukanda Husin (2009).
The New York Times (9/11/2004) membeberkan informasi
bersumber dari Mr. Moran seorang ahli di Amerika Serikat, bahwa studi CSIRO
yang dibiayai Newmont telah menemukan kandungan konsentrasi merkuri dalam
sedimen dekat dua area pembuangan limbah sebesar 446 dan 678 parts per million.
Sedangkan survei WHO, menurut Dr. Jan Speets seorang penasihat teknis WHO,
merupakan studi yang sangat dangkal dan tidak menggunakan cara yang ilmiah
untuk menentukan penyebab penyakit-penyakit di desa Buyat Pante atau apakah
teluk Buyat tercemar. Ia berkata bahwa studi yang lebih komprehensif sangat
dibutuhkan.
Hal senada disampaikan oleh Mineral Policy Institute,
Australia (31/10/2004) yang menyatakan bahwa temuan-temuan CSIRO sesungguhnya
menunjukkan bahwa sedimen di dasar Teluk Buyat telah terkontaminasi oleh limbah
tambang (tailing) dengan kandungan arsen yang mencapai 10 sampai 20 kali lipat
lebih tinggi dari acuan sedimen dasar laut Australia/Selandia Baru serta acuan
ambang batas yang mungkin menimbulkan dampak beracun (Probable toxic Effects
Level) yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan Kanada.
Sebelumnya, tahun 1999, Tim Independen terdiri dari
peneliti Pemerintah Daerah Sulawesi Utara dan Universitas Sam Ratulangi
menyimpulkan adanya pencemaran di sekitar pipa pembuangan limbah tailing
Newmont. Penelitian itu dilakukan guna merespon keluhan masyarakat sekitar
Teluk Buyat atas masalah kesehatan yang mereka derita.
Demikianlah perkara pencemaran Pantai Buyat itu begitu
dramatis. Hasil penelitian berbeda-beda dari lembaga berbeda-beda. Ada kubu
penelitian atas prakarsa pemerintah yang ditandingi hasil penelitian atas
prakarsa Newmont. Tapi pemerintah juga ambigu, malah berbalik membela Newmont.
Akhirnya pengadilan memilih hasil penelitian yang dibiayai Newmont - yang
sebenarnya kontroversial itu - dan menyatakan Teluk Buyat tidak tercemar,
Newmont tidak bersalah. Baik PT NMR maupun Richard dibebaskan dari seluruh
dakwaan.
DASAR
PERTIMBANGAN PUTUSAN
Pemerintah
Warga Dusun Buyat Pante, Bolaang Mongondow mengalami
gangguan kesehatan diantaranya penyakit kulit (gatal-gatal), kejang-kejang,
benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapa bulan.
Pemerintah dalam gugatannya menyatakan NMR telah
melakukan pembuangan limbah tailing tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup
sebagaimana disyaratkan pasal 18 ayat (1) PP No. 19 / 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, terhitung sejak Pebruari 2001. Berdasarkan
hasil evaluasi laporan pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan
Lingkungan (RKL/RPL) yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup pada triwulan
III/2000 dan triwulan I, III dan IV/2001, serta triwulan I/2002 ditemukan fakta
pelanggaran oleh NMR terhadap syarat mutu limbah yang dibuang ke media
lingkungan hidup berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000.
Mengenai detoksifikasi, tailing NMR sebelum dibuang ke laut juga mengandung
logam berat (As, Fe, Cu, dan CN) di atas standar yang diizinkan menurut Surat
Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tersebut.
Pihak
Newmont
PT. NMR menyangkal tailing sebagai
sumber pencemaran dan menuding tambang rakyat di Sungai Totok sebagai sumber
pencemaran.
Hasil penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian
WHO dan National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4
Oktober 2004) dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang
dikeluarkan pada 19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di
perairan Teluk Buyat. (Unofficial Transcript of the Ruling Read Out in Manado
Court on 24-April-2007, dari Richardness.org; sesuai dengan Sukanda Husin
(2009).
ANALISIS
Kasus Newmont ini merupakan salah-satu dari sekian
banyak bentuk kejahatan korporasi atau corporate crime yang terjadi di
Indonesia. Sudah banyak bukti yang menunjukan bahwa Multi National
Corpration (MNC) hanya memikirkan keuntungan semata, tanpa memperdulikan
lingkungan dan penduduk disekitarnya. Kebijakan investasi pemerintah yang
memberikan konsesi pada investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam
Indonesia ternyata bukan hanya menghasilkan devisa bagi negara, tetapi juga
sebaliknya telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan membawa masalah kesehatan
bagi penduduk di sekitarnya. Karena itu pemerintah perlu segera merumuskan
ketentuan perundangan yang terkait dengan kejahatan korporasi baik yang akan
membawa dampak pada keselamatan hidup manusia maupun sistem lingkungan, agar
terdapat kepastian hukum jika terjadi kasus serupa. Dengan demikian maka
pemerintah Indonesia dapat lebih berhati-hati lagi dalam memberikan konsesi
pada perusahaan asing yang hendak mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia.
Kasus Newmont ini dapat dijadikan pelajaran berharga, yang dapat dimanfaatkan
dalam mencegah dan/atau meminimisasi dampak negatif sekaligus memaksimalkan
dampak positif dari aktifitas perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia.
Berkaca dari kasus Newmont ini juga menunjukan masih
lemahnya posisi negara ketika berhadapan dengan korporasi asing yang
mendapatkan sokongan politik dari pemerintahan di negara asalnya ketika
menghadapi sengketa di negara tempat eksplorasinya. Dalam kasus ini intervensi
kekuasaan asing sangat tampak dengan adanya lobi-lobi yang dilakukan Dubes AS
untuk menggagalkan proses hukum yang dilakukan terhadap PT. NMR dan Presiden
Direkturnya, yang akhirnya dimenangkan pengadilan.
Kita dapat melihat hukum lingkungan telah dijadikan untuk
membunuh ekologi itu sendiri. Akibatnya rakyat yang menjadi korban telah
kehilangan tanah mereka dan kesehatan mereka. Di tahun 2008 Yayasan Nurani
menemukan angka kematian warga Desa Buyat Pante, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten
Minahasa Utara, meningkat 100% sejak tahun 2001. Angka kematian tersebut secara
medis tak lain akibat limbah merkuri maupun zat-zat logam berat berbahaya
lainnya. Buyat Pante berada dalam radius ratusan meter dari lokasi penempatan
limbah (tailing) Newmont Minahasa Raya yang sudah berhenti beroperasi (Gatra.com/29/11/2008).
Kasus racun Newmont ini jauh lebih mengerikan daripada
bom-bom yang meledak di Jakarta sejak era reformasi ini. Ini adalah SuperBom
Newmont yang dilemparkan kepada ekosistem yang terdapat hunian rakyat Indonesia
demi kekayaan emas. Sungguh aneh, kita ini pemilik kekayaan emas tapi diambil
orang asing dan kita justru menderita. Kekayaan negara ini malah membawa
rakyatnya nestapa. Ini sangat tidak masuk akal.
Jika kita sebagai rakyat mempunyai kesadaran bersama
untuk menolak sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan kita, termasuk
eksploitasi sumber daya alam di sekitar kita yang destruktif, mungkin kejadian
seperti ini tidak akan terulang lagi. Kita berhak menegakkan hukum kita, jika
para penegak hukum formal itu mengkhianati negara dengan cara melegalkan
pembunuhan ekologis dan menjadi pelaku korporasi.