Choose the categories.!

Sunday, 17 February 2013

Makalah HPWI Persoalan Mahar yang Dihutang





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Dalam melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi sesuatu kepada istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian inilah yang dinamakan mahar. Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.
            Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
            Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhoan si istri. Dengan demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kemudian. Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan dia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat utangnya yang dipiutangnya.
Oleh karena itu, makalah ini mengangkat permasalahan tersebut dengan judul “Persoalan Mahar yang Dihutang”.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah kedudukan Mahar dalam Pernikahan ?
1.2.2 Apa sajakah jenis-jenis Mahar dalam pernikahan ?
1.2.3 Bagaimana keabsahan perkawinan dengan mahar diutang?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Hukum Mahar
            Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaqnihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[1]
            Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
            Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya. Allah SWT. Berfirman :

Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisa: 4)

            Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah ridha untuk tidak mendapatkan mahar. Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita semisal dirinya.[3]
            Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[4]
            Jika ia telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka ia tidak halal menerimanya.
Allah SWT. Berfirman :

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata? (QS An-Nisa: 20)[5]

2.2 Syarat-syarat Mahar
a.   Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuannya. Namun, apabila mahar sedikit tetapi maemiliki nilai, maka tetap sah.
b.   Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
c.   Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil harta milik orang lain tanpa izin, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan gasah tidak sah, namun akadnya sah.
d.   Bukan barang yang tidak jelas keadannya.

2.3 Kadar (Jumlah) Mahar
            Islam tidak menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya. Disamping itu, setiap masyarakat memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, mahar diberikan berdasarkan kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dimasyarakat. Bahkan, Islam membolehkan memberi mahar dengan apa saja, asalkan bermanfat, misalnya cincin kurma, segantang kurma, atau mengajarkan Al-Qur’an, dan sebagaimana atas kesepakatan kedua belah pihak.
            Besarnya mahar fuqaha sepakat tidak ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
            Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Saur, dan fuqaha MAdinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
            Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding dengan berat emas dan perak tersebut.
            Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat dirham.
            Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
1.      Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.[6]
2.      Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.[7]
            Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[8]

2.4  Memberi Mahar dengan Kontan dan Utang
            Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan hutang sebagian yang lain. Kalau memang demikian, maka disunnahkan membayar sebagian.
            Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur, berdasarkan sabda Nabi SAW.

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabannya: saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: di manakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.
               Hadis di atas menunjukan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian lebih dulu.
            Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang), terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar dimuka manakala akan menggauli istri.
            Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah pendapat Az-Auzali.
            Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.
            Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.[9]

Pengaturan Mahar Dalam KHI
Pasal 33
(1)   Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)   Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 34
(1)   Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2)   Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

2.5  Macam-Macam Mahar
a.   Mahar Musamma
            Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.[10] Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1.     Telah bercampur (bersenggama)
Allah SWT. Berfirman :

dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.[11]

      Yang dimaksud “mengganti istri dengan istri yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan istri yang tidak disenangi dan menikah dengan istri yang baru.
      Meskipun menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2.   Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
      Mahar musamma  juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternuata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[12]
      Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Kemudian dalam hal khalwat  atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
      Abu Hanifah meengatakan bahwa apabila suami istri sudah tinggal menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya, maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan. Artinya jika suami istri berada disuatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, seperti salah seorang berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada halangan emosi seperti salah seorang menderita sakit sehingga tidak bisa melakukan persengamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah seperti ada orang ketiga di samping mereka.
      Akan tetapi, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Abu Daud, berpendapat bahwa dengan penentuan tabir hanya mewajibkan separoh mahar, selama tidak terjadi persetubuhan. Demikian juga pendapat Suraih, juga Said bin Mansur. Abdul Razak juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa, tidak wajib membayar mahar seluruhnya sebelum terjadi persetubuhan.
     


b.   Mahar Misil (Sepadan)
      Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan ukiran wanita lain yang sederajat dengan dia.[13]
      Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
·         Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
·         Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
1.     Jika istri menuntut penentuan mahar
      Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar. Segolongan lainnya mengatakan bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena dasar penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.
2.     Jika suami meninggal sebelum menentukan mahar
      Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya, maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Kedua pendapat ini juga  diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang dijadikan pegangan dikalangan pengikutnya adalah pendapat Imam Malik.
      Perbedaan itu disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. segi pertentangan qiyas dengan hadits tersebut adalah bahwa mahar merupakan pengganti. Dan karena mahar tersebut belum diterima, maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disamakan dengan jual beli.

