BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi
sesuatu kepada istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian
inilah yang dinamakan mahar. Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak
menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan
itu pun sah.
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan
berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh
sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara
kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian
yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam,
melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhoan si istri. Dengan demikian,
suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya karena mahar itu apabila telah
ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar
sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai
pertanggungjawabannya di hari kemudian. Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah
dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang,
sedangkan dia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Perempuan (istri)
pun wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat
utangnya yang dipiutangnya.
Oleh karena itu, makalah ini mengangkat permasalahan tersebut
dengan judul “Persoalan Mahar yang Dihutang”.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah kedudukan Mahar dalam Pernikahan ?
1.2.2 Apa sajakah jenis-jenis Mahar dalam pernikahan ?
1.2.3 Bagaimana keabsahan perkawinan
dengan mahar diutang?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga
dipakai perkataan : “shadaq” nihlah; dan faridhah” dalam
bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[1]
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
Mahar hanya diberikan oleh calon
suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun
sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya,
meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya.
Allah SWT. Berfirman :
Berikanlah
maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisa: 4)
Dalam ayat
tersebut Allah memerintahkan memberikan mahar kepada wanita yang hendak
dinikahi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah
pernikahan. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah,
meskipun pihak wanita telah ridha untuk tidak mendapatkan mahar. Jika mahar tidak
disebutkan dalam akad nikah maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang
sesuai dengan wanita semisal dirinya.[3]
Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[4]
Jika ia telah menerima maharnya,
tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka
boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan
maharnya karena malu, takut, maka ia tidak halal menerimanya.
Allah
SWT. Berfirman :
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan dosa yang nyata? (QS An-Nisa: 20)[5]
2.2
Syarat-syarat Mahar
a. Harta/bendanya
berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak
memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuannya. Namun, apabila
mahar sedikit tetapi maemiliki nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat
c. Barangnya
bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil harta milik
orang lain tanpa izin, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan gasah tidak sah, namun
akadnya sah.
d.
Bukan barang yang tidak jelas keadannya.
2.3
Kadar (Jumlah) Mahar
Islam tidak menetapkan berapa banyak
mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada
yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya. Disamping itu, setiap masyarakat
memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, mahar diberikan
berdasarkan kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang
berlaku dimasyarakat. Bahkan, Islam membolehkan memberi mahar dengan apa saja,
asalkan bermanfat, misalnya cincin kurma, segantang kurma, atau mengajarkan
Al-Qur’an, dan sebagaimana atas kesepakatan kedua belah pihak.
Besarnya mahar fuqaha sepakat tidak
ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu
Saur, dan fuqaha MAdinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak
ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu
yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat
bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya
mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau
perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding dengan berat
emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang
mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat dirham.
Pangkal
silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
1. Ketidakjelasan
akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran,
karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun
banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang
sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar
itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu
mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.[6]
2. Adanya
pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum
hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.[7]
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan
cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya.
Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[8]
2.4 Memberi Mahar dengan Kontan dan
Utang
Pelaksanaan membayar mahar bisa
dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat
masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan
dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan hutang sebagian
yang lain. Kalau memang demikian, maka disunnahkan membayar sebagian.
Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan
disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih
dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur, berdasarkan sabda Nabi SAW.
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya.
Lalu jawabannya: saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: di manakah baju besi
Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.
Hadis di atas menunjukan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan
yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian
lebih dulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar
(dihutang), terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan
ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara
dihutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda
pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar dimuka manakala
akan menggauli istri.
Dan diantara fuqaha yang membolehkan
penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu
terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang
membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah pendapat Az-Auzali.
Perbedaan pendapat tersebut karena
apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan,
atau tidak dapat disamakan dengannya.
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat
disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh
sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat
disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar
itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.[9]
Pengaturan Mahar Dalam KHI
Pasal 33
(1) Penyerahan
mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon
mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi
hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1)
Kewajiban menyerahkan mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawinan.
(2)
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula
halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
2.5 Macam-Macam Mahar
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau
dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.[10]
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1.
Telah bercampur (bersenggama)
Allah SWT. Berfirman :
dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata.[11]
Yang
dimaksud “mengganti istri dengan istri
yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan istri yang tidak disenangi
dan menikah dengan istri yang baru.
Meskipun
menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2. Apabila
salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar
musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternuata nikahnya rusak dengan sebab-sebab
tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[12]
Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya.
Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan
belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan
dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
Abu
Hanifah meengatakan bahwa apabila suami istri sudah tinggal menyendiri dalam
pengertian yang sebenarnya, maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan.
Artinya jika suami istri berada disuatu tempat yang aman dari penglihatan
siapapun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, seperti salah seorang
berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada halangan emosi seperti
salah seorang menderita sakit sehingga tidak bisa melakukan persengamaan yang
wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah seperti ada orang ketiga
di samping mereka.
Akan
tetapi, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Abu Daud, berpendapat bahwa dengan
penentuan tabir hanya mewajibkan separoh mahar, selama tidak terjadi
persetubuhan. Demikian juga pendapat Suraih, juga Said bin Mansur. Abdul Razak
juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa, tidak wajib membayar mahar seluruhnya
sebelum terjadi persetubuhan.
b. Mahar Misil
(Sepadan)
Yaitu
mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila
tidak ada maka misil itu beralih dengan ukiran wanita lain yang sederajat
dengan dia.[13]
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
·
Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya
ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri,
atau meninggal sebelum bercampur.
·
Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan
istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
1.
Jika istri menuntut penentuan mahar
Apabila
istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat
bahwa ia berhak memperoleh mahar misil.
