BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Manusia adalah jenis makhluk yang juga
hidup dalam kelompok.[1]
Berdasarkan hal tersebut maka manusia memerlukan pemimpin untuk memimpin
kelompok tersebut. Pemimpin dalam suatu masyarakat dapat merupakan suatu
kedudukan sosial, tetapi juga suatu proses sosial.[2]
Masyarakat yang dipimpin tersebut memiliki ciri-ciri kepribadian bersama, yaitu
apa yang dikenal dalam antropologi budaya sebagai jenis kepribadian dasar (basic personality structure) atau
kepribadian rata-rata (modal personality).[3]
Kepribadian bersama tersebut menimbulkan permasalahan
hukum. Masalah-masalah hukum
yang dimaksud dapat berupa hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai
kebiasaan yang berulang-ulang, sebagaimana hukum adat atau hukum dalam arti
bentuk kaidah (ugeran, ketentuan, patokan) peraturan. Bentuk
kaidah peraturan tersebut merupakan perilaku yang berkaitan dengan jabatan.[4]
Dalam jabatan terdapat kekuasaan yang dalam pembagiannya terbagi atas kekuasaan
formal dan informal. Kekuasaan formal merupakan kekuasaan yang berasal dari
pemerintah sebagai pemegang jabatan yang berwenang dimana kekuasaan ini
mempunyai kedudukan yang jelas dan mengikat. Namun terdapat kekuasaan informal
yakni kekuasaan yang bukan berasal dari pemerintah maupun lembaga resmi
pemerintah. Untuk mengetahui kedudukan dan bentuk dari kekuasaan informal ini
diperlukan sautu kajian dari perspektif ilmu antropologi hukum dimana hal-hal
tersebut berkaitan erat dengan ilmu antropologi hukum yang lingkupnya adalah
mempelajari perilaku manusia.
1.2 Identifikasi
Masalah
1.
Bagaimana
pelaksanaan kekuasaan informal dalam suatu masyarakat?
2.
Bagaimana
peran kekuasaan informal dalam mempengaruhi tingkah laku suatu masyarakat?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
memperoleh gambaran pelaksanaan kekuasaan informal dalam suatu masyarakat.
2.
Untuk
memperoleh pemahaman peran kekuasaan informal dalam mempengaruhi tingkah laku
suatu masyarakat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Kekuasaan dalam arti
sosiologi dan psikologi di masa sekarang berarti suatu potensi untuk
mempengaruhi masyarakat[5]. Seorang pemimpin dianggap mempunyai
kekuasaan jika para pengikutnya mentaati putusannya dan keinginannya yang
berdasarkan adanya motivasi untuk menikmati sesuatu keuntungan dari apa yang
diberikan.[6]
Keinginan itu dapat berupa balas jasa kebendaan, yang bersifat psikologis, atau
yang deology seperti menghindari adanya hukuman. Sebagaimana pencerminan
kekuasaan itu dapat diketahui dari berbagai jenis pemberian seorang pemimpin,
atau deol yang diberikannya, atau berdasarkan batas-batas kekuasaan dari
penguasa yang lebih tinggi, atau oleh adat kebiasaan, deol dan pendapat umum
tentang penggunaan kekuasaan itu.
Jadi kepemimpinan berdasarkan citra demokrasi barat ukuran
didasarkan sampai sejauh mana orang yang mempunyai pengaruh memungkinkan para
pengikutnya dapat mencapai tujuan mereka, dalam pembahasan ini tidak dapat
digunakan.[7]
Kekuasaan informal bukan berasal dari surat keputasan
dari pemerintah, dan juga bukan berasal dari lembaga resmi pemerintah. Dalam
kekuasan informal, para pemimpin ini mempunyai deology atau kepandaian bercakap
yang akhirnya dipercayai oleh masyrakat sekitarnya.
Kekuasaan
informal, penguasa informal cenderung dapat tercapai dan dimiliki berdasarkan
kepribadian pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat yang bersangkutan[8].
Hak- hak, kewajiban- kewajiban, kekuasaan serta tata cara pelaksanaannya tidak
ditentukan dengan ketat dalam perundangan atau adat kebiasaan.
Pemimpin informal ialah orang yang
tidak mendapatkan pangkat formal sebagai pemimpin, namun karena memiliki
sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu
mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok.
Ciri-ciri
pemimpin informal yaitu :
a.
Tidak
memiliki penunjukan formal atau legitimitasi sebagai pemimpin.
b.