2.7 Gugur/ Rusaknya Mahar
            Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan pokok, yaitu :
a.      Barangnya tidk boleh dimiliki.
b.     Mahar digabungkan dengan jual beli.
c.      Penggabungan mahar dengan pemberian.
d.     Cacat pada mahar.
e.      Persyaratan dalam mahar.
            Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan setelah dewasa menolak dinikahan dengan suami yang dipilihkan walinya. Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
            Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedang mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.

Mahar Yang dipersengketakan Suami Istri
            Persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan, seperti mahar sudah diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya tau waktunya yakni mahar itu menjadi wajib.
a.      Kadar Mahar
            Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika istri mengatakan 200 dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ fiqh.
            Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul, sedangkan suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang ynag bersumpah.
            Apabila persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.
b.      Penerimaan Mahar
            Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat
c.       Persengketaan mengenai Macam/ Jenis Mahar
            Apabila suami misalnya berkata, “aku nikahkan kamu dengan hamba sahaya ini sebagai mahar, “ sedangkan istri mengatakan bahwa, “aku nikahi kamu dengan kain ini”. Menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki bahwa, “ keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan, jika persengketaan terjadi sesudah dukhul, maka akad nikah tetap sah dan istri memperoleh mahar misil selama tidak lebih banyak dari jumlah yang digugat istri atau tidak lebih sedikit dari jumlah yang diakui suami.
            Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami. Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak. Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil.
d.      Persengketaan mengenai waktu
            Dalam masalah waktu, perbedaan pendapat bisa terjadi berkenaan dengan tunggakan. Menurut pokok-pokok pendapat Imam Malik berdasarkan riwayat yang terkenal darinya – yang dijadiakn pegangan dalam masalah tunggakan adalah kata-kata orang yang berutang, karena disamakan dengan jual beli. Perbedaan pendapat juga bisa terjadi berkenaan dengan kapankah mahar menjadi wajib, apakah sebelum dukhul atau sesudahnya?
            Bagi fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul.
            Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhul.


  
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.

3.2 Saran
1.      Pada calon pasangan suami istri yang akan menikah, hendaklah melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan kedua belah pihakyang berkaitan dengan masalah mahar, apakah mahar itu ketika akad nikah kadar jenis, sifat, dan jumlah disebutkan atau tidak dan mahar itu diberikan secara tunai atau hutang. Karena kesepakatan itu lebih utama untuk menghindari kemadharatan dan mencari kemaslahatan.
2.      Kepada calon istri hendaknya jangan mempersulit mahar, karena dalam hukum Islam telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan bahkan Rasulullah SAW bersabda bahwa “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan dan murah”. Karena mahar yang murah akan memberikan berkah dalam kehidupan suami istri.

           


DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU-BUKU
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Abdurahman, Abu, Petunjuk Praktis dan Fatwa Pernikahan, 2003, Najla Press: Jakarta
Drs. H. Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, 1976, Binacipta: Yogyakarta
Drs. H. Saidus Syahar S.H., Undang-Undang dan Masalah Pelaksanaannya, 1976, Alumni: Bandung
Mohd Idris Ramulyo, S.H., M.H., Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 & Kompilasi Hukum Islam), 1999, Bumi Aksara: Jakarta

B.     PERATURAN PERUNDANGAN
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia






[1] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 81.
[2] Lihat Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 84
[3] Abdurrahman bin Nashr as-Sa’, Manhajus Salikiin, hal. 203
[4] Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, hlm. 94
[5] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989), hlm. 119

[6] H. Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89
[7] Ibid
[8] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
[9] Abdul Rahman Ghozali.fiqh munakahat.kencana pers.2008.hal : 90-92
[10] M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185
[11] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit,. hlm. 119
[12] Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93
[13] M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op B
 




No comments:

Post a Comment

Search