PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan
merupakan suatu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan
dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang
meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan
kasih sayang dan persaudaraan, memelihara
anak-anak tersebut menjadi
anggota-anggota masyarakat yang sempurna.
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN
Syarat
sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 6 – 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan (UU perkawinan). Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat
perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat
perkawinan ekstern (formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang
akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungka perkawinan. Syarat
syarat intern terdiri dari :
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6 ayat (1) UU perkawinan.
- Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).
- Bagi pria harus bisa mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 Tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh penngadilanatau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).
- Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU perkawinan).
- Bagi seorang wanita yang akan melakuka perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 haribagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU perkawinan).
KEABSAHAN PERKAWINAN
1.
Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat
bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung
pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah
dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah
menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui
pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama lama
(kuno) seperti ‘sipelebegu’ (pemuja roh) di kalangan orang Batak.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut
agama kepercayaan yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga
adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya di Lampung, walaupun
sudah terlaksana perkawinan yang sah menurut agama, tetapi apabila mempelai
belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka
belum diakui sebagai warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga
adat ini merupakan upacara perkawinan adat. Misalnya di Lampung, Tulang-bawang
upacara perkawinan adat ini dilaksanakan dengan acara ‘mosok-majew’ (menyuap
mempelai) dengan tindih sila. Upacara mosok ini dipimpin oleh tua adat wanita,
biasanya isteri atau penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita
sehingga juru bicara dan pembawa syair perkawinan.
2.
Sahnya Perkawinan
Menurut Perundang-undangan
Dalam
pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut
pandangan Perundangan perkawinan adalah “ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita” dengan kata lain bahwa
perkawinan sama dengan perikatan seperti yang terdapat dalam aturan sebagai
berikut:
Pasal 26 KUHPerdata
Dijelaskan
bahwa “Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan perdata”
Pasal 81 KUHPerdata
“tidak ada upacara keagamaan yang boleh
diselenggarakan sebelum kedua pihakmembuktikan kepada pejabat agama mereka
bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”
diperkuat dengan
Pasal 530 ayat 1 KUHPidana
Menyatakan
bahwa “ seorang petugas agama yang
melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat
catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa pelangsungan dihadapan
pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah”
Kalimat “yang hanya dapat dilangsungkan
dihadapan pejabat catatan sipil” tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini
tidak berlaku bagi mereka yang menggunakan Hukum Islam atau Hukum Adat.
Jelas bahwa di dalam KUHPerdata, perkawinan itu hanya
dilihat dari segi keperdataan dengan mengabaikan keagamaan dimana hal ini
bertentangan dengan falsafah Negara Indonesia, sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan menyangkut masalah perkawinan yang merupakan
sakramen dimana berhubungan erat dengan agama sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/batin tetapi juga unsur batin/rohani yang mempunyai
peranan penting. Jadi terlihatlah disini perbedaan pengertian perkawinan
menurut KUHPerdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dimana perkawinan menurut
KUHPerdata hanya sebagai “Perikatan
Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya
sebagai ikatan perdata, namun juga merupakan “Perikatan Keagamaan”. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan
yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun1974 bahwa perkawinan bertujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan tersebut berbeda dengan BW yang diumumkan
oleh Maklumat tanggal 30 April 1987 dan berlaku di Indonesia sampai Tahun 1974.
3.
Keabsahan
Perkawinan yang Dilakukan
di Luar Indonesia
Dasar
hukum dalam melakukan perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga
negara Indonesia atau warga
negara Indonesia dengan warga
negara asing yang
dilangsungkan di luar negeri adalah pasal 56 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan yang harus dilaksanakan
oleh seorang warga
negara Indonesia secara kumulatif, bukan alternatif secara terpisah dan berdiri
sendiri. Pendaftaran perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan sebab hal
ini sangat erat hubunganya dengan masalah pembuktian kepada pihak ketiga maupun
kepada negara sehingga dapat tercapai kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak.
Perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga
negara Indonesia maupun antara
warga negara Indonesia
dengan warga negara asing di
luar negeri harus memenuhi syarat hukum positif di indonesia, memenuhi syarat
materiil yaitu persetujuan kedua mempelai, ijin orang tua, batas usia kawin
untuk pria 19 (sembilan belas) tahun
untuk wanita 16 (enam belas) tahun, dan larangan kawin, untuk syarat formalnya
harus mengikuti hukum di negara mana perkawinan itu dilangsungkan.
Dan
setelah kembali ke indonesia perkawinan tersebut harus dicatat di kantor
catatan sipil di Jakarta
sebagai domisili antar warga negara.
Untuk
status anak hasil perkawinan
beda kewarganegaraan mendapat status kewarganegaraan ganda terbatas dan pada umur 18 (delapan belas) tahun
atau sudah menikah
harus memilih tetap menjadi warga negara Indonesia
atau warga negara asing.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian kedua tentang perkawinan di luar Indonesia pasal 56:
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian kedua tentang perkawinan di luar Indonesia pasal 56:
(1) Perkawinan
di Indonesia antara dua
orang warga negara Indonesia
atau seorang warga negara
Indonesia dengan warga
negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan ini.
(2)
Dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawnan mereka
harus didaftarkan di kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran pasal 57:
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran pasal 57:
Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 58:
Bagi
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 59 ayat (2) :
Perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 60:
(1) Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk
membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku
bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Bab XII bagian ketiga tentang perkawinan campuran Pasal 61:
(1) Perkawinan
campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang
siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang
surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal
60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1
(satu) bulan.
No comments:
Post a Comment