Masyarakat
menunjuk dirinya, dan mengakuinya sebagai pemimpin.
c.
Status
kepemimpinannya berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau
mengakui dan menerima dirinya.
d.
Tidak
dapat dimutasikan.
e.
Tidak
pernah mencapai promosi.
f.
Tidak
memiliki atasan.
BAB III
PEMBAHASAN
Contoh Kasus
Kiai Ali Wafa
menetapkan awal puasa dan jatuhnya hari Idul Fitri berdasarkan kitab “Nazhatul
Majalis” yang ditulis oleh Syech Abdurrahman Asysyafii dari Lebanon yang
menyebutkan penetuan awal puasa itu dihitung 5 hari setelah hari pertama puasa
tahun sebelumnya. Perbedaan
tak hanya pada penentuan lebaran ini saja. Mereka juga mengawali puasa satu
hari lebih awal dari Muhamadiyah atau dua hari sebelum penetapan pemerintah.
Para penghuni pesantren dan penduduk sekitar pesantren mengawali puasa pada
Kamis (19/8) lalu. Warga
muslim lainnya yang sepaham dengan ajaran yang dianut Kiai Fayyad As’ad adalah
para santri Pesantren Nurul Muhlisin.
(sumber: www.sorotnews.com diunduh pada
hari Rabu, 16 Oktober 2013 pukul 10.15)
Analisis
Para kyai yang mempunyai banyak pengikut, mereka mematuhi
kyai karena kyai dianggap orang yang sangat berkharismatik dan mempunyai
kekuasaan untuk dipatuhi. Jadi
biasanya para santri mereka memilih keputusan atau mengikuti para kyai daripada
pemerintah. Kita sering mengalami hari raya agama Islam tersebut jatuh pada
hari yang tidak sama dalam Negara kita. Itu disebabkan terdapat banyak sumber
dalam menentukan hari raya tersebut. Walaupun pemerintah sudah menetukan dan
memutuskan hari raya pada waktu tertentu, tapi masyarakat masih banyak
tidak mematuhi keputusan pemerintah dan lebih mempercayai kyai mereka yang
mempunyai perhitungan yang tidak sesuai dengan pemerintah. Ini
menandakan para kyai mempunyai kekuasaan yang informal, beliau dapat memberikan
keputusan sesuai keyakinannya dan para pengikutnya akan mengikuti dan
menjalankan keputusan mereka.
Pemimpin
informal dapat saja mempunyai dampak deology
maupun positif terhadap pengikutnya ataupun kelompoknya. Dampak positif seorang
pemimpin informal adalah lebih mengutamakan deology dan realisasi tujuan
rencana kerja daripada tujuan pribadinya, sedangkan dampak deology dari seorang
pemimpin informal adalah mementingkan tujuan dirinya sendiri daripada
deology-ideologi kelompoknya atau pengikutnya. Seringkali deology digunakan
untuk memperoleh kekuasaan dan setelah kekuasaan itu didapatnya, maka deology
itu ditinggalkan atau diubah sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri.
Pemimpin Informal adalah
seseorang yang secara alamiah dianggap mampu memainkan perannya sebagai
pemimpin ketika kelompok kerja telah bekerja dan saling berinteraksi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
kekuasaan informal merupakan kekuasaan yang
didasarkan dari kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi pembatas dari
kekuasaan informal itu sendiri adalah masyarakat.
2.
Kekuasaan informal memiliki peran yang cukup
berarti dalam mempengaruhi pola tingkah laku dari masyarakat yang dipimpinnya
seperti dalam contoh kasus di atas yang menunjukkan peran Kyai sebagai salah satu
pemimpin kekuasaan informal.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Hilman Hadikusuma, Pengantar
Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
Hilman Hadikusuma, Antropologi
Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok
Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1990
T.O Ihromi, Pokok-Pokok
Antropologi Budaya, PT Gramedia, Jakarta, 1990
T.O Ihromi, Antropologi Hukum
Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1993
B. LAIN-LAINNYA
http://www.sorotnews.com
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.
110
[2] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1990,
hlm. 198-199
[3] T.O Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, PT Gramedia, Jakarta, 1990, hlm.
111
[4]
T.O Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah
Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 1993
[5]
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi
Hukum, PT. Citra Aditya Bakti , Bandung,
1992, hlm. 105
[6]
Ibid, hal. 105.
[7]
Ibid, hal. 105.
[8]
Ibid, hal, 107.
No comments:
Post a Comment