Akan tetapi, jika suami menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan
mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar.
Segolongan lainnya mengatakan bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena
dasar penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan.
Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.
2.
Jika suami meninggal sebelum menentukan
mahar
Apabila
suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya,
maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa,
istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri
memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang
dijadikan pegangan dikalangan pengikutnya adalah pendapat Imam Malik.
Perbedaan
itu disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dan hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. segi pertentangan qiyas dengan hadits
tersebut adalah bahwa mahar merupakan pengganti. Dan karena mahar tersebut
belum diterima, maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disamakan
dengan jual beli.
2.7
Gugur/ Rusaknya Mahar
Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri
atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau
sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar,
babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak
karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli
yang mengandung 5 persoalan pokok, yaitu :
a.
Barangnya tidk boleh dimiliki.
b.
Mahar digabungkan dengan jual beli.
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian.
d.
Cacat pada mahar.
e.
Persyaratan dalam mahar.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari
kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum
persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari islam, atau
memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan setelah dewasa
menolak dinikahan dengan suami yang dipilihkan walinya. Bagi istri seperti ini,
hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu
darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum
digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini,
gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedang mahar
sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.
Mahar
Yang dipersengketakan Suami Istri
Persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari
masalah penerimaan, seperti mahar sudah diterima atau belum, atau kadar
besarnya mahar, macamnya tau waktunya yakni mahar itu menjadi wajib.
a.
Kadar
Mahar
Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar,
misalnya: jika istri mengatakan 200 dirham sedangkan suami mengatakan 100
dirham, maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ fiqh.
Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut
terjadi sebelum dukhul, sedangkan suami mengeluarkan kata-kata yang
mirip dengan kata-kata istri dan istri juga mengatakan kata-kata yang mirip
dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan.
Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan
pegangan adalah kata-kata orang ynag bersumpah.
Apabila persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul
maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.
b.
Penerimaan
Mahar
Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu
apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah
memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan
Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan
ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat
c.
Persengketaan
mengenai Macam/ Jenis Mahar
Apabila suami misalnya berkata, “aku nikahkan kamu dengan
hamba sahaya ini sebagai mahar, “ sedangkan istri mengatakan bahwa, “aku nikahi
kamu dengan kain ini”. Menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki
bahwa, “ keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan, jika persengketaan
terjadi sesudah dukhul, maka akad nikah tetap sah dan istri memperoleh mahar
misil selama tidak lebih banyak dari jumlah yang digugat istri atau tidak
lebih sedikit dari jumlah yang diakui suami.
Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah
sebelum dukhul. Adapun kalau sesudah dukhhul maka yang dijadikan
pegangan adalah kata-kata suami. Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang
dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik
mirip dengan kata-kata istri atau tidak. Jiak kata-kata suami mirip sedang
kata-kata istri juga mirip, maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh
mahar misil.
d.
Persengketaan
mengenai waktu
Dalam masalah waktu, perbedaan pendapat bisa terjadi
berkenaan dengan tunggakan. Menurut pokok-pokok pendapat Imam Malik berdasarkan
riwayat yang terkenal darinya – yang dijadiakn pegangan dalam masalah tunggakan
adalah kata-kata orang yang berutang, karena disamakan dengan jual beli.
Perbedaan pendapat juga bisa terjadi berkenaan dengan kapankah mahar menjadi
wajib, apakah sebelum dukhul atau sesudahnya?
Bagi fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli,
maka mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul.
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah
yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib
sebelum dukhul.
Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami
memberikan mahar sebelum dukhul.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Mahar
ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada
calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada
calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar,
dan lain sebagainya).
Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang
hampir tidak mampu memberinya.
Mahar
boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar
kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan
membayar sebagian.
3.2
Saran
1. Pada
calon pasangan suami istri yang akan menikah, hendaklah melakukan musyawarah
untuk mencari kesepakatan kedua belah pihakyang berkaitan dengan masalah mahar,
apakah mahar
itu
ketika akad nikah kadar jenis, sifat, dan jumlah disebutkan atau tidak dan mahar itu
diberikan secara tunai atau hutang. Karena kesepakatan itu lebih utama untuk
menghindari kemadharatan dan mencari kemaslahatan.
2. Kepada
calon istri hendaknya jangan mempersulit mahar, karena
dalam hukum Islam telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan bahkan Rasulullah SAW
bersabda bahwa “Sebaik-baik mahar
adalah
yang paling ringan dan murah”. Karena mahar yang murah akan memberikan
berkah dalam kehidupan suami istri.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Abdurahman,
Abu, Petunjuk Praktis dan Fatwa Pernikahan, 2003,
Najla Press: Jakarta
Drs. H. Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU
Perkawinan di Indonesia, 1976, Binacipta:
Yogyakarta
Drs. H. Saidus
Syahar S.H., Undang-Undang dan Masalah
Pelaksanaannya, 1976, Alumni: Bandung
Mohd Idris
Ramulyo, S.H., M.H., Hukum Perkawinan
Islam (Suatu Analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 & Kompilasi Hukum Islam),
1999, Bumi Aksara: Jakarta
B. PERATURAN
PERUNDANGAN
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
[1] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang
Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 81.
[2]
Lihat Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu
Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman
Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 84
[3]
Abdurrahman bin Nashr as-Sa’, Manhajus
Salikiin, hal. 203
[4]
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, hlm. 94
[5] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989), hlm. 119
[6]
H. Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89
[7] Ibid
[8]
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar
al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
[9]
Abdul Rahman Ghozali.fiqh munakahat.kencana
pers.2008.hal : 90-92
[10]
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm.
185
[11]
Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit,. hlm. 119
[12] Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm.
93
No comments:
Post a Comment